Selalu Ada Jalan untuk Mewujudkan Harapan dan Cita-Cita
Kerasnya perjalanan hidup tidak menghalangi keinginan I Wayan Mastra untuk berubah menjadi lebih baik. Setelah mengalami proses perjalanan hidup yang cukup berat, bercermin dari pengalaman, perlahan Mastra kembali pulih dan bangkit. Tidak ada kata menyerah dalam dirinya hingga akhirnya suatu momen mempertemukannya dengan sosok Anak Agung Kakarsana yang berhasil membantu dan memberikannya kepercayaan untuk mengelola sebuah bisnis udang galah dan lobster yang dulunya bernama CV Puspasari. Kini dengan nama baru UD Mastra Jaya Abadi, dibawah kepemimpinan Mastra, bisnis udang galah dan lobster ini kian hari mengalami peningkatan.
Desa Batumadeg, Nusa Penida, adalah tempatnya lahir dan dibesarkan. Dengan kondisi ekonomi kurang mampu, anak ke delapan dari delapan bersaudara ini ikut keluarganya bertransmigrasi ke Kalimantan Timur. Tinggal di sebuah rumah panggung yang terletak di Kampung Bali jauh di pelosok berlatar belakang hutan belantara selama empat tahun. Saat itu Mastra belum bisa bersekolah karena dilibatkan membantu orang tua bekerja di ladang. Karena ibu Mastra mulai sakit-sakitan, akhirnya sekeluarga memutuskan untuk bertransmigrasi kembali ke Kalimantan Selatan dengan tinggal menumpang di rumah kosong milik orang yang berasal dari Nusa Penida. Selama tinggal di sana, Mastra bersama keluarganya menanam dan berjualan jagung untuk memiliki modal supaya bisa kembali pulang ke Nusa Penida.
Kehidupannya yang keras sejak kecil dengan kondisi ekonomi sulit, mengharuskan Mastra hidup mandiri lewat tempaan mental cukup tegas dari orang tuanya, agar suatu saat bisa hidup lepas dari mereka. Setelah modal terkumpul, akhirnya Mastra sekeluarga pulang kembali ke Nusa Penida dan bekerja sebagai petani di sana. Di masa itu, Nusa Penida sangat jauh lebih lambat perkembangannya dibandingkan dengan Nusa Penida zaman sekarang. Mastra mengisahkan sekembalinya ia dari Kalimantan, situasi Nusa Penida masih sangat sulit terutama dalam ketersediaan air. Kesehariannya menanam ketela untuk bisa dikonsumsi sehari-hari. Akhirnya Mastra berkesempatan untuk bersekolah, namun sebelum tamat sekolah, Mastra kembali bertransmigrasi ikut kakaknya nomor dua ke Sumatera Selatan bertugas membersihkan kebun sawit.
Di Sumatera Selatan, Mastra tinggal di sebuah rumah panggung. Ia bekerja membersihkan kebun sawit yang luasnya berhektar-hektar dan mendapat gaji sebesar Rp1.800. Gaji tersebut dikumpulkan yang kemudian menjadi modal untuk kembali pulang ke Nusa Penida setelah satu tahun bekerja. Sesampainya di Nusa Penida, Mastra bekerja menjadi kernet mobil Carry yang sejak jam 02:00 dini hari sudah berada di dermaga membantu para penumpang mengangkat barang. Waktu itu tidak semua anak seumuran Mastra melakukan pekerjaan kasar sepertinya, karena hampir sebagian besar teman-temannya bersekolah. Keinginannya untuk melanjutkan sekolah harus dikubur mengingat situasi dan kondisi tidak memungkinkan untuk itu. Dari segi kemampuan belajar, Mastra cukup mumpuni bisa membaca, menulis dan berhitung, itu sudah cukup baginya.
Sempat terjadi insiden kecelakaan lantaran Mastra menabrakkan mobil pick-up yang dikendarainya saat itu, Mastra harus bertanggung jawab dan memberikan sejumlah uang hasil menjual ternak milik orang tuanya. Karena sudah bisa menyetir, Mastra pergi merantau ke Bali dan kembali mencari pekerjaan baru di Renon. Mastra tinggal menumpang di rumah milik temannya di Jl. Sedap Malam sambil memelihara ternak sapi dan bekerja sebagai buruh proyek bangunan. Sekian lama memperoleh pengalaman hidup dari bekerja di berbagai tempat, pertemuannya dengan sosok Anak Agung Kakarsana menjadi titik balik perjalanan hidupnya. Usai malang melintang dari berbagai daerah, bekerja dan hidup tanpa arah, berkat didikan Agung Kakarsana perlahan Mastra menata hidupnya menjadi lebih baik. Melalui Agung Kakarsana, Mastra diperkenalkan dengan Agung Alit dari Laskar Bali. Sejak umur 16 tahun, Mastra sudah ikut bergabung dalam organisasi masyarakat tersebut.
Selama berada dalam didikan dari Agung Kakarsana, melihat kegigihan serta perubahan diri Mastra yang semakin hari mengarah ke arah yang lebih baik, akhirnya ia dipercaya untuk menjadi karyawan di bisnis udang galah dan lobster milik Agung Kakarsana, yang mana pada saat itu beliau tengah membutuhkan karyawan. Keesokan paginya setelah diterima bekerja di sana, Mastra mulai bekerja mengikat udang galah dan lobster. Selama 10 tahun bekerja, mengajarkan banyak hal pada diri Mastra mulai dari sikap hingga berkomunikasi yang baik. Seiring waktu berjalan, Mastra dipercaya untuk memimpin CV Puspasari, namun mengalami penurunan pendapatan pasca Bom Bali I. Untuk bisa menjalankan usaha, Mastra menjual udang galah dan lobster dengan mengirim secara langsung ke hotel dan restoran, juga dari rumah ke rumah menjadi penyuplai. CV Puspasari mengalami penurunan pendapatan kembali akibat Bom Bali II, untuk itu Mastra mulai membangun hubungan kerja dari luar daerah untuk memenuhi kebutuhan dikarenakan ia tengah memiliki cicilan rumah.
Pada akhirnya CV Puspasari mengalami kebangkrutan setelah melewati pasang surut mulai dari ketidakstabilan pendapatan hingga penurunan jumlah karyawan. Mastra akhirnya memilih untuk mengganti nama bisnis tersebut menjadi UD Mastra Jaya Abadi dengan harapan manajemen baru yang dibentuk olehnya mampu membawa perubahan bagi perusahaan yang sudah dibangun sejak lama tersebut. Perlahan Mastra mulai menata kembali dan menangani perusahaan dengan memperluas jaringan relasi untuk mengisi kekosongan yang ada. Selain mengurus perusahaan, Mastra juga bekerja sebagai satpam di Menega Café untuk menambah modal sambil menawarkan udang galah dan lobster di deretan kafe daerah sana. Saat itu Mastra memperoleh banyak wawasan seputar dunia usaha karena lingkungan pergaulannya lebih banyak pengusaha. Di sana ia mulai banyak mempelajari tentang bagaimana mengelola dan membangun usaha agar mengalami kemajuan.
Selain mengurus bisnis, Mastra mulai terjun ke masyarakat untuk menjadi pemangku dan mulai menekuni dunia spiritual. Menyadari bahwa keberhasilan yang diraih sampai berada di titik ini tidak terlepas dari usaha yang telah dilakukan serta doa dan dukungan dari orang-orang terdekat. Dari sekian permasalahan hidup menimpa, membuka pikirannya untuk menjalani hidup lebih seimbang tidak hanya secara materi tetapi juga spritual. Berawal dari rasa jengah yang timbul akibat beratnya kehidupan di masa lalu, mendorong Mastra untuk berjuang bangkit dari keterpurukan hingga mampu meraih sukses seperti saat ini, menjadikannya sebagai sosok inspiratif bagi masyarakat khususnya generasi muda di Bali.