Mempertahankan Identitas Budaya dalam Inovasi dan Kemajuan demi Keberlanjutan Desa Adat
Mendengar kisah masa belia I Komang Sujana, kita seolah diajak mundur ke belakang ke tahun 1970-an. Di mana ia masih berbekal uang Rp5 untuk sekolah dan menggunakan daun pisang kering saat belum sanggup membeli buku tulis. Setiap kali selesai menulis, harus dihapus agar bisa digunakan lagi, sehingga daya ingat sangat penting kala itu bagi para siswa. Jangan lupa juga, menggunakan lampu sentir untuk belajar. Ketika bangun keesokan harinya, siap-siap ujung hidung akan hitam, karena asap lampu tersebut.
Begitulah masa lalu penuh makna I Komang Sujana, sosok yang sebentar lagi akan pensiun dari posisinya sebagai Bendesa Adat Duda, Kabupaten Karangasem. Tumbuh dan besar di masa belum maju secara ekonomi dan seramah fasilitas seperti sekarang, pun berpengaruh pada didikan keras dan disiplin orang tua yang bermata pencaharian sebagai undagi atau arsitek tradisional Bali. Ia ditempa oleh timpas, pahat, regaji (gergaji) dan palu peralatan undagi dengan turut terjun mengerjakan pekerjaan tersebut sejak tahun 1977, saat usianya masih remaja.
Dari kesederhanaan kehidupan, I Komang Sujana memiliki citacita yang mulia yaitu menjadi seorang guru. Cita-citanya pun terwujud ketika ia menjadi guru berstatus PNS di SD 5 Duda Timur pada tahun 2003. Ternyata, apa yang dikehendaki Semesta lebih dari itu. Dalam keluarganya, yang sudah turun temurun sebagai pengayah di desa, mewarisi hal itu kepada I Komang Sujana yang sudah terlibat dalam perangkat desa setelah tamat SMA. Sembari menjalani profesinya sebagai guru, ia pun terpilih menjadi Kepala Dusun dan tergolong termuda pada saat itu. Saat ditanyakan penyebab ia terpilih, ia menjelaskan dengan nada merendah bahwa di zaman itu tidak ada yang mau menjadi kadus. Namun, setelah kita mengetahui proses selama 10 tahunnya sebagai Kadus, sepertinya bukan itu saja faktornya.
Selama 10 tahun, bukan waktu yang singkat dan mudah untuk dijalani sebagai Kadus. Dalam perjalanan panjang itu, ia memanfaatkan bantuan-bantuan yang datang dari pemerintah mau pun non-pemerintah untuk memperbaiki hal yang bersifat esensial yaitu infrastruktur, seperti memperbaiki jembatan yang sebelumnya tak berfungsi. Strateginya dalam membangun desa semakin matang dengan keterlibatannya dalam politik, meskipun ia memilih tidak masuk partai. Bersama perangkat desa terutama perbekel, mereka membuka banyak askses jalan untuk memfasilitasi mobilitas masyarakat dan mendukung perkembangan ekonomi lokal. Dan yang tak kalah penting dalam program tersebut, keterlibatan warga dalam hal ini, yaitu bentuk komunikasi dengan pemilik tanah di area pembukaan jalan, agar tidak terjadi konflik dan pembangunan dapat berjalan lancar.
Setelah pensiun menjadi kadus, I Komang Sujana aktif sebagai Kelian Banjar. Dua tahun kemudian tepatnya di tahun 2009, ia terpilih menjadi Bendesa Adat Duda, setelah menyisihkan tiga bakal calon lainnya. Kembali dengan rendah hati, ia mengungkap bahwa dirinya tak berambisi menjadi bagian dari perangkat desa dan tidak hadir saat pemilihan, namun nyatanya ia terpilih untuk memimpin Desa Duda yang menaungi 27 banjar tersebut. Tanpa banyak retorika, I Komang Sujana langsung menggebrak kepemimpinannya dengan program-programnya terkait pembangunan yang mendukung pertumbuhan ekonomi warga. Salah satu pencapaiannya adalah membangun 360 usaha retail di Desa Duda. Kebijakannya diperkuat oleh Perda No. 4 Provinsi Bali dan Undang-Undang (UU) 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali, guna mengimplementasikan visi “Nangun Sat Kerthi Loka Bali” yang memberikan hak kepada desa adat untuk mengurus urusan lokal mereka asalkan tidak bertentangan dengan hukum.
Di desa khususnya Bali, terdapat awig-awig yang merupakan aturan tradisional yang mengatur segala aspek kehidupan masyarakat dalam konteks desa adat di Bali. Di Desa Duda, awig-awig telah terbentuk sejak tahun 1994 yang sangat dihormati oleh masyarakat dan tokoh-tokoh Desa Duda. Bila ada masalah di desa yang tidak dapat diatasi melalui awigawig, akan diarahkan ke hukum yang berlaku di atasnya atau pemerintahan yang berwenang. Dengan kata lain, awig-awig Desa Duda dan hukum pemerintahan berjalan berdampingan, saling melengkapi untuk memastikan bahwa setiap permasalahan dapat diselesaikan dengan baik dan adil. Seiring perkembangan zaman dan kompleksitas kehidupan masyarakat, perlu dilakukan pembaruan dalam parerem, seperti terkait narkoba dan pendidikan anak, yang belum tercantum dalam awig-awig saat ini. Dengan demikian, desa adat diharapkan dapat menjalankan perannya dengan semestinya sebagai garda terdepan dalam menjaga budaya, serta tradisi Bali sebagai pionir dalam agama Hindu di Nusantara.
Tidak hanya fokus pada pembangunan, sebagai bentuk menghargai leluhur, I Komang Sujana menjaga arsitektur tradisional Desa Duda yang patut dipertahankan, atau direvitalisasi. Pada periode kedua kepemimpinannya, dilakukan pembangunan di Pura Dalem yang melibatkan dana CSR dan pemerintah sebesar Rp300 juta. Dan dana tersebut memiliki alokasi yang ketat, tidak bisa digunakan sewenang-wenang. Dana hibah juga didapatkan sebesar 20% dari pemerintah kabupaten dan LPD Desa Adat Duda yang merupakan kedua terbesar setelah LPD Desa Sibetan. Dana dari LPD Desa Adat Duda kemudian terserap ke biaya Aci Penyeeb Brahma yang berlangsung dua minggu. Dalam pembangunan wisata, pabrik dupa, pembangunan pasraman, Desa Duda juga terbantu dana dari Bank Indonesia dan PT PLN. Dengan bangga, I Komang Sujana mengungkapkan Desa Duda itu tidak lagi hanya menjadi penonton untuk distrik wisata Ubud dan Badung, melainkan turut berperan aktif dan berkembang dalam sektor wisata.
I Komang Sujana sangat bersyukur dan berterima kasih atas segala bantuan baik materiil maupun moril yang dihibahkan selama kepemimpinannya yang sebentar akan memasuki pensiun di tahun 2024, bahkan berselang satu tahun ia juga akan pensiun dari sebagai guru, yang telah dijalani selama 18 tahun. Dengan begitu banyaknya dukungan yang diberikan kepada Desa Duda, ia berharap Desa Duda lebih mandiri ke depannya. Selain itu desa adat harus visioner dan selangkah lebih maju, demi mewujudkan komunitas yang lebih hidup, berwarna dan sejahtera. Untuk mendukung hal ini, diperlukan peran adat dan dinas, dalam mengaktifkan organisasi sekaa-sekaa yang melibatkan para yowana. Salah satu bukti keberhasilannya yaitu program Sayong Festival, selain menghibur masyarakat, tetapi juga melestarikan budaya.
Di akhir masa jabatannya, I Komang Sujana juga berpesan siapapun yang nantinya menjadi bendesa bisa menjalankan tugasnya dengan bijak dan adil, laksana matahari yang terbit dan menghilangkan kegelapan. Bendesa baru juga harus selalu berpegang teguh pada nilai-nilai yang terkandung dalam sastra-sastra dharma, sehingga dapat memimpin desa dengan penuh kebijaksanaan dan integritas. Kepada masyarakat, I Komang Sujana menambahkan agar terus menjaga persatuan dan kekompakan dalam desa adat. Ia menekankan pentingnya kebersamaan dan gotong royong dalam melestarikan tradisi dan budaya yang telah diwariskan oleh leluhur, sambil beradaptasi dengan perkembangan zaman. Keberlanjutan desa adat menurutnya terletak pada kemampuan untuk mempertahankan identitas budaya sambil tetap terbuka terhadap inovasi dan kemajuan.