Yang Dulu Tegalan, Kini Disapa Dunia

Angin laut menyapu lembut barisan pohon kelapa yang tumbuh liar di tepi pantai Amed. Debur ombak yang tenang menghantam karang, seolah berbisik pelan kepada waktu yang berjalan lambat di desa kecil ini. Di kejauhan, siluet Gunung Agung berdiri angkuh, menjaga tanah dan laut yang telah menjadi rumah bagi generasi nelayan dan petani garam sejak lama. Dulu, mungkin bagi sebagian orang, Amed hanyalah desa terpencil yang terlalu jauh dari hiruk-pikuk Bali bagian selatan, terlalu tenang untuk menjadi tempat wisata. Namun bagi I Ketut Suandi Kresna Yuda, tanah ini adalah masa depan. Di matanya, setiap hamparan pasir hitam, setiap ladang, dan setiap sudut pantai yang belum tersentuh, menyimpan potensi besar yang belum tersadari.

Di kawasan tempat Suandi membangun Kubu Kangin Resort, ia bisa dikatakan sebagai pelopor dalam memulai bisnis pariwisata di sana. Saat itu, belum banyak orang yang melihat potensi wilayah tersebut, tetapi Suandi menangkap sebuah kabar yang mengubah arah hidupnya, Amed diprediksi akan menjadi destinasi wisata berikutnya di Bali Timur. Kabar itu tidak lewat begtu saja. Ia simpan baik-baik dalam pikirannya, sambil terus bekerja di kapal pesiar. Di tengah kehidupan yang keras di laut, diterpa ombak besar dan jauh dari keluarga, Suandi diam-diam mulai menyusun mimpi. Dari hasil kerja keras di kapal, yang tak hanya menuntut tenaga, tapi juga kesabaran dan keteguhan hati menghadapi berbagai godaan hidup merantau, ia mulai mengumpulkan modal. Selain uang, modal itu juga tekad, keberanian mengambil risiko, dan semangat untuk pulang membangun kampung halaman. Ketika orang lain mungkin sibuk menikmati hasil jerih payah di luar negeri, Suandi memilih berinvestasi di tanah kelahirannya. Dengan penuh keyakinan, ia membangun Kubu Kangin Resort, saat kawasan itu masih sepi, belum seramai sekarang.

Menelusuri lebih jauh ke masa awal, Suandi sebenarnya telah mewarisi sebidang tanah berupa tegalan dari keluarganya. Tanah berupa tegalan sebenarnya merupakan pemandangan yang lazim di kawasan tersebut, banyak warga sekitar juga memilikinya. Lahan semacam itu sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat setempat, meskipun belum banyak yang melihatnya sebagai aset potensial untuk dikembangkan. Tidak jauh bedanya dengan keluarga Suandi yang merupakan keluarga sederhana. Ayahnya adalah kepala dusun dan ibunya petani yang pekerja keras. Dari kedua orang tua, terutama sosok ibulah yang menginspirasinya untuk bekerja keras dan pantang menyerah. Keteguhan ibunya dalam menjalani hidup yang sederhana, namun penuh semangat dan tanggung jawab, membentuk karakter Suandi sejak kecil. Nilai-nilai itu tumbuh bersamanya hingga akhirnya mendorong ia memberanikan diri merantau dan bekerja di kapal pesiar, sebuah keputusan besar yang menjadi titik awal perjalanan panjangnya membangun masa depan.

Suandi memulai perjalanannya di dunia kerja internasional melalui agen kapal pesiar yang menempatkan di kapal pesiar yang menempatkannya di kapal Carnival. Posisi pertamanya sebagai steward, sebuah pekerjaan entry-level yang menuntut kedisiplinan tinggi. Tak lama kemudian, ia dipindahkan ke bagian dapur, tepatnya ke posisi yang lebih berat. Pot washer, bertugas mencuci peralatan masak berukuran besar. Selama 10 bulan menjalani pekerjaan itu, Suandi diuji secara fisik dan mental. Hari-harinya dipenuhi keringat, panas dapur, dan tekanan kerja yang nyaris tiada jeda. Ia sempat berada di titik hampir menyerah. Namun, di tengah kelelahan itu, semangat untuk mengubah nasib dan kenangan akan kerja keras ibunya menjadi kekuatan yang membuatnya terus bertahan. Menjelang akhir kontrak pertamanya, semesta seperti memberi hadiah. Ia mendapat promosi sekaligus bertemu dengan seorang atasan yang memberi bimbingan kepercayaan. Dari situ, Suandi melangkah ke posisi yang lebih baik, waiter. Ia menjalani tujuh kontrak di posisi itu, sebelum akhirnya dipercaya menjadi asisten tim waiter hingga kontrak ke-sembilan.

Di tengah kesibukkannya bekerja di atas kapal, Suandi tidak lupa akan tanah kelahirannya. Pada kontrak ke-delapan, ia mulai membangun Kubu Kangin Resort, sebuah wujud nyata dari mimpi dan ketekunannya selama bertahun-tahun di perantauan. Ia memanfaatkan waktu pulang dengan cermat, mulai merancang bangunan, menata lahan warisan keluarga, dan menghidupkan kawasan yang dulunya hanya tegalan menjadi sebuah tempat yang kelak menjadi tujuan wisata. Kubu Kangin Resort pertama kali dibuka dengan sangat sederhana. Saat itu, Suandi hanya memiliki empat unit kama. Meski fasilitasnya terbatas, ia berupaya memberikan pelayanan terbaik bagi setiap tamu yang datang, dengan senyum tulus, suasana alami, dan keramahan khas warga lokal. Seiring berjalannya waktu, permintaan meningkat, dan Suandi perlahan mulai meningkatkan fasilitas demi kenyamanan tamu.

Melihat antusiasme dan potensi yang terus berkembang, Suandi berencana akan mengembangkan konsep akomodasinya lebih jauh. Ia menambahkan unit privat yang lebih eksklusif, terdiri dari dua kamar tidur, lengkap dengan dapur pribadi dan swimming pool. Unit ini dirancang untuk keluarga atau tamu yang menginginkan kenyamanan dan privasi lebih selama liburan mereka. Dari awal yang sangat sederhana, Kubu Kangin Resort kini telah tumbuh menjadi salah satu pilihan akomodasi yang diperhitungkan di kawasan Amed. Semua itu tidak lepas dari komitmen Suandi untuk terus belajar, berbenah, dan memberikan pengalaman menginap yang berkesan bagi setiap tamu.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!