Otodidak dalam Bisnis Kesederhanaan dalam Puncak

Serba otodidak, begitulah I Ketut Sida Arsa yang akrab disapa Ketut Sida, merintis setiap usahanya yang berbeda secara signifikan. Keterbatasan akses terhadap informasi, membuatnya harus mengasah insting profesinya sebagai dosen dalam mengumpulkan, menganalisis dan melakukan percobaan sendiri berdasarkan berbagai referensi yang tersedia. Berjalannya waktu, motivasi Ketut Sida tidak hanya berhenti pada orientasi profit semata. Dengan keinginan kuat untuk memberikan donasi dalam bentuk kesempatan kerja, ia kembali melakukan segalanya secara swakarsa. Tujuannya adalah membantu ibu-ibu rumah tangga yang sulit mendapatkan pekerjaan karena kesibukan domestik, namun tetap ingin berkontribusi dalam memberikan penghasilan bagi keluarga.

I Ketut Sida Arsa

Ketut Sida memulai bisnis pertamanya kerajinan berbahan fiberglass, saat masih berkuliah di Program Studi Seni Kriya di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Tuntutan finansial yang membuatnya mulai terjun ke bisnis, lantaran uang saku yang diberikan orang tua tidak mencukupinya untuk bekal di Denpasar. Jauh sebelum itu, pria asal Desa Pejeng, Kabupaten Gianyar ini, sudah dibekali dengan pengalaman dalam seni pembuatan patung kayu yang merupakan mata pencarian khas desa kelahirannya. Seiring meningkatnya persaingan di antara para pengrajin patung kayu, ia mencoba memproduksi seni yang berbeda untuk menarik perhatian pasar.

Berani mengambil sesuatu yang berbeda, itu artinya Ketut Sida siap dengan segala risiko dan menangani tantangan yang tak dihadapi oleh lingkungan sekitarnya. Dari sanalah, perjalanan otodidak Ketut Sida dimulai. Dengan keterbatasan akses informasi, langkah pertama yang ia lakukan ialah masuk-keluar toko buku untuk mencari referensi terkait bahan fiberglass dan menemui orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang bahan tersebut. Percobaan pertamanya dilakukan dengan menggunakan bahan cetak fiberglass dari karet mentah yang baunya menyengat dan dikerjakan secara konvesional. Kemudian datang seseorang yang mengatakan bahwa ada bahan cetak yang lebih baik daripada karet mentah, namun tidak mengetahui nama bahan tersebut secara spesifik. Hal itu menjadi tugas Ketut Sida untuk lebih menggali informasi terus-menerus.

Berhubung kakak yang sedang kuliah di Surabaya, Ketut Sida meminta tolong untuk mengirimkan bahan cetak bernama silicone rubber (karet silikon) atau polyurethane rubber (karet poliuretan), karena bahannya masih belum tersedia di Bali. Setelah barang dikirimkan dengan harga yang mahal, Ketut Sida ragu untuk menggunakannya, ditambah belum menemukan informasi secara jelas di internet. Setelah menghabiskan banyak jatah kegagalan yang diperkirakan memakan waktu setahun hingga dua tahun, akhirnya ia menemukan komposisi bahan yang pas.

Bisnis kerajinan fiberglass-nya masih berjalan harmonis di tengah masyarakat Pejeng dengan menerima pesanan yang datang dari vila dan properti. Kualitas dan keragaman produk yang ditawarkan telah menjadikan bisnis ini yang tak boleh terlewatkan bagi pencari elemen dekorasi yang unik dan tahan lama. Dukungan dari pelanggan yang puas dan testimoni positif mereka juga membantu meningkatkan reputasi bisnis ini, menjadikannya sebagai destinasi utama dalam mendapatkan produk berkualitas tinggi dan layanan yang handal dalam dunia kerajinan fiberglass.

Menggaet Ibu-Ibu Rumah Tangga

Di sinilah awal mula Ketut Sida menggaet ibu-ibu rumah tangga yang ingin berpenghasilan. Dari proyek fiberglass-nya, ia mengikutsertakan ibu-ibu dalam pengerjaan proses finishing produk kerajinan. Semakin lama, ibu-ibu tersebut tertarik untuk melakukan pekerjaan sambilan lainnya. Merasa tidak enak menolak mereka terus menerus, akhirnya Ketut Sida berinisiatif membuka usaha selanjutnya, yang bisa melibatkan lebih banyak ibu-ibu dengan waktu bekerja yang lebih fleksibel. Didirikanlah produksi dupa dengan merek Gita Aromatic.

Lagi-lagi, usaha yang dirintis tahun 2013 tersebut membuat Ketut Sida harus melalui masa pembelajaran secara mandiri. Terlebih dalam produksi dupa, ia tipikal yang berseberangan dengan wangi-wangian. Sejak terjun dalam bisnis ini, ia wajib mulai meracik parfum sendiri sesuatu yang belum pernah ia pelajari sebelumnya. Namun, tantangan itu tak seberapa dibandingkan dengan fakta bahwa 8-10 truk dupa dari Jawa ke Bali setiap hari untuk memenuhi kebutuhan dupa di Bali. Ketut Sida berusaha agar bisnisnya dapat mengurangi ketergantungan Bali terhadap pasokan luar tersebut.

Untuk mendapatkan bahan baku dupa, Ketut Sida harus memenuhi kebutuhan dengan membeli dari produk impor. Misalnya, bahan bambu diimpor dari Cina, parfum dari India, untuk bahan perekat dari Vietnam. Untuk bahan perekat ini sebenarnya ada alternatif lokal yang bagus dari Kalimantan, hanya saja pemain lokal tidak konsisten menjaga kualitasnya dan bukan pembudidaya, melainkan mengambil bahan baku dari kulit kayu hutan gambut. Sementara di Vietnam, selain menjual, mereka juga membudidayakan. Jadi untuk bahan lokal, masih berupa tepung-tepungan seperti tepung kayu untuk menghindari abu panas, jenis getah-getahan seperti kemenyan dan seresin.

Gita Aromatic yang berlokasi di Desa Pejeng Kelod, Tampaksiring, Gianyar, memilih fokus pada produksi, sementara pada pemasaran diberikan kesempatan kepada para reseller. Selain mayoritas pemasaran lokal baik grosir maupun eceran, Ketut Sida juga melakukan ekspor, setiap ada pesanan dalam partai besar. Gita Aromatic yang notabenenya digunakan dalam kebutuhan ritual maupun yoga, menjadi poin penting untuk turut memperhatikan dampak lingkungan dengan cara mengolah kembali semua produk yang ditolak atau disortir. Sebagai contoh, lidi akan digiling kembali, sementara sampah digunakan sebagai bahan bakar. Ketut Sida pun mempersilahkan untuk memperlihatkan proses tersebut secara langsung. Contoh yang paling jelas terlihat bahwa bisnis mereka tidak berdampak negatif pada lingkungan dapat dilihat dari lahan pertanian yang berdampingan dengan bisnisnya. Melihat persawahan yang tetap tumbuh subur, dapat membuktikan bahwa bisnis mereka tidak menghasilkan limbah yang merusak lingkungan.

Menjalankan dua bisnis yang dirintis secara otodidak dan kemudian mengalir untuk membantu memberikan penghasilan tambahan ibu-ibu rumah tangga, Ketut Sida tak pernah menyangka akan mengondisikan dirinya seperti sekarang ini. Ia berprinsip, ‘saat apapun yang sudah dimulai, saya harus all-out di sana’. Hal inilah yang kurang dimiliki generasi sekarang yang kurang haus akan pengetahuan. “Jika dibandingkan dengan sumber daya di generasi saya dulu, dengan sekarang, harusnya mereka lebih cepat mendapatkan pengetahuan dan mencapai pencapaian tersebut,” ucapnya.

Yang tak kalah mengesankan, sosok wirausahawan seperti Ketut Sida mungkin hanya segelintir dalam pandangannya yang sederhana soal bisnis. Setelah mampu bertahan melewati masa pandemi Covid-19, harapannya sederhana, agar kenyamanan yang ia nikmati saat ini tidak mengganggu kenyamanan orang lain. Baginya, menjalankan usaha itu mudah selama kita dapat mengontrol ego terhadap usaha tersebut. Banyak orang ingin langsung memperbesar usaha mereka begitu mencapai puncak kesuksesan, tanpa memperhitungkan kapasitas pemiliknya. Ditambahkan Ketut Sida, kesuksesan bukanlah sekadar tentang mencapai puncak, tapi juga tentang mempertahankan keseimbangan dan kesederhanaan. Ia percaya bahwa mengontrol ego dan tidak terburuburu untuk memperbesar usaha adalah kunci untuk menjaga kenyamanan dan keberlanjutan dalam bisnis. Baginya, penting untuk tetap rendah hati dan memahami batasan diri sendiri serta kapasitas usaha, daripada terus-menerus mengejar ekspansi tanpa memperhitungkan konsekuensinya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!