Kolaborasi Seni Sang Undagi Spiritual dan Teknologi untuk menghasilkan Karya Seni yang Ikonik dan Metaksu
I Ketut Sudiarta merupakan pematung yang berasal dari Br. Katimemes, Desa Sudimara, Tabanan. Beliau lahir pada tahun 1959 dari orang tua yang berprofesi sebagai seorang petani dan pedagang. Darah seni yang diturunkan kepadanya, merupakan berasal dari ibu yang juga aktif di dunia seni.
Kehidupan masa kecil I Ketut Sudiarta tergolong anak yang patuh dan hormat kepada orang tua. Saat beliau menginjak bangku sekolah dasar, beliau sudah membantu perekonomian keluarga dengan berjualan es lilin keliling. Tak hanya itu, di masa ekonomi yang sulit, ia juga mencari daun pisang untuk ditukar dengan makanan seperti kacang goreng dari pedagang. Meski harus bekerja sambil bersekolah, prestasi I Ketut Sudiarta dapat dikategorikan cukup baik, terutama di bidang seni rupa.
Adanya dorongan dari diri sendiri dan lingkungan membuat I Ketut Sudiarta memilih melanjutkan sekolah ke SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa). Banyaknya prestasi yang beliau raih, membuatnya disenangi oleh banyak temantemannya, terlebih guru-guru pembimbingnya saat itu. Namun setelah tamat, I Ketut Sudiarta, yang awalnya ingin melanjutkan sekolah perguruan tinggi ke Yogyakarta mengurungkan niatnya dengan alasan ingin memperdalam ilmu meditasi. Semenjak itu pikirannya terus mengacu pada aktivitas yang mendukung kesehatan mental dan fisik tersebut. Meski ia mendapat tawaran oleh kepala sekolah di SMSR untuk mengajar kemudian akan mendapat beasiswa untuk melanjutkan ke Yogyakarta, namun tetap saja tawaran tersebut tak menarik hatinya.
Padahal bila dibandingkan dengan tawaran yang datang padanya, I Ketut Sudiarta sebenarnya tidak memperoleh finansial yang menjanjikan dari memperdalam ilmu meditasi. Namun sisi positifnya, beliau akhirnya menemukan jawaban yang selama ini dicari dan dipertanyakan oleh orang tuanya yakni soal kawitan atau asal usul leluhur keluarga. Berawal dari memperdalam ilmu meditasi akhirnya mengantarkan I Ketut Sudiarta bertemu dengan seorang yogi yang berasal dari Buleleng, yang akhirnya mampu memperkenalkan beliau dengan kawitan-nya yakni “Pasek Bendesa Manik Mas”. Sejak saat itulah, Ketut Sudiarta mulai banyak belajar soal agama dan dunia spiritual. Setelah lama menekuni ilmu meditasi dan spiritual, akhirnya I Ketut Sudiarta kembali melanjutkan cita-citanya dalam karya seni rupa yang dikombinasikan dengan pemahaman spiritual di dalamnya. Hal itu mulai beliau wujudkan dengan membuat desain pembangunan tempat persembahyangan kepada leluhur atau kawitan di lingkungan keluarganya.
Melihat hasil karya seni yang dihasilkan, I Ketut Sudiarta mendapat peluang untuk semakin mengembangkan karyanya tersebut lebih bergengsi di mata masyarakat. Adanya peluang untuk mengambil proyek pemerintah membuat beliau mendirikan “CV Linggayu” sebagai syarat badan hukum untuk beliau berkarya yang beralamat di Br. Katimemes, Desa Sudimara, Tabanan. Ia pribadi sejatinya sama sekali tak memiliki keahlian di bidang manajemen dan konstruksi, beliau pun dibantu oleh beberapa staf yang memiliki keahlian di bidangnya masing-masing. Dengan adanya tim tersebut membuat CV Linggayu memiliki pembeda dengan bisnis industri patung lainnya. Kolaborasi yang baik menghasilkan kualitas patung yang proporsional dan memiliki keunggulan pada detailing dan segi anatomi yang lebih spesifik. Kelebihan lainnya, untuk patung-patung ukuran besar, selain didesain secara manual CV Linggayu juga memanfaatkan teknologi digital.
CV Linggayu di bawah kepemimpinan I Ketut Sudiarta telah menghasilkan banyak sekali karya-karya ikonik. Namun dari sekian karya yang pernah beliau kerjakan, terdapat beberapa proses pembuatan patung yang memiliki kesan yang berbeda di hati I Ketut Sudiarta di antaranya adalah Panggung Terbuka “Garuda Wisnu Serasi” (GWS), yang diselesaikan hanya dalam waktu enam bulan, dari target yang diberikan pemerintah selama setahun. Kemudian pembuatan patung “Ida Betara Ratu Bagus Kebo Iwa” setinggi 9,45 meter dengan berat 18 ton serta dilapisi dengan lapisan solid surface yang berlokasi di sebelah barat Pura Puseh Luhur Bedha di Desa Adat Bedha kawasan Desa Bongan, Kecamatan Tabanan, Di mana saat proses akhir pengangkatannya ke atas pedestal yang sempat terkendala alat berat, akhirnya bisa terangkat setelah dilakukan pergantian alat berat.
Pengerjaan patung Kebo Iwa ini sukses terealisasi dalam waktu empat bulan yang dimulai sejak Agustus 2020 dengan melibatkan tim dan manajemen yang kuat. Patung Kebo Iwa dengan tangan kanan mengacung, sementara tangan kiri memegang senjata keris, sudah bisa dinikmati oleh masyarakat Tabanan khususnya pengguna jalan sebagai karya yang ikonik di Desa Adat Bedha. Selanjutnya pengerjaan patung Jaladhimantri Nala yang dibangun di Kolinlamil TNI AL Jakarta Utara. Patung ini memiliki tinggi 4 meter yang dikerjakan di studio CV Linggayu selanjutnya dikirim ke Jakarta menggunakan jasa kargo. Patung ini diresmikan langsung oleh Menteri Parekraf Sandiaga Uno.