Lakukan Evaluasi Diri dan Perusahaan dari Pengalaman sebagai Aset Berharga
Majalah Bali | Menjadi sosok yang memiliki prestasi dalam bidang akademik dan bergelut dalam ilmu, bukan pilihan Gde Arie Satrya Lesmana dalam menelusuri jalan kariernya, ia lebih memilih untuk mengandalkan logika dan pengetahuan yang ia miliki seadanya. Namun ia tersadar, seiring pengalamannya yang sudah-sudah, ia memahami bahwa berpikir secara logika pun harus diseimbangkan, yakni dengan penerapan yang kuat untuk terus belajar hal-hal baru. Kombinasi tersebut pun ia jalankan, hingga membawa pria asal Penatih ini, tumbuh menjadi salah satu wirausahawan muda yang berkembang di Bali.
Kesederhanaan perekonomian keluarga tak dirasakan berdampak yang signifikan bagi Gde Arie Satrya Lesmana semasa kecilnya. Anak pertama dari tiga bersaudara ini mengungkapkan, bila saat keluarganya mengalami kekurangan, ia masih bisa menikmati apa yang ada, jadi kesulitan tersebut tidak begitu terasa. Namun bukan berarti menerima apa adanya kekurangan keluarga membuatnya bersikap masa bodoh dan tidak melakukan apa-apa, justru ia ingin menjadi sosok yang lebih baik kedepannya, terutama memberi manfaat bagi diri sendiri terlebih dahulu.
Gde Arie memiliki banyak minat sejak kecil, namun minat tersebut tidak sejalan dengan pilihan karier sebagian besar keluarganya yang berprofesi di dunia Pendidikan. Ia mengaku tidak memiliki ketertarikan untuk bergelut di bidang tersebut, padahal dapat dikatakan nilainya cukup baik, sehingga ia berhasil masuk ke sekolah negeri, yaitu SMPN 10 Denpasar dan SMAN 3 Denpasar.
Seiring bertambahnya usia, nilai-nilai di rapornya mengalami penurunan, karena mindset yang mulai berubah dan perhatian Gde Arie mulai tertuju untuk memiliki penghasilan sendiri dengan bekerja dan berwirausaha. Di mana kala itu perekonomian keluarga juga dalam keadaan kurang stabil
Di bangku SMA, Gde Arie sudah terdorong untuk bekerja dan berwirausaha, ia juga pernah berjualan bensin botolan di bangku SMA. Karena ia kuliah di Universitas Udayana program ekstensi yang notabene kuliah bagi para pekerja dan kuliah di malam hari, otomatis banyak waktu yang ia miliki untuk bisa bekerja dan berbisnis kecil-kecilan di pagi harinya.
Meski memilih jalannya sendiri untuk berkarier, bukan berarti keluarga tidak memberinya sebuah dukungan. Sempat atas saran keluarganya yang bekerja di dunia pertambangan di Kalimantan, ia pun disarankan untuk mengambil jurusan Teknik Elektro agar kelak ia bisa ikut bekerja di dunia tambang, walau minatnya lebih ke Teknik Arsitek yang ia cita-citakan dari kecil.
Pada semester awal kuliah, Gde Arie tidak memiliki passion untuk belajar, karena memang sama sekali tidak memiliki pemahaman tentang kuliah di jurusan Teknik Elektro tersebut. Berbanding terbalik dengan semangatnya dalam bekerja.
Belajar dari Pengalaman Kegagalan
Setelah bekerja di sebuah perusahaan investasi berjangka dan restoran siap saji “McDonald”, Gde Arie akhirnya memberanikan lagi untuk berusaha membuka pengetikan di mana ia bekerja sama dengan temannya, yang berlokasi di Jl. Akasia, Denpasar. Di mana modal didapat dari hasil dari bekerja dan pinjaman di bank. Karena beberapa kondisi yang kurang nyaman baginya, akhirnya pun ia mengakhiri usaha tersebut dengan membagi hasil dengan temannya sesuai atas apa yang telah dikerjakan sebelumnya.
Dari hasil usaha pengetikan, ia kumpulkan untuk membeli kain dan membuka usaha clothing dan konveksi. Karena tidak memiliki pengalaman dalam hal mendesain, ia kembali bekerja sama dengan rekannya yang memiliki ilmu di bidang tersebut. Namun lagi-lagi karena beberapa hal, di mana mereka kembali tidak satu frekuensi dalam mengelola usaha, ia pun kerepotan sendiri dan berbekal ilmu dan pengalaman yang telah ia jalani sebelumnya, akhirnya ia pun menjalani usaha tersebut sendiri hingga sekarang. Di mana akhir-akhir ini usaha tersebut dibantu oleh keluarganya karena Gde Arie sendiri sudah sangat sibuk dengan dunia pekerjaan baru yang ia geluti sekarang.
Dari berbekal pengalaman ayahnya yang bergerak dibidang pengadaan barang dan jasa di pemerintahan, yang awalnya ia hanya membantu pekerjaan, namun karena beberapa kali didorong untuk ikut menangani proyek-proyek tersebut di mana pada waktu itu Gde Arie masih mengenyam perkuliahan, akhirnya ia merasa tertarik untuk ikut terjun di dunia tersebut. Pada awalnya ayahnya sudah menyiapkan izin badan usaha, namun ia belum mau menjalaninya, malah membuat izin badan usaha yang baru yang ia rintis dari awal yang bernama CV Bhallaram Satrya Perkasa.
Belajar dari pengalaman yang sudah-sudah, Gde Arie mengevaluasi diri bahwa untuk membuka usaha, tidak hanya sekedar mengikuti insting saja, tapi juga butuh mentor yang telah berpengalaman di bidangnya. Terlebih sebagai wirausahawan muda sepertinya, saat perusahaan mengalami ketidakstabilan, ada pengarahan dari mentor untuk langkah yang diambil selanjutnya.
Singkat cerita, ketertarikan Gde Arie pada dunia usaha semakin menjadi, terlebih setelah pengalamannya di CV yang menangani beberapa proyek-proyek pembangunan sebelumnya, ia semakin tertantang untuk mengembangkan bidang tersebut lebih luas. Kali ini perhatiannya tertuju pada layanan kontaktor yang berkaitan dengan bidang Mekanikal Elektrikal (ME) dalam proses pembangunan gedung.
Akhirnya pada tahun 2020, didirikan lah PT Akasha Shatya Wibawa yang menjadi sebuah kebanggaan Gde Arie, di mana perusahaan tersebut tidak hanya berlokasi di Bali, namun sudah ada kantor percabangannya di Jakarta dan di Lombok. Untuk di Bali PT Akasha Shatya Wibawa berlokasi di Jl. Tukad Badung X A No. 10 A Denpasar. Berkat ilmu dan pengalaman yang ia dapatkan dari mentor dan mengikuti seminar-seminar, ia percaya diri untuk juga mengembangkan PT Akasha Shatya Wibawa.
PT Akasha Shatya Wibawa sendiri bergerak di bidang perdagangan, pemasangan dan pemeliharaan elevator dan eskalator. Di mana di Bali sudah ada ruang publik baik rumah sakit dan pasar modern yang menggunakan produk lift/elevator dan jasa PT Akasha Shatya Wibawa itu sendiri.
PT Akasha Shatya Wibawa yang masih berumur jagung, namun besar harapan dan rasa bangga Gde Arie sebagai putra daerah yang berani bergerak di bidang alat berat berupa alat transportasi ini, di mana ia berkeinginan Bali sebagai sentral utama produk lift yang ia miliki, yang biasanya hanya dikuasai oleh pengusaha-pengusaha dari Jakarta dan Surabaya. Berbekal pengalaman dengan risiko dan kendala yang pernah Gde Arie hadapi dalam perjalanan mengelola perusahaan baik CV hingga PT saat ini, namun tetap ia selalu bereksperimen dan berspekulasi dengan hal-hal dan ilmu baru serta tetap melakukan evaluasi diri maupun perusahaan dengan dilandaskan visi misi perusahaan, memberikan pelayanan terbaik berintegritas dan menggunakan produk bersertifikasi.
Gde arie sendiri yakin PT Akasha Shatya Wibawa akan mampu bersaing dan tetap mengikuti perkembangan zaman di era milenial dan teknologi yang selalu meng-update sistem dan penerapannya. Selain itu besar harapannya bisa mampu bersaing untuk go nasional dengan cabang-cabang dan agen-agen kerja sama yang dijalin dan telah ada dibeberapa daerah luar Bali.
Menjadi sosok yang memiliki prestasi di bidang akademik bukan jalan utama bagi Gde Arie Satrya Lesmana dalam meniti kariernya dan mengembangkan pola pikirnya yang lugas dan fleksible. Di mana dalam kesehariannya ia lebih mengandalkan logika dan pengetahuan yang ia miliki. Seiring pengalaman yang telah ia lalui dan jalani, berpikir secara logika saja tidak cukup, perlu pengembangan dan penerapan yang lugas dan fleksible dengan situasi dan kondisi yang harus terus berkembang seiring pesatnya teknologi terkini. Penerapan pola pikir itu pun ia terapkan hingga kini, baik untuk pribadi, keluarga dan perusahaan yang ia rintis, sehingga mengantarkan pria kelahiran Penatih Denpasar ini tumbuh menjadi salah satu wirausaha muda yang berkembang di Bali.