‘Pergi Tanpa Pamit’ Santi, dalam Pencarian Jati Diri
Berdirinya Warung Santai New, tak bisa dipisahkan dari kisah pemiliknya, Tri Yulia Santi yang saat remaja dikenal tomboy nan badung. Badung dalam versi Santi ialah suka menjelajahi kota-kota baru yang belum pernah ia kunjungi, yang kini populer dengan sebutan ‘solo traveler’. Pada tahun 90-an, belum lumrah bagi seorang perempuan untuk bepergian seorang diri, itu yang menyebabkan Santi nekat pergi tanpa pamit. Syukurnya, ia terhindar dari jerat hitam kehidupan bebas remaja. Sebaliknya, petualangan-petualangannya justru menumbuhkan kemandirian, keberanian dan kepercayaan diri yang kuat dalam diri perempuan pecinta hewan peliharaan ini
Seperti pepatah yang mengatakan “Petualangan adalah cara terbaik untuk belajar”. Itulah yang dirasakan Santi, dari hobinya dalam bertualang. Dari Jakarta, ia bertualang ke Yogyakarta, Surabaya hingga akhirnya sampai di Bali, yang menjadi destinasi sekaligus tempat tinggal dan kariernya. Dari sekian tempat yang dikunjungi Santi, Kota Gudeg meninggalkan pengalaman yang paling mengesankan baginya. Pasalnya, ransel yang membawa perlengkapannya untuk berlibur dicuri orang. Alhasil selama delapan bulan, ia sempat luntang-lantung, hingga langkah kakinya membawanya pada lingkungan anak jalanan. Kehidupan pengamen liar yang selama ini masih dipandang negatif oleh masyarakat, ditentang keras oleh Santi yang terjun sendiri ke circle tersebut. “Saya merasakan kekompakan dan solidartas yang luar biasa dalam keseharian mereka,” tutur Santi. Selama delapan bulan bersama circle tersebut, tak ditemukan tandatanda menggunakan obat terlarang. “Jangankan untuk gayagayaan membeli narkoba, makan sehari-hari saja susah,” tambahnya.
Setelah ‘pergi tanpa pamit’ Santi ke Yogyakarta yang sempat meresahkan keluarga, ia tidak kapok untuk melanjutkan perjalanan selanjutnya. Singkat cerita, akhirnya ia memilih Bali sebagai pelabuhan terakhirnya di tahun 1998. Ia kemudian nge-kos di kawasan Monang-Maning, Denpasar, dan mulai mencari pekerjaan yang mampu membiayai kehidupannya di Bali. Dari sebagai buruh mengelem tas yang hanya memberi peruntungannya selama tiga hari kerja, kemudian pindah ke toko bangunan sebagai akunting yang membuat kinerjanya dibanjiri pujian oleh pemilik, karena meningkatkan profit usaha. Meski memiliki kinerja yang baik, sebagai petualang sejati, Santi masih haus tantangan baru, membuatnya kemudian beralih ke pekerjaan-pekerjaan di industri yang berbeda. Apa daya, kepuasaan memang tak ia temukan selama masih bekerja di bawah pantauan perusahaan.
Akhirnya, bermodalkan nekat, Santi memutuskan mendirikan usaha sendiri yang bergerak di bidang kuliner, Warung Santai New, tanpa ber-partner dengan siapapun. Segala ide telah ditumpahkan ke dalam usahanya, yang mulai menemukan, bahwa inilah yang selama ini ia cari. Ia lebih enjoy mengekspresikan ide-idenya dan menghadapi tantangan yang datang dengan cara sendiri. Dan yang tak kalah menggairahkan, ia telah menerapkan semua pengalaman dan pembelajaran yang ia peroleh selama bertahun-tahun menjelajahi berbagai tempat dan mencoba berbagai pekerjaan, membuat usahanya sukses mempertahankan loyalitas karyawan dan pelanggan, sehingga Warung Santai New mampu bertahan dari krisis pandemi Covid-19.
Pada hakikatnya, di dunia ini ada yang lebih mulia dari kesuksesan materi, yakni kesuksesan menemukan jati diri. Pengalaman masa lalunya yang sempat luntang-lantung mendorong Santi terpanggil menjadi orang tua asuh, terutama bagi generasi muda yang kurang beruntung dalam hal ekonomi, agar tak menjadi penghalang untuk tetap bisa mengenyam pendidikan. Melalui program ini, Santi memberikan bantuan finansial, mentoring dan dukungan emosional kepada anakanak yang membutuhkan. “Di usia saya yang sudah memasuki angka 50, saya hanya mencari keseimbangan, bersantai dan tak menggebu dalam hal profit. Setelah kita bekerja keras, sudah sewajarnya kita mengambil waktu untuk bersantai. Bahkan, yang lebih spiritual, Tuhan terkadang meminta kita untuk melakukan yang terbaik, dengan santai saja,” pungkasnya.