Sedikit Radikal, Namun Sukses Membangun Bisnis Properti di Masa Krisis Pandemi
Agak sedikit radikal, Yande Suarjaya memilih membangun bisnis properti saat masa krisis ekonomi pandemi, kendati harga tengah mengalami penurunan. Ia mengungkapkan mumpung ada modal dan kesempatan, ia harus reaktif akan fenomena ini. Tak perlu berlama-lama, ia mendesain bangunan dengan style-nya sendiri, tanpa mengguanakan jasa arsitek. Tahun 2020 ia mulai mempekerjakan tukang dan rampung pada Agustus 2021 yang berkomersil “Yande Guest House”. Ternyata insting Yande tak meleset, berbarengan dengan properti yang siap ditempati, mobilitas masyarakat pun hidup kembali. Alhasil, tak butuh waktu bertahun-tahun Yande Guest House sudah menerima tamu baik itu masyarakat umum maupun wisatawan.
Tahun 2020, ternyata bukan tahun perdana pria asal Denpasar ini memulai bisnis properti, melainkan sudah bisnisnya yang ketiga. Awal terjunnya Yande dalam bidang ini, diceritakan sejalan dengan perkembangan lingkungan pergaulan, diikuti evolusi pola pikirnya. Restu orang tua pun tak kalah vital, meski mereka tak pernah berkecimpung menjadi pebisnis, keterbukaan pikiran ayah dan ibunya dengan memberikan kesempatan untuk merealisasikan gagasan tersebut, menjadi gerbang awal kesuksesannya.
Sebagai anak tunggal, membantu urusan rumah tangga sudah menjadi asupan sehari-hari, terlebih ibu yang juga berdagang kecil-kecilan seperti es lilin dan kerajinan tangan, tak jarang ia pun dilibatkan. Beranjak di bangku SMA, ia yang mulai mengeluarkan sinyal-sinyal ingin menjadi pegawai bank. Lalu Yande melanjutkan kuliah demi semakin menyokong kariernya di perbankan nanti. Di selasela akademis, pihak kampus yang menggelar Program Wirausaha Mandiri pada tahun 2004, ia dan dua orang temannya pun tertarik dan mengambil porsi dalam kegiatan tersebut. Para mahasiswa yang masih duduk di semester IV itu, kemudian memproduksi tas selempang semi kulit dan berbahan beludru. Produksi yang berjalan cukup produktif, sampai akhirnya mereka tamat pada tahun 2011.
Tiga tahun kemudian, Yande dan dua temannya sudah mulai beda jalur sehingga hanya dirinya yang tersisa untuk melanjutkan usaha tersebut bersama sang ibu. Namun tanpa melupakan karier yang sudah lama ia idamkan, ia akhirnya diterima di sebuah bank swasta. Ilmu dan pengalamannya baik dari sisi karyawan maupun berinteraksi dengan customer menjadi sebuah adaptasi baru, sekaligus kembali membuka mindset yakni menemukan visi misi baru dalam hidupnya.
Pasca selama selama empat tahun, tepatnya di 2016 bekerja di perbankan, Yande tertarik pada bisnis properti dengan merancang sebuah penginapan bertipe guesthouse. “Dibandingkan tabungan yang sudah ia kumpulkan terkuras hanya membeli kendaraan baru, alangkah lebih bijak untuk diputar kembali dengan jalan berinvestasi,” ujarnya. Tantangan selanjutnya ialah menanamkan pemahaman ini kepada orang tua yang notabenenya bukanlah pebisnis, apalagi rencananya guesthouse tersebut akan satu natah atau masih di area tempat tinggal ia dan orang tua.
Berlokasi di Yang Batu, Denpasar, kawasan yang hakikatnya bukan referensi pariwisata, tak meruntuhkan terwujudnya lima unit guesthouse impian Yande di tahun 2016. Penginapan bernama “Yande Guest House” tersebut tersedia penyewaan harian dan bulanan. Awal menerima tamu, dari orang tua memang butuh adaptasi, sedangkan untuk tamu, terutama wisatawan jarang yang komplain justru mereka senang bisa dekat dengan masyarakat lokal dan menyaksikan secara langsung saat ada upacara adat yang dilaksanakan di rumahnya.
Tak usai sampai di sana, Yande semakin mengerahkan kemampuannya dengan merambah lokasi properti selanjutnya ke Canggu, Pererenan dan terakhir kawasan elit Renon, Denpasar yang ternyata berbarengan dengan era pandemi. Bersyukurnya lagi-lagi insting Yande tepat sasaran, rampungnya properti terakhir juga disambut dengan mobilitias publik yang hidup lagi. Tak perlu berlama-lama, properti yang juga bernama Yande Guest House itu pun sudah mulai diminati dan mampu memenuhi kebutuhan hunian yang strategis di Denpasar.
Akhir kata, saat ditanya apa yang menjadi target Yande selanjutnya, masih tak jauh-jauh dari okupansi. Ia bermimpi sebelum usia 45 tahun, bisnisnya sudah ada 50 kamar dan 3 vila. “Tentunya bila memiliki mimpi, jangan lupa dieksekusi. Jangan sampai terkesan pihak lain mencuri mimpi kita, hanya karena kita kalah cepat dan overthinking,” pungkasnya.