Kita yang Memiliki Aset Sudah Seharusnya Menjamu Wisatawan di Tanah Kelahiran Sendiri
Orang tua yang sudah terjun ke pariwisata sejak tahun 1980-an, tak menutup kemungkinan bagi I Dewa Nyoman Artana juga terjun di bidang yang sama. Sejak tahun 2009, ia bekerja di beberapa perusahaan hospitality baik dalam negeri maupun luar negeri. Kemudian melanjutkan pendidikan lebih tinggi demi meneruskan jejak orang tua. Apalagi ia sebagai orang asli Ubud, sudah seharusnya membangun pariwisata tersebut, didomestikasi oleh garis generasi penerus seperti dirinya, demi penghormatan kepada jiwa-jiwa nenek moyang yang telah mewarisi tanah “Spirit of Bali” tersebut.
Kehidupan masa kecil pria kelahiran tahun 1988 ini, bisa dikatakan belum seberuntung teman-teman sebayanya, syukurnya ia hidup di lingkungan pertemanan yang cukup sehat dan saling memberi dukungan antar satu sama lain. Misalnya saat ia berjualan di sekolah, ia tak pernah dikucilkan, hanya karena apa yang dilakukannya tak seperti mayoritas teman-temannya. Kendati jauh dari perundungan, motivasinya untuk mendapatkan kelayakan ekonomi, terus ia gemakan di dalam jiwa dan raganya.
Sudah umum di negara tetangga, Singapura, warganya mengambil lebih dari satu pekerjaan. Hal itu pula yang dilakoni Artana, saat ia memilih bekerja di hotel di Singapura. Hanya saja, ia cukup beruntung di antara rekanrekannya, ia bisa mengambil part time di segmen pekerjaan yang berbeda, namun di satu hotel yang sama. Siang hari ia bekerja di restoran hotel, pagi harinya ia training di ballroom hotel tersebut. Di tengah situasi giatnya meniti karier, Artana dihadapkan dengan kondisi ibu yang sedang sakit. Ia akhirnya memutuskan untuk pulang ke Ubud dan menepi sejenak dari kesibukkannya untuk fokus merawat ibu.
Namun takdir berkata lain, ibunda Artana harus berpulang ke Sang Pencipta dan itu artinya ia hanya memiliki ayah yang juga tak bisa dengan mudah ia tinggalkan karena mengejar karier. Maka akhir tahun 2009, ia yang sudah menolak beberapa penawaran bekerja kembali di Singapura dan kapal pesiar, memutuskan berkarier di Bali, di sebuah perusahaan galeri dan beberapa hotel.
Setelah begitu banyak pertimbangan, tahun 2017 Artana keluar dari perusahaan tersebut dan mulai merintis usaha. Tanpa menomorduakan orisinalitas dari tanah Ubud itu sendiri, berikut alam, vibrasi dan kulturnya, Artana kemudian mendirikan akomodasi penginapan, kemudian disusul dengan fasilitas restoran di atas aset hasil keringatnya sendiri yang ia gapai di usia 30 tahun. “Menyenangkannya bekerja di pariwisata itu tak hanya mengandalkan sumber income dari gaji saja, tapi juga dapat tip dari wisatawan. Dari penghasilan itu saya kelola sedemikian rupa untuk berinvestasi”, ucap Artana.
Proses pengawasan pembangunan “Kandarpa Ubud” yang berlokasi di Jl. Cok Gede Rai No.23, Peliatan, Ubud ini, dilakukan olehnya sendiri. Ia mempekerjakan tim yang expert di bidangnya, yang membutuhkan waktu selama 14 bulan hingga rampung dikerjakan. Melihat lokasinya yang agak menjorok ke dalam, tak menjadi soal bagi Artana, justru bisa menunjukkan sesuatu yang berbeda dari yang lain dan memberi warna beragam dalam pemilihan destinasi penginapan di Ubud. Alhasil, Kandarpa Ubud pun menjadi pelopor penginapan yang hadir di kawasan tersebut, sekaligus tantangan bagi Artana untuk menyesuaikan kondisi permukaan tanahnya yang masih berbatu, hingga termanifestasi Kandarpa Ubud yang berkonsep boutique resort.
Baru saja resmi dibuka Mei 2019, Artana harus terpukul akibat masuknya kasus pandemi Covid-19 di Bali. Namun, terlepas dari imbas negatif yang menerpa pariwisata, betapa pentingnya sebagai manusia harus piawai mengambil hikmah positif dari peristiwa tersebut. Seperti pentingnya memikirkan rencana jangka panjang atas kemungkinankemungkinan yang akan menimpa suatu bisnis, dalam hal ini pariwisata. Ia yang tak menyangka akan menghadapi pandemi yang pelik ini pun mengekori upaya para pebisnis properti lainnya, yakni dengan banting harga yang menyasar pasar lokal dan wisatawan domestk. Melalui promosi di akun media sosial Instagram @kandarpaubud , penurunan harga sampai 75% dari harga normal Rp800 – Rp1 juta pun dilancarkan. Kemudian istilah Work From Home (WFH) atau Remote Job (Kerja Jarak Jauh) yang merebak di kala pandemi pun menjadi ajang untuk Artana menyediakan fasilitas yang produktif untuk menunjang para pekerja
Berjalannya waktu, kini pandemi Covid-19 kian di ujung mata. Sebuah angin segar sekaligus pengharapan para pelaku pariwisata, semoga tidak ada lagi kasus gelombang mutasi virus selanjutnya. Optimisme tersebut diafirmasikan Artana dengan penuh semangat, sambil me-maintenance Kandarpa Ubud menjadi penginapan berstandar internasional. Untuk harga, ia masih menyesuaikannya secara bertahap, karena pengunjungnya masih kombinasi antara wisatawan mancanegara dan lokal. Pemasaran di era digitalisasi pun upgrade dilakukan, demi menjadi satu kesatuan yang utuh untuk orang lokal tak hanya menjadi penonton, melainkan mempertahankan diri menjadi ‘tuan tanah’ di kelahiran sendiri.