Taksu yang Tak Tergantikan, Dedikasi Wira Santana dalam Melestarikan Arsitektur Bali
Ketut Wira Santana, dengan latar belakang sebagai arsitek adalah sosok yang sangat mencintai dan menghargai arsitektur Bali. Kecintaannya ini sudah tumbuh bahkan sebelum ia memutuskan untuk menekuni profesi tersebut. Hal ini terkoneksi kuat dengan pura bersejarah peninggalan leluhurnya yang terletak di Desa Adat Peguyangan Kaja, Denpasar Utara, menjadi bagian integral dalam hidupnya. Pura tersebut sempat mengalami perubahan fungsi, namun dengan keahlian serta keyakinan spiritual yang dimilikinya, Wira Santana berhasil mengembalikan dan melestarikan fungsi sakral pura tersebut demi menjaga dan meneruskan tradisi leluhur.
Sungguh mulia cita-cita Wira Santana, saat ia menyatakan keinginannya untuk mendirikan kembali pura yang sempat dialihfungsikan menjadi kantor. Sepengetahuannya, mungkin dikarenakan ekonomi di keluarga tidak bagus, sehingga pura tersebut terbengkalai hingga berjalannya waktu dialihfungsikan menjadi kantor. Padahal, berdasarkan silsilah keluarga terdahulu, leluhur Wira Santana-lah yang ngempon pura tersebut. Semenjak mengetahui sejarah tersebut, keinginan untuk membangun kembali pura tersebut terus menghantui pikirannya.
Sebagai langkah awal untuk mewujudkan cita-citanya dalam melestarikan kembali pura leluhurnya, Wira Santana sangat mengutamakan pendidikan sebagai pondasi. Sejak kecil, Wira Santana sudah menunjukkan minat besar terhadap seni terutama menggambar. Hal ini membawanya melanjutkan pendidikan di SMKN 1 Denpasar yang mengasah bakatnya dalam bidang teknik. Tamat pada tahun 1993, Wira Santana harus menunda kuliah selama satu tahun karena kendala finansial. Demi bisa mengumpulkan dana untuk melanjutkan pendidikannya, ia bekerja sebagai loper koran. Setelah dana terkumpul, Wira Santana mendaftar di jurusan Teknik Arsitektur di Universitas Warmadewa. Dalam perjalanan kuliahnya, kebutuhan akan peralatan seperti meja gambar hidrolik menjadi tantangan tersendiri, karena harganya yang tidak murah. Untuk mengatasinya, ia sementara meminjam peralatan dari teman-temannya selama setahun. Setahun kemudian, ia berhasil membeli meja gambar sendiri yang menjadi simbol perjuangannya dalam meraih cita-cita. Perjuangannya mengumpulkan dana untuk pendidikan, ketekunan dalam belajar, serta kecintaannya pada tradisi menunjukkan bahwa cita-cita Wira Santana tidak hanya kuliah, tetapi juga dilandasi oleh semangat pantang menyerah. Pura leluhurnya bukan hanya sekadar bangunan, melainkan warisan sejarah dan budaya yang harus dilestarikan.
Wira Santana sempat terlambat menyelesaikan kuliahnya selama 4 tahun karena terlibat dalam proyek yang diberikan kawannya. Proyek pertama yang ia garap adalah pembangunan rumah kos, yang kemudian disusul dengan proyek rumah tinggal hingga menjadi teknisi listrik. Kesibukannya mengerjakan proyek-proyek tersebut membuatnya kewalahan dalam mengikuti perkuliahan, sehingga ia baru bisa lulus pada tahun 2003. Pada saat itu, ia sempat berpikir bahwa pada akhirnya ia akan bekerja, dan bahkan tanpa ijazah pun ia sudah bisa mendapatkan pekerjaan. Namun, pandangannya berubah ketika ia merenungkan masa depannya ketika memiliki anak. Ia berandai-andai, jika suatu hari ia memiliki anak yang enggan menyelesaikan pendidikan karena lebih memilih bekerja, ia tentu tidak akan bisa menjadi contoh yang baik bagi mereka. Kesadaran inilah yang akhirnya mendorongnya untuk menyelesaikan tugas akhir dan meraih gelar sarjana. Setelah lulus, perjalanan otodidak Wira Santana dimulai. Ia bekerja secara mandiri, mencari proyek-proyek yang bisa dikerjakannya. Tidak hanya mengerjakan proyek, ia juga belajar secara langsung dengan mengamati bagaimana perusahaan-perusahaan tersebut memanajemen proyek. Meskipun pekerjaan freelance memberinya kebebasan, pendapatan yang tidak pasti menjadi tantangan, terutama setelah ia menikah. Keinginan untuk mendapatkan stabilitas membuatnya melamar pekerjaan resmi di sebuah perusahaan, namun ia ditolak. Kembali sebagai pekerja lepas, Wira Santana tetap gigih mencari proyek-proyek baru. Tidak lama kemudian, ia mulai mendapatkan proyek yang semakin beragam, seperti renovasi rumah, menjadi subkontraktor untuk perusahaan lain dan mengerjakan semua aspek proyek secara mandiri. Mulai dari menggambar, menghitung RAB, hingga logistik semuanya ia tangani sendiri dengan penuh ketekunan dan dedikasi di tahun 2007.
Setelah merasa kewalahan menangani segala hal seorang diri, pada tahun 2013, Wira Santana memutuskan untuk mencari dua rekan untuk membantunya. Setahun kemudian pada tahun 2014, ia resmi mendirikan brand usaha bernama “Altar Studio”. Proyek-proyek yang ia kerjakan sebagian besar adalah properti pribadi, sementara untuk proyek swasta, ia lebih memilih terlibat dalam proyek-proyek yang terkait dengan bantuan sosial atau hibah. Berbagai proyek pribadi yang telah ia selesaikan pun bervariasi, mulai dari vila pribadi di Serangan milik WNA asal Jepang, renovasi vila di Uluwatu, hingga vila milik penyanyi terkenal Raisa dan suaminya, Hamish Daud. Selain itu, Wira Santana juga mulai merambah dunia interior, meskipun masih dalam skala kecil dan belum mencakup klien dalam jumlah besar. Perkembangan usahanya menunjukkan bahwa ia terus berinovasi dan mengembangkan keahliannya, baik dalam arsitektur maupun interior desain.
Sebagai seorang arsitek yang memiliki akar budaya Bali yang kuat, Wira Santana tak dapat dipisahkan dari arsitektur tradisional Bali. Kecintaannya terhadap keindahan dan nilai-nilai yang terkandung dalam arsitektur Bali tercermin dalam setiap karyanya, terutama ketika berkaitan dengan bangunan suci seperti pura. Bagi Wira, pura bukan hanya sebuah bangunan, melainkan wujud dari spiritualitas dan warisan budaya yang mendalam. Dalam pandangannya, jika terjadi kerusakan pada bagian penting pura seperti candi atau pelinggih, tindakan yang paling tepat adalah melakukan restorasi, bukan membangun ulang dari awal. Menurutnya, sangat disayangkan jika pura dibangun kembali dari nol, karena khawatir taksu atau aura spiritual dan keagungan yang melekat pada bangunan tersebut akan hilang. Restorasi adalah cara untuk mempertahankan esensi dan nilai spiritual yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Pandangan ini sejalan dengan pengalaman pribadinya dalam melestarikan pura peninggalan leluhurnya. Pura yang memiliki makna penting bagi silsilah keluarganya itu sempat beralih fungsi, namun Wira Santana dengan tekad kuat berusaha untuk mengembalikan fungsi sakralnya. Mimpinya untuk mewujudkan kembali pura leluhurnya itu akhirnya terwujud, lima hari sebelum ayahnya wafat, sebuah momen penuh makna yang membawa kelegaan bagi keluarga besarnya.
Upacara Ngenteg Linggih pun digelar pada tahun 2022 di Pura Dalem Majapahit dan banjar setempat, menandai selesainya proses restorasi pura tersebut. Bagi Wira Santana, keberhasilan ini tidak hanya sekedar mewujudkan bangunan fisik, tetapi juga melepaskan bayang-bayang tanggung jawab spiritual yang selama ini membayangi dirinya. Keberhasilan membangun kembali pura leluhur menjadi simbol kuat akan pelestarian tradisi dan kehormatan keluarga, serta menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya untuk tetap menjaga warisan budaya yang tak ternilai ini. Wira Santana pun tidak hanya berkarya sebagai arsitek, tetapi juga sebagai penjaga tradisi dan nilai-nilai leluhur tersebut.