Melanjutkan dan Mempresentasikan Seni Budaya yang Dihargai Dihormati dan Dikagumi Dunia
Lahir di Puri Kaleran, 5 Mei 1954, Anak Agung Gde Oka Dalem sejak usia enam tahun sudah tertarik menyaksikan kegiata seni di dalam puri dan terkadang ia pun ikut menirukan aksi penari tersebut, yang membuat ayahnya terdorong memberikan dukungan kepadanya dengan membekalinya ilmu seni tari, langsung dari guru tari profesional, I Made Jimat.
Memasuki masa sekolah, darah seni Oka Dalem semakin terasah tak hanya pada seni tari, tapi juga seni musik tradisional Bali, seperti gamelan. Ia pun dipercaya mengisi kegiatan di luar aktivitas seni sekolah bersama teman-teman sebayanya. Meski harus menempuh perjalanan yang cukup jauh sambil membawa peralatan musik untuk dipentaskan, tak hanya di Ubud tapi hingga ke Denpasar, diungkapkan olehnya pengalaman tersebut adalah pengalaman yang sangat menyenangkan dan sulit dilupakan di masa remajanya.
Memiliki prestasi di dunia seni, Oka Dalem diterima sebagai siswa di SMAN 1 Denpasar. Setelah tamat, ia disarankan untuk melanjutkan ke Fakultas Kedokteran oleh ayahnya, Anak Agung Gede Ngurah Mandera (Alm) agar putranya memiliki ilmu dan pengalaman yang lebih luas tak hanya di dunia seni saja. Namun saat ia mengikuti ujian di Universitas Udayana, kondisi tubuhnya mengalami demam tinggi, ia pun akhirnya gagal dalam tes tersebut. Ia kemudian mencari informasi di fakultas lainnya, setelah ditelusuri ia tertarik untuk memilih Jurusan Teknik Arsitektur, karena tertera ilmu masih yang berhubungan dengan seni yakni “Seni Gambar” dalam kurikulum tersebut.
Tantangan dalam mengatur waktu antara tugas tugas kampus dan panggilan hati untuk melakukan pentas sendratari, mulai dirasakan Oka Dalem. Sepeninggal ayah pada tahun 1985, ia sempat bingung apakah akan melanjutkan di dunia seni atau berkarier di arsitektur. Setelah sempat setahun dilanda kebingungan, ia berupaya tetap menuntaskan kuliahnya sebaik mungkin. Sembari tak hilang kesempatan untuk berangkat ke luar negeri melakoni kiprahnya sebagai penari. Sepulang dari negara adidaya yaitu Amerika Serikat, ia membawa pulang honornya yang kemudian ia gunakan untuk membeli tanah seluas 5 are pada tahun 1999 dan mendirikan “Balerung Mandera Srinertya Waditra” yang berlokasi di Puri Guruh Sindang Paridesa, Br Teruna Peliatan, Ubud.
Selain sebagai wujud rasa hormat kepada “Sang Maestro” Oka Dalem bercita-cita melalui panggung tersebut dapat terus dilakukan pengembangan budaya khususnya seni tari dan musik. Tak puas sampai di sana, ia juga menciptakan koreografi tarian baru dan terlibat dalam berbagai kegiatan kreatif lainnya dan telah bekerja sama dengan banyak koreografer dan musisi lain dalam berbagai proyek artistik.
Dalam kegiatan tersebut, Oka Dalem sukses mengumpulkan anak muda yang memiliki passion dalam berkecimpung seni budaya Bali. Namun karena kondisi pandemi, kegiatan terpaksa dikurangi dan dimundurkan dari jadwal seharusnya. Tapi ia berharap semangat generasi penerus ini akan tetap ada di hati mereka. Terlebih mengingat bagaimana perjuangan Sang Ayah, Anak Agung Gede Mandera di Colonial Expo di Paris, Perancis pada tahun 1931 dalam menjalankan misi pertama memperkenalkan seni budaya di kancah dunia bersama pekerja seni Peliatan dan desa lainnya di Ubud.
Di zaman yang masih serba terbatas kala itu, beliau sudah sukses membawa nama “Sekaa Gong Gunungsari” khususnya mempersembahkan tari legong menjadi primadona saat expo berlangsung. Bila dibandingkan zaman sekarang, dengan bekal teknologi yang serba modern, tentu seharusnya kita tak mudah pantang menyerah dan tetap optimis dalam memperesentasikan karya kita. Jadi tetaplah menggali apa yang ada dalam diri kita dengan kreativitas-kreativitas baru, demi mewarisi seni budaya atau bidang lainnya dari generasi ke generasi selanjutnya.