Menemukan Keseimbangan setelah Kesuksesan
Ada orang-orang yang membangun usaha bukan sekedar mengejar harta. Setelah sempat merasakan keberlimpahan, I Nyoman Ari Siswadi kemudian memilih hidup berkecukupan, tidak berlebihan. Kalau orang-orang sekarang mengatakan, “kembali ke setelan pabrik”. Ya, baginya, di kehidupan yang semakin kompleks ini, tiada yang lebih berharga dalam hidup selain kesehatan dan menciptakan kebahagiaan itu sendiri bersama orang-orang sekitar.
Menjadi anak petani yang ekonominya lebih lamban, membuat Nyoman Ari harus banyak-banyak bersabar. Sejalan dengan kesabarannya, ia juga tidak berhenti berjuang untuk mencapai kemapanan secara ekonomi di masa depan. Langkah kerasnya, ia tekun mengenyam pendidikan sembari bekerja. Sebut saja, ia pernah menjadi kuli bangunan saat masih di bangku SMA untuk memenuhi kebutuhan di luar pokok manusia sehari-hari.
Menanggalkan image seragam siswa, Nyoman Ari bersiap menuju babak pendewasaan diri di bangku kuliah. Ia kemudian mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru) di Universitas Udayana pada bidang Peternakan dan Teknik Sipil, namun yang lulus adalah bidang peternakan yang sebenarnya hanya sebagai formalitasnya dalam syarat proses seleksi tersebut. Ia kembali mencoba tes seleksi Sipenmaru di Institut Teknologi Bandung (ITB), dan ternyata ia lolos. Namun, karena terhantuk biaya, Nyoman Ari merelakan keinginnannya. Tiada kata menyerah, ia kembali mengikuti tes di Unud masih di bidang Teknik Sipil, dan akhirnya berhasil diterima.
Di jantung Kota Denpasar, orang tua Nyoman Ari telah mengontrak tanah seluas 1 are yang siap ditinggali oleh pria kelahiran Banyuning, 25 Juni 1966 ini bersama dua kakaknya yang juga tengah menempuh pendidikan sarjana. Sebagai rantauan yang jauh dari orang tua, ia dipesankan agar saling menjaga antara satu sama lain dan fokus kuliah, agar bisa segera lulus. Karena di belakang Nyoman Ari, sudah mengantre lima adiknya yang juga harus dibiayai untuk sekolah. Melihat pengorbanan orang tua yang sampai menjual sawah untuk tempat tinggal, Nyoman Ari menuruti permintaan orang tuanya. Lagipula, ia juga ingin segera bekerja dari hasil ilmu yang ia peroleh, sehingga ia tidak perlu lagi menggantungkan biaya pada orang tua dan lebih mandiri.
Enam tahun dibutuhkan Nyoman Ari untuk meraih predikat sebagai Insinyur Teknik Sipil. Jika dibandingkan dengan sistem pendidikan sekarang, tentu merupakan waktu yang panjang, tetapi tidak di era 1980-an. Setelah itu, ia diterima sebagai karyawan kontrak di suatu kantor konsultan, padahal sebelumnya ia memiliki target akan bekerja di konstruksi dan bercita-cita memiliki toko bahan bangunan. Sembari menunggu peluangnya, ia mencoba melamar di perusahaan konsultan asal Surabaya dan ia berhasil diterima pada posisi pengawas lapangan. Berjalannya waktu, kejenuhan melanda, Nyoman Ari didukung oleh bosnya untuk mulai belajar gambar dan desain. Ia juga tanpa ragu menyopiri bosnya, kala bosnya melakukan pemasaran. Dengan saksama ia memperhatikan bagaimana bosnya berbicara dengan klien, bahkan soal table manner. Satu yang paling penting “jangan pernah berkata tidak bisa”. Prinsip ini menjadi pegangan hidupnya, mendorongnya untuk terus belajar dan menghadapi setiap tantangan dengan keyakinan bahwa semua bisa diatasi dengan usaha dan kemauan keras. Selain prinsip di atas, Nyoman Ari juga memiliki pegangan hidup, di mana ada kesempatan ada kemauan, akan ada keberuntungan. Dengan kesempatan yang diberikan oleh perusahaan dan kemauan untuk belajar, ia kemudian beralih ke divisi pemasaran yang memperluas relasinya. Dalam semangat yang mengebu, ia menetapkan target bahwa pada usia 35 tahun, ia harus berdiri sendiri di kakinya sendiri, yaitu memiliki usaha sendiri.
Setelah keliling Indonesia selama tiga tahun dan mengecap pahitmanis sebagai karyawan selama 15 tahun, diputuskan Nyoman Ari untuk mengeksekusi kantor impiannya. Terlebih setelah menikah, ia tidak bisa lagi mengandalkan segala kebutuhan hanya dari gaji, sampai-sampai ia pun sempat berjualan beras sebagai pekerjaan sampingan. Sebelum memutuskan untuk mundur, di tahun 2003 ia mulai merintis usaha dari rumah, mengerjakan proyek-proyek dari relasi dan mengerjakan satu orang karyawan. Demi membawa arah pertumbuhan usahanya ke tingkat yang lebih signifikan, Nyoman Ari harus melakukan mengambil langkah lebih berani. Akhirnya pada tahun 2005, ia memutuskan untuk resign dan mengontrak kantor di Jl. Nangka, Denpasar. Ia juga menggandeng dua orang rekannya, yang sama-sama dari perusahaan sebelumnya. Didirikanlah perusahaan konsultan bernama “Mitra Tirta”.
Memiliki tiga kepala dalam satu perusahaan, tetap memerlukan penentuan peran yang jelas agar operasional bisa berjalan dengan lancar. Dalam situasi ini, sangat penting menentukan siapa yang akan menjadi mentor yang akan bertindak sebagai pemimpin utama yang memberikan arahan, membimbing dan memastikan bahwa visi dan misi perusahaan tetap berada di jalur yang benar. Di antara mereka bertiga, akhirnya terpilihlah Nyoman Ari yang dianggap pantas sebagai mentor dengan ilmu dan pengalaman yang dimilikinya. Lima tahun berjalan usaha, Mitra Tirta berkembang dengan stabil, hingga di tahun 2010, Nyoman Ari memindahkan lokasi ke kantor di Jl. Gatot Subroto I Denpasar, yang lebih memadai dengan tiga lantai. Tak cukup sampai di sana, Nyoman Ari melakukan pemekaran usaha. Dari yang hanya bergerak di konsultan, ia juga mulai menyediakan jasa desain dengan mendirikan CV Tri Matra Desain dan Duta Dewata, dua spin-off usaha tersebut dipegang oleh rekanrekannya, sementara Nyoman Ari tetap memegang perusahaan induk, PT Mitra Tirta Dewata Group.
Kesuksesan PT Mitra Tirta Dewata Group dalam bergerak di sektornya, membawa peningkatan secara ekonomi bagi Nyoman Ari dan rekan-rekannya. Sebagai mantan karyawan selama belasan tahun, ia juga berupaya membawa kesejahteraan ini kepada 25 karyawannya. Wacana itu ia buktikan dengan memberikan makan siang gratis yang berlaku setiap jam kerja. Jadi saat tanggal tua, setidaknya mereka bisa berhemat. Saat pandemi Covid-19, Nyoman Ari tak kalah mengucap syukur, pasalnya ia tak sampai harus tutup kantor dan merumahkan karyawan. Proyek-proyek masih eksis, meski tak seriuh sebelum pandemi. Kesuksesan Nyoman Ari sendiri dalam hal materi, terlihat dengan beberapa kendaraan yang dibelinya, atas dorongan nalurinya sebagai laki-laki yang dipandang sukses dari kendaraan yang mereka kendarai. Tapi itu dulu. Materi yang berlimpah ternyata bukan satu-satunya pangkal kebahagiaan. Kini ia memilih hidup seimbang, berkecukupan dalam ekonomi dan fokus berinvestasi demi menyongsong masa depan generasi penerusnya kelak. Seperti apa yang dilakukan orang tuanya dahulu, mereka mengorbankan aset dan materi untuk dijual demi kebutuhan anak-anaknya. Hal ini membuktikan, rezeki bukan hanya materi, tetapi rezeki datang dari kualitas hidup dan kebahagiaan orang-orang terdekat. Nyoman Ari terus berupaya menciptakan lingkungan yang harmonis dan mendukung bagi keluarganya, mengajarkan nilai-nilai penting seperti kerja keras, kejujuran, dan kepedulian terhadap sesama. Dengan cara ini, Nyoman Ari berharap dapat mewariskan bukan hanya harta, tetapi juga nilai-nilai kehidupan yang akan menjadi bekal berharga bagi anak-anaknya di masa depan.