Berangkat dari Pengalaman Niskala Terimplementasikan Spiritual dalam Bisnis dan Bermasyarakat

Lahir di tengah keluarga keturunan pemangku, Jro Mangku Eko Astana awalnya menjalani hariharinya seperti remaja pada umumnya. Di waktu luang mengenyam pendidikannya, ia sangat menikmati hobinya mempelajari kerajinan tenun ikat sejak SMP hingga SMA. Hingga di usia yang cenderung muda, baru menginjak 20 tahun, ia sudah mendapat tuntunan dari leluhur untuk melanjutkan darah warisan sebagai pemangku di Pura Puseh dari Pura Kahyangan Tiga di Desa Jehem, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli.

Tak ada petunjuk atau firasat sebelumnya dari Jro Mangku Eko Astana bila ia akan menggantikan posisi sentral almarhum orang tua sebagai pemimpin sekaligus penghubung umat dalam kegiatan upacara agama dengan Sang Pancipta. Setelah pengalaman niskala (gaib) yakni penyakit kulit yang tak kunjung sembuh dengan pengobatan secara sekala (realitas sehari-hari). Keluarga pun menuntunnya untuk bertanya dengan ‘orang pintar’, diremukanlah jawaban, bahwa ia adalah keturunan selanjutnya yang terpilih untuk menjadi pemangku, setelah selama enam tahun belum ada yang menggantikan posisi tersebut dalam keluarga.

Baru menginjak usia 20 tahun, pria yang juga merupakan guru yoga ini tak dipungkiri memiliki rasa tidak siap. Terlebih dalam memilih pekerjaan, tentu tak bisa sembarangan. Mengingat presentasinya kini, menjadi sosok panutan dalam kehidupan bermasyarakat maupun keagamaan. Maka, dengan tak hanya mengandalkan logika, ia juga memohon kepada leluhur dan Sang Pencipta untuk memberikannya petunjuk, pekerjaan apa yang bisa ia geluti untuk mengimbangi perannya ngayah di masyarakat.

Dua tahun berselang, ilhamnya pun muncul untuk merintis usaha produksi dupa pada tahun 1999. Tahun itu, belum banyak yang bisa diambil pedoman oleh Jro Mangku Eko Astana untuk memulai usaha rumahannya, khususnya dupa brand Bali. Sehingga dengan sengaja ia mendatangkan perpustakaan untuk membaca sumber-sumber disiplin ilmiah dan lontar-lontar, agar merek dupa lokalnya tak hanya menjadi pionir, tapi ada unsur-unsur spiritual di dalam bahan yang digunakan. Sebagai salah satu sarana persembahyangan bagi umat Hindu Bali, sudah sejatinya menggunakan bahan-bahan dari alam Bali. Jro Mangku Eko Astana pun memaparkan, dupa dengan merek “Dupa Dubali” tersebut berdasarkan sastra Hindu Bali yang kemudian bahan-bahannya ia olah sendiri, di mana 90% bahan lokal dan sisanya seperti bahan menyan, harus ia dapatkan dari Sumatra Utara. Bernapaskan pada spirit “Satyam, Siwam, Sundaram”, Dupa Dubali pun siap dipasarkan, agar penggunanya lebih menghayati aktivitas keagamaan secara vertikal dan horizontal. Maksudnya, tidak saja cukup berniat baik, tapi juga dimanifestasikan dengan perilaku yang baik, sehingga akan mencapai tujuan yang mulia.

Selain mengelola usaha, pria kelahiran Bangli 19 Oktober 1978 ini, juga aktif dengan rekan-rekan yoganya dalam kegiatan sosial. Setelah membantu warga desa yang mengalami kekurangan air bersih, ia berinisiatif mengangkat mata air di bawah sungai untuk didistribusikan ke warga desa. Tak sampai di sana, berdampingan dengan mata air tersebut, terdapat destinasi wisata baru, “Goa Raja” yang tengah tahap pengeloaan, namun sudah ramai dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara. Sebagai penasihat pengayah, ia berharap tempat rekreasi air terjun tersebut tak kalah dengan air terjun lainnya yang lebih dulu dikenal, apalagi terdapat cagar budaya Candi Tebing di dalamnya, yang diperkirakan sudah ada sejak abad ke-11. Dan yang perlu digarisbawahi, pengunjung yang datang juga tak hanya sekedar menikmati potensi keindahan alamnya, tapi juga diharapkan tanamkan rasa syukur pada ciptaan Sang Pencipta, dengan menjaga kebersihan lingkungan, keaslian dan taksu dari destinasi Bali.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!