Adab Sukses di Perantauan “Di mana Bumi Berpijak Disitu Langit Dijunjung”
Didin Syaifudin, founder dari CV Deris Silver, memiliki latar belakang keluarga yang sederhana. Namun ia menemukan visi misi hidupnya. Seperti pencarian jati diri dalam karier, yang sesukses-suksesnya dalam materi, akan lebih baik bersinergi dengan pertumbuhan kepribadian yang lebih bijaksana dalam menghadapi situasi bisnis yang rentan akan fluktuasi.
Pria kelahiran Jakarta 1978 ini, mengawali kariernya di sebuah perusahaan asing yang bergerak di produksi jewelry di Bali pada tahun 1998. Beberapa mutasi karier sempat ia jalani, hingga rekannya di perusahaan tersebut yang bertindak sebagai marketing, mengajaknya untuk membuka usaha serupa, ia pun memutuskan mundur di tahun 2003.
Meski posisinya cukup krusial di usaha rekannya, tak membuat Didin berpuas diri. Memondasikan bisnis di atas kakinya sendiri adalah targetnya setelah itu, yang ia awali dengan menjual produk celana jeans. Ia yang tinggal di sebuah kost di Singaraja bersama temannya, harus pulang pergi ke Denpasar demi mengembangkan bisnisnya. Kondisi jalan yang saat itu tidak sepadan sekarang, enggan membuatnya putus asa untuk tetap menata ekonomi secara independen.
Didin kemudian mencoba mengontrak lokasi di Jl. Danau Tamblingan, Sanur, sayang keberadaannya di sana hanya bertahan selama tiga bulan, disebabkan pembayaran yang tersendat dan modal dagangan pun tak mengalami perputaran. Tidak boleh menyerah begitu saja, ia kembali melanjutkan perfoma terbaiknya, namun kali ini di proyek yang berbeda, ia tertarik kembali bergelut di kreativitas jewelry dan mengontrak toko di kawasan Gg. Popies, Kuta pada tahun 2008.
Dengan nama yang semula sudah berkomersil “Deris Silver”, (Deris nama anak pertamanya) Didin mengungkapkan meski kawasan gang yang melegenda itu ramai lalu lintas wisatawan mancanegara, usahanya masih sepi pengunjung. Kondisi tersebut sempat membuatnya terheran-heran, akhirnya ia pun bertanya pada ‘orang pintar’ sekaligus pemuka agama yang ia anut. Ternyata, memang ada yang sengaja ‘menutup’ keberadaan usahanya dengan cara gaib. Tanpa mengurangi rasa hormat sebagai orang muslim, ia membutuhkan bantuan dari “Jero” yang dianugerahkan kemampuan supranatural untuk mengembalikan kondisi usahanya, sebagaimana seharusnya. Selang tiga hari, harapan Didin pun terjawab, usahanya mampu beroperasi normal dan mendapat perhatian wisatawan yang lalu lalang.
Belum berakhir sampai di sana, ternyata Krisis Global 2008 membuat Didin terpaksa menutup usahanya dan bekerja dengan orang asal Kanada selama dua tahun. Kemudian gajinya ia gunakan untuk membayar utang. Singkat cerita, ia merajut asa kembali di 2017 di usaha jewelry. Kali ini ia lebih berhat-hati dan berstrategi, dengan mengikuti seminar-seminar bisnis yang diisi oleh pakarnya secara langsung. Merasa cukup ilmu, ia mulai membenahi perusahaan, salah satunya merancang website perusahaan yang menarik dan riset kata kunci agar tampil di laman pertama, hasil pencarian di Google, tercetuslah http://derissilver.com
Melalui media digital, ia pun mampu menjangkau customer hingga lintas negara, salah satunya dari Australia yang menjadi supplier resminya dengan kepemilikan beberapa outlet di negeri kanguru tersebut, hingga di masa pandemi Covid-19, yang membuat “CV Deris Silver” berkaryawankan 40 orang ini bisa bertahan di masa pandemi.
Seperti peribahasa “Di mana bumi berpijak, di situ langit dijunjung”, pandangan Didin dalam spiritual kian bertumbuh setelah pengalaman yang ia alami. Sebagai pendatang di Bali, ia pun sekaligus menghormati ritual yang sudah diwarisi oleh nenek moyang Hindu Bali. Selain dalam kehidupan sehari-hari, bisnisnya yang kian tenar dan terpercaya yang berlokasi di Jl. Imam Bonjol No.386, Denpasar Barat (masuk 150 meter belakang Executive Karaoke), ia memfasilitasi tempat tempat ibadah Mushola dan menempatkan ‘pelangkiran’ (sarana persembahyangan umat Hindu untuk menyembah dewa atau dewi tertentu) dan mempersilahkan bagi karyawan Hindu untuk melakukan ritual demi menjaga energi positif dan menghormati ‘niskala’ di area bisnisnya. “Saya sebagai warga pendatang, menjaga keseimbangan antara ‘dunia kita’ dan lintas dimensi wajib hukumnya, baik dengan jalan ritual dan kebijakan kita sebagai manusia. Semoga toleransi ini juga bisa disadari oleh wilayah lain di Indonesia yang masih memperkarakan kebhinekaan, yang sejatinya sudah menjadi benih indahnya Nusantara.