Pelopor Notaris di Karangasem Menyinari Keterbatasan Pengetahuan Masyarakat Tentang Hukum

Dalam nama yang disandang notaris satu ini, ada afirmasi positif yang ditanamkan oleh sosok orang tua yang pekerja keras nan bersahaja. Dengan menyandang nama I Ketut Sarjana, orang tua Sarjana bertekad untuk bekerja keras agar generasi penerus mereka mencapai pendidikan tinggi hingga jenjang kuliah. Ya, dibalik kesahajaan kehidupan petani, orang tua Sarjana bukanlah orang yang fanatik atau tertutup pada sesuatu yang tak sesuai dengan pandangan mereka. Bahkan tak sampai di sana saja, mereka mengamanatkan Sarjana dan saudara-saudarinya untuk melakukan perjalanan mencapai Pulau Jawa dalam menempuh pendidikan tinggi.

Motivasi tak selalu datang dari orang-orang besar dan terkenal, terkadang motivasi justru lebih manjur saat berasal dari lingkungan terdekat. Kebanggaan itu yang diungkapkan Ketut Sarjana dalam memandang sosok orang tuanya. Selain bekerja keras, orang tua juga menunjukkan dedikasi mereka terhadap pendidikan anak-anak, dengan cara berhemat seperti saat orang-orang sudah memiliki tv berwarna, orang tua Ketut Sarjana sudah cukup puas dengan tv hitam putih saja. Demikian pula dalam hal makanan, mereka mengonsumsi secukupnya saja. Melihat upaya orang tua, Ketut Sarjana sadar bahwa ia harus melakukan yang terbaik bisa ia lakukan, dengan cara belajar segiat-giatnya.

Waktu bergulir menjadi saksi bisu kerja keras orang tua Ketut Sarjana yang terbukti menjadi petani Desa Blimbing Sari, Jembrana, yang sukses dari segi materi, terlebih melenggangkan Ketut Sarjana dalam mengagendakan pendidikan tinggi mereka. Setelah menghabiskan masa pendidikan dasar hingga SMP di Jembrana, Ketut Sarjana kemudian ke Denpasar untuk melanjutkan SMA di SMA Kristen Harapan. Tanpa harus nge-kos, orang tua bahkan sudah membeli tanah dan membangun rumah yang berlokasi di kawasan Jl. Teuku Umar, untuk tempat tinggal anakanaknya yang akan bersekolah di Denpasar. Singkat cerita, tiga tahun kemudian, akhirnya Ketut Sarjana berangkat ke Jawa, tepatnya di Kota Salatiga, Jawa Tengah, untuk melanjutkan kuliah di Universitas Kristen Satya Wacana.

Tak pernah terpikirkan oleh Ketut Sarjana untuk melanjutkan kuliah di bidang lain selain pertanian, hingga pertemuannya dengan seorang teman yang bekerja di kantor notaris, memberikannya sebuah buku. Buku bukan sembarang buku, buku berjudul “Anda Ingin Menjadi Notaris?” karya Effendi Perangin yang merupakan advokat/pengacara dan konsultan hukum, telah berhasil memenuhi pikiran Ketut Sarjana untuk melanjutkan kuliah ke bidang hukum. Dalam waktu 2,5 tahun, Ketut Sarjana menyelesaikan kuliahnya, kemudian 1,5 tahun lagi untuk mengejar gelar Sarjana hukum.

Pelopor Profesi Notaris di Karangasem

Tanpa sepengetahuan orang tua, Ketut Sarjana berniat mendaftar kuliah kenotariatan di Universitas Diponogoro (UNDIP). Untuk mendapatkan uang, ia aktif mengikuti penelitian di Lembaga Penelitian Ilmu Sosial Satya Wacana di Salatiga. Setelah berhasil terdaftar di kuliah notaris, ia pulang ke Bali dan mengungkapkan langkah selanjutnya kepada orang tua. Ayahnya kemudian bertanya. “Apa itu notaris?”, dengan bahasa yang mudah dimengerti ayahnya, Ketut Sarjana menjelaskan notaris adalah pekerjaan yang memudahkan jual-beli tanah. Mendengar penjelasan putranya dan tanpa pertanyaan lebih lanjut, ayahnya langsung menyetujui. Saat melanjutkan kuliah kenotariatan, empat adik Ketut Sarjana masih berkuliah. Ketut Sarjana pun berinisiatif untuk kuliah sambil bekerja, agar tak sepenuhnya membebani orang tua, tapi orang tua tak mengizinkan, mereka berusaha keras agar tetap bisa mendukung biaya yang dibutuhkan Ketut Sarjana. Mereka berharap Ketut Sarjana tetap fokus kuliah, agar dapat segera tamat dan mendapatkan penghasilan dari pekerjaan tersebut.

Selama 12 tahun, Ketut Sarjana menghabiskan waktunya di Jawa, baik untuk menempuh pendidikan maupun sambil bekerja di lembaga penelitian. Pada tahun 1992, ia memutuskan untuk kembali ke Bali sambil menunggu keluarnya Surat Keputusan (SK) Notarisnya dengan penempatan di Karangasem. Pilihan jatuh pada kota tersebut, selain dibutuhkannya formasi notaris, juga pariwisatanya yang sedang berkembang. Mengawali tujuh tahunnya merintis kariernya di Karangasem, Ketut Sarjana mencatat minimnya pengetahuan masyarakat setempat tentang profesi notaris. Ia dan rekannya, Wayan Suparta, pun rutin menutup kantor setiap jam 11 siang, karena dipastikan tidak akan ada klien lagi. Kondisi ini berlangsung selama dua hingga tiga tahun.

Sebagai pelopor profesi notaris di Karangasem, Ketut Sarjana dan Wayan Suparta saling berkolaborasi dalam mengedukasi masyarakat. Momen krusial terjadi ketika masyarakat mulai mengenal peran notaris, terutama saat klien mereka memiliki urusan dengan bank yang mengharuskan berhubungan dengan notaris. Sebelum tahun 1996, berlaku jaminan hipotek digunakan suatu bentuk jaminan atas suatu properti untuk mendapatkan pinjaman. Setelah tahun 1996, peraturan berubah dengan menetapkan Undang-Undang No.4 mengenai pelaksanaan pengelolaan hak tanggungan. Dalam transisi aturan lama ke aturan baru, nasabah diberi batas waktu pemasangan hipotek hingga Agustus 1997. Karena itu, nasabah bank yang memiliki jaminan hipotek harus melalui notaris. Dari situlah masyarakat mulai memahami pentingnya peran notaris dalam transaksi hukum khususnya, yang ada di sekitar mereka.

Berkantor Notaris/PPAT di Jl. Jenderal Sudirman, Desa Subagan, Karangasem, Ketut Sarjana mengungkapkan di era surat elektronik, ia masih terus belajar. Setiap kali terjadi peristiwa hukum, seperti pembebanan jaminan atau pergantian sertifikat, ia merasa khawatir bahwa kita mungkin tidak mengetahui riwayat sertifikat tersebut. Riwayat sertifikat tersebut mencakup informasi penting tentang kepemilikan dan status legal suatu properti, serta catatan tentang beban atau hak atas properti tersebut. Oleh karena itu, Ketut Sarjana selalu berusaha untuk memastikan bahwa ia dan kliennya memahami dengan jelas riwayat sertifikat yang terlibat dalam setiap transaksi hukum, demi menjaga keamanan dan keabsahan proses tersebut. Ketut Sarjana juga menyadari pentingnya regenerasi, mengingat sulit bagi mereka yang sudah matang dari segi usia untuk mengikuti perkembangan zaman. Upaya untuk menyegarkan SDM dalam profesi notaris harus segera dilakukan karena menjadi kunci dalam menjaga kualitas dan relevansi layanan notaris dengan tuntutan zaman yang terus berkembang.

Selain tantangan tersebut, tantangan juga datang dari penerapan aturan baru yang dibuat pemerintah tanpa edukasi terlebih dahulu. “Setiap profesi, termasuk notaris menginginkan kepastian hukum dalam setiap teknis pekerjaan. Sebelum suatu sistem disahkan, sebaiknya dilpersiapkan dari dasar, meliputi sumber daya manusia (SDM) harus dilakukan secara cermat, termasuk dengan membangun sistem yang efisien. Tujuan utamanya bukan hanya untuk mempermudah, tetapi juga untuk memberikan pemahaman kepada mereka yang belum mengerti” curhat Ketut Sarjana, namun yang terjadi belum sesuai harapan.

Untuk para notaris muda, Ketut Sarjana tak kalah berpesan. Di samping kemahiran mereka dalam teknologi, ia menekankan bahwa pengalaman tak bisa diukur dengan angka. Seberapa pun tinggi IQ mereka, belajar dari orang-orang yang memiliki jam terbang tetaplah penting. Ketut Sarjana mengutip dari kata-kata B.J. Habibie, yang mengatakan bahwa anaknya memiliki IQ yang lebih tinggi darinya, tetapi untuk mencapai tingkat pengalaman yang sama, dibutuhkan waktu 20 tahun untuk menjadi sepertinya. Pesan ini menjadi pengingat bahwa kesuksesan tidak hanya bergantung pada kecanggihan teknologi, tetapi juga pada akumulasi pengetahuan dan pengalaman yang dibangun dari waktu ke waktu. Ketut Sarjana mendorong generasi muda untuk terus belajar, merangkul pengalaman, dan menjadikan keduanya sebagai pondasi kesuksesan yang valid di

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!