Melestarikan Gaya Bali Lewat Seni dan Kekerabatan

Dari kerasnya didikan sang ayah, I Putu Darmawan (Putu Rapik) tumbuh dengan semangat juang yang tinggi dan mewarisi darah seni ukir kayu. Salah satu hal yang paling diingat dari didikan ayahnya adalah ketegasan tanpa kompromi. Jika ada sedikit saja cacat atau patah karyanya, ayahnya tidak akan segan-segan melempar hasil tersebut sebagai bentuk koreksi. Namun, bagi pria yang akrab dipanggil Putu Rapik ini, cara didikan keras tersebut justru menjadi motivasi tersendiri. Alih-alih terbawa perasaan, Putu Rapik semakin terpacu untuk membuktikan diri. Ia belajar untuk menikmati proses menjadi seorang pengukir yang andal dengan sikap pantang menyerah.

Beranjak dewasa, Putu Rapik mulai menjual hasil karya ukirannya untuk membiayai pendidikannya. Suatu ketika, seseorang memintanya untuk mengukir pintu dengan pandil sesuai dengan keterampilannya. Orang tersebut sebelumnya telah membantu keluarga Putu menyelesaikan permasalahan tanah yang baru dibeli, dan setelah memenangkan masalah tersebut ia tidak menuntut bayaran. Sebagai gantinya, ia hanya meminta agar pintu rumahnya diukir oleh Putu Rapik. Melihat hasil karya yang unik dan berbeda dari ukiran lainnya, permintaan untuk karya Putu Rapik mulai berdatangan, terutama dari relasi orang tersebut yang merupakan tokoh-tokoh penting. Tidak hanya itu, Putu Rapik mulai mendapatkan pesanan yang mengharuskannya berkolaborasi dengan rekan yang ahli, dan juga ikut terlibat dalam proyek dari awal hingga bangunan selesai. Namun, tantangan muncul saat rekannya yang awalnya direncanakan untuk membangun proyek tersebut bersama, beralih ke klien lain. Ini membuat Putu Rapik menjadi satu-satunya yang bertanggung jawab atas proyek bangunan bergaya Bali tersebut, meskipun pada saat itu ia belum banyak mengetahui seluk-beluk konstruksi gaya Bali. Momen ini menjadi titik balik penting dalam kariernya, mendorongnya untuk belajar lebih dalam tentang seni bangunan Bali dan terus berinovasi dalam bidang tersebut.

Setelah berdiskusi dengan seorang sulinggih yang ahli dalam pengetahuan tradisional Bali, Putu Rapik memahami kompleksitas membangun rumah gaya Bali. Dalam konsep bangunan tradisional ini, setiap elemen memiliki aturan dan hitungan tersendiri, mulai dari jarak antara bale (paviliun) hingga ukuran dipan atau penyangga tempat tidur. Tantangan terbesar yang dihadapi adalah bagaimana menerapkan gaya Bali pada lahan yang terbatas, terutama karena tren rumah modern sekarang yang lebih minimalis. Tidak semua lahan memenuhi syarat untuk bangunan gaya Bali, karena rumah tradisional Bali biasanya membutuhkan ruang yang lebih luas untuk mencakup struktur seperti bale daja (paviliun utara) dan bale delod (paviliun selatan). Tantangan inilah yang memicu rasa ingin tahu Putu Rapik untuk mempelajari lebih dalam mengenai arsitektur tradisional Bali pada tahun 2000, dan merasa tertantang untuk menyesuaikan seni ukir serta desain bangunan dengan keterbatasan ruang yang dimiliki klien modern.

Setelah sukses dengan proyek tersebut, nama Putu Rapik dalam bisnis segala jenis ukirnya dengan “Brata Jati” pun semakin diakui dari pembicaraan mulut ke mulut. Menariknya, di luar aspek profesional, bisnis yang dibangun Putu Rapik tidak hanya berhenti pada transaksi jasa semata, melainkan juga memperkuat hubungan kekerabatan dengan klien. Setelah proyek bangunan rampung, hubungan dengan klien sering berlanjut secara personal. Pada saat suatu bangunan diupacarai, para kliennya kerap datang ke rumah Putu Rapik, membawa buah atau seserahan lain sebagai bentuk terima kasih dan penghormatan. Ini bukan sekadar tradisi sosial biasa, tetapi menunjukkan bagaimana bisnisnya juga berperan dalam menjalin hubungan yang lebih akrab dan berkelanjutan yang melebihi ikatan profesional. Putu Rapik berharap hubungan semacam ini bisa terus dilestarikan seiring dengan usahanya menjaga keaslian dan nilai-nilai tradisi bangunan gaya Bali. Tidak hanya struktur bangunan yang perlu dipertahankan, tetapi juga nilai-nilai sosial seperti gotong royong dan rasa hormat yang telah menjadi bagian dari budaya Bali. Dengan demikian, bisnis ini bukan hanya soal pekerjaan konstruksi, tetapi juga medium untuk melestarikan warisan budaya dan memperkuat hubungan antarmanusia.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!