Menjaga Harmonisasi Instansi Pendidikan Secara Horizontal Maupun Vertikal

Jika jawaban anak-anak yang kebanyakan ditanya soal cita-citanya menyebut profesi dokter, guru, polisi dan lain sebagainya, Dr. Ketut Siaga Waspada, justru ingin menjadi seorang pendeta. Mungkin berkaca dari sang ayah, sosok beliau yang di sela-sela masifnya kehidupan sebagai petani untuk menghidupi istri dan 10 orang anak, juga merupakan pendeta pertama di Bali. Tak salah, ia pun terinspirasi di profesi yang sama, namun takdirnya ternyata tak hanya sampai di sana. Kendati tak berakademisi di pariwisata, ia mampu berkontribusi mendidik generasi muda lewat pendirian Yayasan Dhyana Pura.

Lahir pada era tahun 1950 di Desa Blimbingsari, Kabupaten Jembrana, dalam keterbatasan sebagai anak petani, Ketut Siaga dan teman-teman sebayanya berupaya tetap semangat untuk terus menempuh pendidikan. Lepas dari SD Maranata Blimbingsari, ia melanjutkan ke SMP Widya Pura. Namun saat kelas II, ia dipindahkan ke Singaraja untuk sementara waktu dan ditempatkan di panti asuhan yang didirikan oleh pihak gereja. Hal itu dilakukan untuk membuang stigma buruk masyarakat soal kehidupan di panti asuhan. Upaya yang membuahkan hasil, panti asuhan sudah mulai mendapatkan kepercayaan untuk menampung dan mendidik anak-anak yatim piatu maupun yang terlantar.

Tamat SMP, Ketut Siaga merantau ke Denpasar untuk melanjutkan SMA pada tahun 1965. Kebetulan ayahnya memiliki kenalan orang Belanda, yang mengajar di SMA Negeri Denpasar (satu-satunya SMA di Denpasar saat itu). Bahkan pria berzodiak capricorn ini, diizinkan untuk tinggal di rumah mereka tanpa harus membayar uang sepeser pun.

Masa-masa mulai penjurusan, Ketut Siaga sebenarnya masih belum memiliki salah satu jurusan yang ia favoritkan, IPA atau IPS, karena di pikirannya hanya terpatri ingin menjadi pendeta. Tak hanya melihat sosok ayah, kakak-kakaknya yang menjadi guru pun, juga melanjutkan ke Program Sarjana Teologi. Akhirnya, agar lebih fleksibel masuk ke bidang apapun nantinya, ia masuk jurusan IPA.

Tamat dari S1 Teologi di Sekolah Tinggi Theologia (sekarang Universitas Kristen) Duta Wacana di Yogyakarta, ayah dari tiga orang anak ini kembali ke Denpasar, sudah menjadi calon pendeta dan melayani jemaat saat usinya 25 tahun. Baru tiga tahun berjalan, ia mengambil kesempatan beasiswa untuk melanjutkan studi lanjut di Ludwig Maximilian University of Munich, Jerman. Pengalaman yang paling berkesan selama menjadi mahasiswa di sana, saat dirinya menyelesaikan disertasi S3 yang awalnya berjudul Dialog in Harmonie. Namun setelah melihat judul, menurut profesornya masih belum memiliki daya tarik orang-orang untuk membaca. Agar lebih menarik, digantilah menjadi Harmonie als Problem des Dialogs yang artinya Harmoni sebagai masalah dalam dialog. Topik ini tak lain terinpirasi dari Bhineka Tunggal Ika di Indonesia yang masih memiliki keyakinan untuk memeluk suatu agama. Sedangkan di luar negeri yang justru warganya bersifat homogen, sudah mulai meninggalkan agama mereka.

Segera setelah meraih gelar D.Th. (Doctor Theologie) di Jerman pada tahun 1986, Ketut Siaga bersama keluarga pulang ke Bali, sudah sebagai sebagai Kepala Departemen Pembinaan di Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB) karena sudah diangkat ke dalam posisi itu (ketika dia masih studi) untuk periode 1984-1988. Tahun 1987, ia mendirikan Pusat Pendidikan dan Latihan Pariwisata (PPLP) Dhyana Pura di Seminyak, alasannya karena pariwisata tengah digalakkan saat itu. Bersama rekan-rekan yang memang bergelut di bidang ini, PPLP Dhyana Pura sudah menerima 30 orang siswa dan 28 orang langsung sukses diterima berkarier di hotel. Menteri Tenaga Kerja saat itu, Bapak Sudomo (Alm) langsung bertandang ke Bali, memberikan dana pendidikan sebesar Rp30 juta atas pencapaian PPLP. Kemajuan yang sangat pesat pun terjadi, awalnya meminjam gedung di Sesetan tahun 1992 dan hanya menerima maksimal 400 siswa, padahal yang mendaftar sampai 1.800 orang. Begitu banyaknya jumlah siswa yang tersisa, rekannya sekaligus Wakil Direktur PPLP Dhyana Pura, Bapak Ketut Putra Suartana kemudian mendirikan Akademi Komunitas Manajemen Perhotelan Indonesia (AK. MAPINDO). Sampai di tahun 2001, PPLP pun kian bertransformasi, berganti nama menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen (STIM) Dhyana Pura yang didirikan Yayasan Dhyana Pura. Tahun 2011, perubahan status kembali dilakukan dan siap dipatenkan menjadi Universitas Dhyana Pura.

Membaca histori perjalanan karier Ketut Siaga hingga mendirikan instansi pendidikan pariwisata, tak lepas dari Invisible Hands Sang Pencipta. Dukungan keluarga dan pertemuannya dengan lingkungan positif menjadi entitas dalam terwujudnya Yayasan dan Universitas Dhyana Pura. Di usia yang sudah melewati 73 tahun, tak banyak target yang dikemukakan olehnya, ia cenderung ingin menjaga hubungan harmonis oleh seluruh stakeholder, baik secara horizontal (dengan sesama keluarga yayasan) maupun vertikal (yayasan dan rektorat). Harmonisasi yang menjadi prasyarat dari sebuah perbedaan, diharapkan bisa terus dipelihara, karena akan begitu banyak hal yang bisa dicapai, jika kita saling bersinergi, melengkapi dan menghormati kerberagaman.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!