Memimpin Masyarakat Berlandaskan Tri Hita Karana
Kemajuan sebuah daerah dilihat dari kualitas pemimpinnya. Di tengah pesatnya laju globalisasi dunia modern, perlu adanya berbagai terobosan melalui inovasi yang dilakukan oleh pemerintah khususnya desa adat yang ada di Bali. Sebagai desa adat terbesar di Bali yang memiliki sebanyak 52 Banjar, Desa Adat Kerobokan terus melakukan pembenahan. Hal tersebut didukung oleh masyarakat yang senantiasa bersatu demi terciptanya perubahan yang lebih baik di masa mendatang.
Di balik suksesnya kemajuan Desa Adat Kerobokan, sebagai Jro Bendesa Adat Kerobokan, sosok Anak Agung Putu Sutarja memiliki peran penting dalam mewujudkan sebuah desa adat yang maju, mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman, namun tetap memegang nilai-nilai luhur budaya warisan leluhur. Berdasarkan prinsip Tri Hita Karana, bersama masyarakat, Agung berupaya untuk terus melakukan terobosan demi kemajuan Desa Adat Kerobokan.
Berbagai kebijakan telah dilakukan demi terciptanya lingkungan desa adat yang aman, nyaman dan sejahtera. Hal tersebut tercermin dari berbagai upaya telah dilakukan Agung bersama seluruh elemen masyarakat Desa Adat Kerobokan terutama dalam menghadapi pandemi Covid-19 lalu. Pembentukan Satgas untuk menghadapi segala kemungkinan, tetap mengikuti imbauan pemerintah pusat mulai dari membatasi aktivitas masyarakat terutama dalam pengadaan upacara adat hingga pembagian sembako dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masing-masing banjar. Agung terus berusaha untuk menjaga kesejahteraan masyarakat Desa Adat Kerobokan tetap terjaga mengingat sebagian besar masyarakat berkecimpung di sektor pariwisata, di mana sektor yang paling terkena dampak akibat pandemi.
Sebagai anak yang dibesarkan di lingkungan keluarga petani, Agung tumbuh sebagai anak yang mandiri, yakni dirinya selalu dilibatkan dalam aktivitas pertanian bersama orang tuanya seperti menggarap lahan, memotong rumput dan mengawasi aliran air. Menghabiskan masa kecil yang indah di tengah keterbatasan kondisi ekonomi kala itu, Agung mengenang masa-masa sulit seperti berangkat sekolah dengan berjalan kaki menggunakan bakiak, memikul tas dari karung tepung terigu yang dijahit rapi, serta menggunakan karas untuk menulis. Untuk itu, anak pada zaman itu didorong untuk memiliki daya ingat yang kuat akan ilmu yang didapatkan di sekolah, di mana karas memiliki keterbatasan sebagai sarana belajar saat itu.
Sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, Agung dituntut untuk menjadi contoh bagi kedua adiknya. Untuk itu, setiap proses yang ia lalui berdasarkan didikan serta tanggung jawab yang diberikan oleh orang tua dilakukan dengan sebaikbaiknya terutama dalam kegiatan pertanian. Hal tersebut tertanam dalam benak bahwa di tengah keterbatasan ekonomi, apapun harus dilakukan agar dapat bertahan hidup. Tekad kuat untuk melanjutkan sekolah hingga ke jenjang lebih tinggi, mendorongnya untuk menjadi tukang pengumpul batu paras yang memiliki nilai ekonomi tinggi, sehingga dirinya mampu melanjutkan sekolah serta membiayai kedua adiknya untuk bersekolah dari SD sampai SMA.
Memasuki masa remaja, Agung memiliki cita-cita menjadi dokter. Namun, cita-cita tersebut harus kandas mengingat keterbatasan ekonomi keluarga. Akhirnya dirinya memutuskan untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan lulus murni dan dinilai memiliki pengetahuan yang bagus. Karier Agung sebagai PNS dimulai dari menjadi Staf Intel pada tahun 1987-2010, pihaknya memutuskan untuk mengajukan pindah antar departemen pertahanan dan keamanan. Setelah itu dipindahkan ke departemen dalam negeri, dilanjutkan ke Komando Resor Militer (Korem) lalu pindah ke Dinas Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Badung. Semasa dirinya bekerja, Agung memutuskan untuk melanjutkan pendidikan dengan mengambil jurusan Fakultas Hukum di Universitas Dwijendra.
Selain bekerja sebagai PNS, Agung membantu kakak selaku Bendesa Adat dengan bergabung dalam kesinoman pengurus banjar sebagai Sekretaris Administrasi. Tidak hanya di Banjar, ia menjabat sebagai sekretaris di berbagai organisasi kemasyarakatan antara lain Sekretaris Pura Dang Kahyangan seperti Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem dan Pura Batur, serta menjadi Pecalang. Berdasarkan awig-awig desa yang berlaku, jika Bendesa Adat berhalangan hadir, dapat digantikan oleh Sekretaris. Pada tahun 2013, Agung didaulat menjadi Bendesa Adat Kerobokan yang saat itu dirinya masih menjadi pegawai pemerintah Kabupaten Badung. Mulanya pemerintah tidak mengizinkan Agung untuk menjadi Bendesa karena dinilai akan mengganggu aktivitasnya sebagai pegawai. Untuk itu pemerintah mengambil kebijakan untuk mengangkat Agung sebagai Staf khusus mengurus desa adat, yang mana Desa Adat Kerobokan merupakan desa adat terbesar di Kabupaten Badung yang membawahi 52 Banjar, dan Agung secara resmi terpilih menjabat sebagai Bendesa Adat Desa Adat Kerobokan dari tiga kandidat.
Sejumlah pencapaian prestasi telah diraih Desa Adat Kerobokan selama Agung menjabat sebagai Bendesa Adat. Berbagai kebijakan yang ia lakukan bersama seluruh elemen masyarakat membuahkan perkembangan serta kemajuan desa adat, khususnya dalam bidang administrasi. Desa Adat Kerobokan meraih juara 1 tingkat provinsi bagian administrasi keuangan mewakili Kabupaten Badung. Berkat prestasi tersebut, Agung terpilih kembali menjadi Bendesa Adat Kerobokan periode kedua dengan perolehan suara sebanyak 85%. Pada tahun 2020, Agung memutuskan pensiun muda agar lebih fokus mengurus desa adat atas seizin Bupati Badung yang menjabat di masa itu. Berdasarkan Perda yang terbit, dibentuklah majelis desa ada dengan konsekuensi masingmasing terbagi atas 6 kecamatan di Kabupaten Badung. Agung mewakili Kecamatan Kuta Utara mengikuti tes tingkat provinsi berupa tes tulis, tes wawancara dan sidang, dengan meraih nilai tertinggi dan berhasil terpilih sebagai Bendesa Madya pada tahun 2020.
Untuk menghindari pro dan kontra selama dirinya menjabat sebagai Bendesa Adat, Agung memberlakukan asas keterbukaan terhadap masyarakat, yakni segala kebijakan selalu melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Hal tersebut bertujuan untuk menciptakan komunikasi dua arah antara dirinya dengan masyarakat, karena saran, kritik dan masukan dari masyarakat sangat penting dalam penentuan kebijakan. Agung menekankan bahwa selama menjadi Bendesa Adat, dirinya menerapkan konsep Tri Hita Karana dalam usaha pengembangan desa di antaranya hubungan manusia dengan Tuhan seperti melaksanakan upacara adat, hubungan manusia dengan manusia yaitu menjalani hubungan yang harmonis sesama masyarakat desa dan hubungan manusia dengan lingkungan yaitu menciptakan rasa aman dan nyaman di sekitar lingkungan desa adat. Selain itu, Agung menerapkan konsep Tri Kaya Parisudha, di mana dirinya selalu menjaga pikiran, perkataan dan perbuatan selama menjabat sebagai pemimpin.
Dengan melihat laju perkembangan zaman yang kian pesat, Agung mengembangkan Desa Adat Kerobokan dengan berbagai inovasi yang disesuaikan dengan perkembangan zaman, salah satunya ialah penataan desa adat dengan konsep Tri Hita Karana dengan pendekatan partisipatif berbasis digital, yaitu pengelolaan yang dapat diakses melalui digital oleh para Kelian Desa Adat dengan sistem keamanan dan pembatasan yang jelas. Selain itu, berbagai festival diselenggarakan seperti Festival Gebogan dan Penjor dengan harapan mampu mengikat tali persaudaraan antar masyarakat Desa Adat Kerobokan. Untuk ke depan, Desa Adat Kerobokan akan membangun pasar, pembangunan Pura Dang Kahyangan.
Kiprah Agung dalam kepemimpinan, melahirkan kebijakan yang berkontribusi terhadap perkembangan Desa Adat Kerobokan. Sejumlah manfaat begitu dirasakan masyarakat, sehingga mampu menciptakan hubungan masyarakat harmonis yang bermuara pada sejumlah pencapaian dan prestasi yang diraih selama ini. Dengan modal kepercayaan serta investasi sosial yang telah diupayakan Agung selama ini, telah membuahkan hasil yang gemilang dan bermanfaat untuk masyarakat.