BEREVOLUSI dari Kekurangan Menjadi Pebisnis yang Jujur dan Berproses
I Gede Pasek Wijaya dulunya adalah sosok yang pemalu dan minder, hal itu berpangkal pengaruh overprotektif yang diberikan oleh orang tua. Maklum ia merupakan anak lakilaki satu-satunya sekaligus anak terakhir dalam keluarga. Ya, seperti kita ketahui, di Bali menganut sistem petrilineal yaitu laki-laki memiliki peran tinggi dalam keluarga dan pewarisan. Tak ingin sifat itu menjadi hambatan yang merugikannya, ia berproses untuk menjadi sosok yang lebih baik dan sukses, tak lain dan tak bukan demi menjaga dan meneruskan tradisi serta tanggung jawab keluarga. Menjadi anak laki-laki satu-satunya dari empat bersaudara, Bagaimana tidak istimewanya Gede diperlakukan oleh keluarga.
Seperti dalam pendidikan, kebutuhannya sangat terpenuhi. Tidak hanya mengikuti pembelajaran reguler, tetapi juga les di luar jam sekolah. Alhasil, ia selalu meraih tiga besar saat masih di bangku SD. Tapi, segala sesuatu yang berlebihan memang tidak baik, bahkan sebuah kasih sayang sekalipun. Hal ini berdampak kurangnya masa bermain karena prioritas asuhan orang tua.
Masa remaja adalah di mana Gede mulai mencari atensi dalam eksplorasi. Ia mulai bolos sekolah demi bisa bermain dengan teman-temannya, hal yang kurang didapatkan di masa kecil. Banyak dalih yang ia lakukan untuk demi bermain atau mencari kebebasan lebih. Telat bangun sedikit, ia langsung bolos dan juga tak lepas dari alasan macet yang klise. Akibatnya, prestasi akademisnya menurun, “Sebagai kompensasi, saya alihkan dalam prestasi di bidang olahraga yaitu atletik,” ucap pria kelahiran tahun 1990 tersebut.
Dibalik kasih sayang yang berlebih, ada sisi positifnya juga. Gede didukung untuk merantau ke Bandung, melanjutkan studi sarjana di Universitas Telkom jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV). Dua tahun pertama di Kota Kembang, ia mendapatkan dukungan penuh dalam hal pendanaan. Tahun-tahun berikutnya, hanya sekitar 10-20% dari dana yang dikirimkan, selebihnya ia harus dapatkan dengan jalan bekerja. Gede yang terbiasa semua serba ada, mulai dipaksa untuk mandiri. Ia menjelma sebagai kernet angkot, menjual pakaian secara daring mengingat Bandung terkenal dengan fashionnya hingga memanfaatkan kemampuannya dalam desain. Dari sekian pekerjaan yang ia coba, yang terakhir memberikan penghasilan yang drastis hingga belasan juta. Ia secara eksplisit mengungkapkan, sempat ogah-ogahan melanjutkan kuliah, saat sudah lulus nanti ujungujungnya ia akan kembali bekerja.
Tentunya sebagai orang tua, bukan itu klimaks dari menguliahkan Gede hingga ke Bandung. Setelah diperingatkan keras oleh orang tua, ia akhirnya tamat pada tahun 2014. Sekembali ke Bali, ia yang langsung diterima di suatu perusahaan, sempat kaget ternyata gaji yang didapatkan relatif kecil, jauh berbeda dengan penghasilannya di Bandung yang mencapai belasan juta. Meski tidak sesuai ekspetasi, Gede mencoba untuk beradaptasi dengan iklim kerja dan menghargai prosesnya sebagai karyawan. Selama menyerap pengalaman dan ilmu di perusahaan tersebut, salah satu hal yang menarik perhatiaannya, ia bertemu dengan Bapak Hendra, pemilik bisnis Jebak (Jejak Bali Kuliner). Tak hanya memposisikan sebagai klien, beliau sekaligus menjadi sosok mentor bagi Gede khususnya dalam berbisnis. Salah satu pelajaran mendalam yang ditanamkan kepadanya adalah “Bahwa bisnis itu harus mempunyai diferensiasinya”. Dengan memiliki diferensiasi yang jelas, bisnis dapat menarik perhatian konsumen dengan cara yang lebih efektif dan membedakan produk atau layanan mereka dari yang lain.
Mulailah pria asal Kapal ini mengasah insting bisnisnya. Usaha pertama, ia menjual spanram (sebutan untuk benda segiempat yang digunakan untuk membentangkan material kain atau kanvas sebagai medium lukisan atau karya seni lainnya), namun marginnya tipis. Ia pun sembari sebagai desainer dan mempekerjakan dua orang karyawan. Kali ini bisnisnya berjalan mulus, namun Gede tak bisa mengatakan bisnis tersebut menjanjikan untuk mencapai tujuan finansial yang lebih tinggi. Itulah membuatnya mempertahankan penjualan spanram karena membantu memperluas relasinya.
Belum menemukan kepastian dari usaha-usaha yang dilakukan, Gede beralih bekerja di perusahaan distributor sepeda listrik. Tawaran baru kemudian menghampirinya, yaitu menjadi distributor sepeda listrik untuk wilayah Bali dan Nusra. Gede pun menerima tawaran tersebut dengan merek dagangnya, Moseli 888. Sebagai permulaan, Gede dituntut untuk memenuhi target penjualan sebanyak 90 sepeda. Sebagai pengalaman pertama, Gede menghubungi rekan sales di Jakarta, untuk menanyakan apakah target penjualan termasuk tinggi atau tidak. Tapi, jawaban yang ia dapatkan kurang memuaskan. Bukannya memberikan semangat, jawaban itu tidak memotivasi sama sekali. Padahal yang ia butuhkan saat itu ialah bentuk dukungan, karena dukungan tersebut sangat berpengaruh terhadap pola pikir dan motivasinya.
Lulus target pertama, Moseli 888 semakin tertantang untuk mewujudkan target-target selanjutnya. Dalam implementasinya kepada para karyawannya yang mayoritas masih muda, Gede memegang prinsip bisnisnya yaitu hubungan jangka panjang dan kejujuran, dengan uang sebagai prioritas kedua. “Kita sering mendengar kata kerja keras dan kejujuran. Tapi harus benar-benar dipahami dan berproses. Hasil pasti akan mengikuti kemampuan,” yakin Gede. Ayah dua anak ini juga menambahkan, membumbungnya bisnis Moseli 888 tidak terlepas dari pentingnya peran dan dukungan para dealer yang menjembatani produknya ke para pengguna. Hubungan yang baik dengan dealer sangat membantu Moseli 888 menjangkau konsumen akhir. Gede dan tim selalu berusaha menjaga komunikasi yang baik dan memberikan dukungan penuh kepada mereka.
Sebagai penutup, Gede masih menyampaikan inspirasinya. Ia menekankan bahwa menjalani proses dengan sabar dan bertahap sangat penting untuk memastikan kesiapan mental dan kemampuan kita. Proses itu membangun pondasi yang kuat. Ketika kita menghadapi tantangan atau kesuksesan secara bertahap, kita belajar dan berkembang di setiap langkahnya. “Misalnya jika kita mendadak diberi uang Rp1 miliar, kita bisa bingung akan menggunakannya untuk apa. Intinya harus berproses dan step by step. Ketika seseorang sudah siap akan sesuatu, maka sesuatu itu akan datang,” akhir Gede.