Transformasi Pie Susu Halal Ke Pie Susu Hasih Tidak Mudah, namun Justru Semakin Tenar, Dukung UKM Lain
Di suatu kawasan Desa Tembok, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, I Nengah Wastika, pemilik bisnis “Pie Susu Hasih” menikmati masa kecilnya. Orang tuanya bermata pencaharian sebagai petani gula aren, salah satu pekerjaan yang paling banyak digeluti selain petani kebun dan nelayan. Pekerjaan yang cukup menyita waktu dan tenaga, membuat pria kelahiran 1 Juni 1977 ini pun tak jarang terlibat dalam rutinitas rumah tangga untuk meringankan kinerja mereka. Mulai mencari rumput untuk ternak sapi di jam 6 pagi, hingga mengangkat ember yang berisi air untuk kebutuhan sehari-hari yang harus menempuh sejauh jarak 2 km.
Persis seperti nasib pendidikan orang tua yang tidak bersekolah, Wastika pun hanya mampu duduk sampai di bangku kelas V SD karena terbatas biaya. Ia menguraikan secara detail, saat kelas III SD, ia diboyong pindah ke Karangasem. Ternyata jarak rumah penduduk dan fasilitas sekolah tak kalah jauh, harus berjalan kaki selama 1–2 jam. Belum lagi kondisi jalan yang menanjak, membuat fisiknya lelah, padahal beberapa pekerjaan rumah tangga sudah menanti untuk segera dikerjakan. Saat akan naik kelas VI SD, sekolah mengenakan biaya administrasi tambahan, ayahnya saat itu tengah tak memiliki uang lagi, karena dibarengi dengan kakak yang tamat SD. Wastika pun tak berani menuntut untuk tetap bersekolah, ia akhirnya pasrah berhenti dari sekolah begitu saja.
Setelah tiga sampai empat tahun di Desa Ban, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Wastika memutuskan kembali ke kampung halaman. Merasa tidak ada perkembangan yang signifikan dalam ekonomi, kira-kira di tahun 1993, di usianya 15 tahun, ia merantau ke kota Tabanan dengan harapan ada peluang pekerjaan yang berarti demi membahagiakan orang tua dan jikalau direstui Semesta, juga bisa sekaligus membantu saudara-saudara. Tanpa pandang bulu, ia mengawali kemandiriannya menghasilkan uang dengan bekerja pada orang keturunan Tionghoa, yang memiliki usaha dagang perkakas dapur di dalam pasar. Antara lima dan enam tahun, ia kemudian mencari pengalaman baru, pindah ke toko elektronik.
Kesaksiannya melihat suksesnya lapak-lapak tersebut, Wastika berinisiatif untuk mulai membuka usaha kecilkecilan sepulang aktivitas kerjanya. Di Pasar Senggol Tabanan, ia menjual kaset pita. Berjalan setahun, memperoleh penghasilan yang lumayan, ia berdiskusi dengan kakak, bagaimana kalau mulai menyeriusi bidang ini.
Apalagi lumayan menguras tenaga, sepulang dari sebagai karyawan, kemudian berlakon sebagai pedagang. Akhirnya setelah bertahun-tahun, ia dan kakaknya menyudahi ketergantungan dengan usaha lain dan mulai memajukan jiwa wirausaha.
Dari kakak ipar yang bekerja di usaha produksi pie susu, Wastika memiliki ide untuk membuka usaha yang sama di Tabanan, dan kebetulan masih belum ada yang mendirikan usaha serupa. Bergegaslah ia dan istri, menjual motor untuk mendapatkan modal yang cair sebesar Rp5 juta. Mereka kemudian membeli perlengkapan seperti oven, tepung, susu dan alat pembuka kaleng. Seiring usaha yang mulai dikenal dan mendapat reaksi positif dari masyarakat, Wastika menambah perlengkapan lagi, agar bekerja semakin efektif dan efisien, dengan membeli mixer dan lainlain. Produk pie susu yang awalnya bernama “Pie Susu Halal” dititip ke toko-toko di pasar.
Dulunya Bernama “Pie Susu Halal”
Berjalan empat tahun, pie susu milik Wastika terbentur dengan perizinan sertifikat halal, karena menyertakan nama “halal”. Demi mempermudah proses tersebut, pergantian nama pun harus dilakukan, di sisi lain nama merek sebelumnya sudah kadung dikenal oleh masyarakat. Ia dan istri pun sempat dilema, khawatir akan berpengaruh dengan penjualan mereka. Dua hingga jeda tiga hari, ditemukanlah nama “Pie Susu Asih” yang mengangkat konsep “Asah Asih Asuh” dalam ajaran Hindu Bali. Namun, lagi-lagi nama “Asih” yang terdiri atas empat huruf disebutkan konon tak cocok untuk nama jenis usaha. Pencarian pun kembali dlakukan, Wastika kemudian terbersit nama dari anak pertama yang bernama “Handika”, dikutiplah huruf depan dari nama tersebut dan terproklamirkanlah menjadi merek dagang “Pie Susu Hasih”.
Beralamat di Jl. Gunung Agung, Desa Dajan Peken Banjar, Kabupaten Tabanan, apa yang dikhawatirkan Wastika akan penurunan penjualan memang terjadi, karena banyak masyarakat yang mengira “Pie Susu Hasih” adalah produk baru. Wastika dan istri kembali berjuang dari nol, dua hingga tiga tahun mereka berjuang mempromosikan kembali, setelah penjualan yang terputus di beberapa toko oleh-oleh. Literasi media digital pun dikerahkan dengan melibatkan anak-anak yang paham soal ini dan beberapa karyawan. Astungkara Pie Susu Hasih sudah mulai dikenal, tak hanya di Bali juga di luar pulau.
Saat ini Wastika tak hanya memprodukasi Pie Susu Hasih yang didistribusikan ke toko oleh-oleh, ada juga Pie Susu Diana dengan harga yang lebih murah, masuk ke pasar-pasar tradisional. Dengan varian rasa coklat, pandan, blueberry, strawberry dan yang terlaris rasa original. Khusus Pie Susu Hasih, produk ini sudah tersedia di beberapa marketplace Indonesia dan platform layanan pesan antar yang fresh from the oven, di mana saat pesanan datang, akan langsung diproduksi. Untuk daya tahan 3-7 hari di luar kulkas dan satu bulan di freezer.
Mengingat kualitas dan rasanya yang sudah mendapatkan hati masyarakat, Wastika enggan untuk mengurangi takaran bahan, meski harga-harga bahan pokok sewaktu-waktu mengalami fluktuasi. Kepercayaan dan kesetiaan pelanggan tersebut adalah ‘raja’ bagi pebisnis sepertinya yang harus terus dijaga demi tetap konsisten di bidang ini.
Tak menutup kemungkinan Pie Susu Hasih akan merambah ke produk kue atau cemilan lainnya, namun untuk saat ini ia fokus dengan produk pie susu. Tak ketinggalan, ia juga membuka lapaknya bagi rekanrekan yang mau mempromosikan produk oleh-oleh mereka berupa makanan, bisa dibawa ke distributor.
Pie Susu Hasih diharapkan bisa saling membantu pelaku UKM (Usaha Kecil Menengah) masyarakat setempat, terlebih belajar dari pandemi Covid-19, sudah saatnya masyarakat lokal tak hanya bertumpu pada pariwisata dengan memajukan industri UMKM Bali, tapi mulai bergerak secara “Crystallized Intelligence” untuk mendorong keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh melalui pendidikan maupun berinteraksi dengan lingkungan, terwujud dalam bidang wirausaha. Terlebih mampu berkontribusi pada Produk Domestik Bruto negara dan menyerap tenaga kerja.