Inspirasi Internasional Ke Warisan Lokal, Dedikasi Agus Widiantara Dalam Profesinya
Bali yang dikenal sebagai Pulau Seribu Pura ini, telah menjadi tujuan wisata popular yang menarik bagi orang-orang dari berbagai belahan dunia, baik untuk tujuan plesir maupun investor. Bagi arsitek I Putu Agus Widiantara, hal ini merupakan keberuntungan tersendiri dalam profesinya. Tanpa perlu bepergian jauh, ia memperoleh ilmu dan pengalaman dari para investor yang tertarik untuk bekerja sama dengannya dalam bidang arsitektur. Para investor tersebut bukanlah orang sembarangan, mereka memiliki kualitas dan reputasi yang sudah diakui di negaranya masing-masing.
Berprofesi sebagai arsitek, lagi-lagi kisah satu ini hampir mirip dengan arsitek-arsitek yang tim peliput temui. I Putu Agus Widiantara yang merupakan kelahiran Desa Tuban, Kabupaten Badung, terinspirasi dari pamannya untuk bergelut di bidang aristektur. Namun, ayahnya yang memiliki latar belakang pedagang, kurang merestui jika dirinya melanjutkan kuliah di bidang tersebut. Kesangsian ayahnya beralasan, karena pamannya menghabiskan lebih dari lima tahun untuk menyelesaikan pendidikan arsitekturnya.
Agus Widiantara mencoba menghibur hati ayahnya dengan mendaftar ke program selain Teknik Arsitektur di Universitas Brawijaya (Unibraw). Ia juga mencoba peruntungan di bidang Teknik Elektro di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Alasannya memilih kuliah di Jawa, karena ilmu teknik di Bali masih terbatas dan kurang kompetitif di tingkat nasional. Setelah pengumuman hasil seleksi, Semesta berpihak padanya. Agus Widiantara diterima di program Teknik Arsitektur Unibraw sebagai angkatan tahun 1996. Alumnus SMAN 1 Denpasar ini memilih untuk fokus kuliah. Dibandingkan bekerja, untuk di luar non-akademis, ia lebih memilih aktif berorganisasi. Sehingga kurang dari empat tahun ia berhasil lulus. Setelah tamat, ia langsung kembali ke Bali karena sebelum prosesi ‘pemindahan tali toga’, ia sudah mendapatkan tawaran untuk mengerjakan desain proyek vila di Bali milik WNA asal Prancis. Awalnya proyek tersebut hanya dikerjakan bersama temannya. Karena lama-kelamaan proyek yang datang semakin banyak, mereka memutuskan untuk membangun badan usaha bersama. Dalam pengalaman bekerja sama dengan WNA Prancis yang 20 tahun diatas usia mereka, selain kemampuan bahasa Inggris mereka, dalam hal wawasan desain juga berkembang. Setelah delapan tahun bekerja sama, Agus Widiantara dan temannya memutuskan lepas dari mitra Prancis mereka. Kendati tidak lagi menjalin kerja sama, masih ada klien dari jaringan kerja sama sebelumnya yang menawarkan proyek. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga hubungan relasi sampai kapanpun.
Dari desain Eropa, Agus Widiantara beralih ke desain Asia, tepatnya bekerja dengan seorang arsitek asal Jepang selama tujuh tahun. Ia juga membentuk badan usaha baru, mengerjakan beberapa proyek di Jepang dan Thailand. Ini adalah tantangan baru yang memberinya kesempatan untuk mempelajari ilmu baru dari arsitek dari belahan dunia lain. Bahkan arsitek tersebut masuk dalam jajaran 10 besar arsitek di Negeri Nippon tersebut, sebuah pengalaman berharga yang tak ternilai bagi Agus Widiantara, yang berencana melanjutkan kuliah S2 di Jepang dengan menggandeng beasiswa dari kampus. Namun, kampus berharap sepulang dari Jepang, ia bisa mengabdi sebagai dosen. Penawaran tersebut membuatnya membatalkan niatnya melanjutkan kuliah di Jepang. Meski kuliah S2 dibatalkan, ia beruntung bertemu arsitek tersebut yang kebetulan menetap di Bali. Ini adalah kesempatan emas baginya, dalam mengerjakan berbagai proyek inovatif, menggabungkan elemen desain tradisional Asia dengan sentuhan modern. Dengan dukungan rekan Jepang ini, Agus Widiantara tidak hanya berhasil meningkatkan portofolio dan reputasinya di industri arsitektur, tetapi juga memperkuat jaringan internasionalnya. Pengalaman bekerja dengan arsitek terkenal dan pengalaman jaringan internasionalnya.
Pengalaman bekerja dengan arsitek terkenal nan berpengalaman, memberikan wawasan berharga dan memperdalam pemahamannya tentang desain global. Agus Widiantara juga mendapat banyak ilmu tentang manajemen proyek dan teknologi konstruksi dari kerja sama ini. Ia juga mengetahui bagaimana berhubungan yang profesional, baik dengan rekan kerja dan klien dari berbagai latar belakang budaya. Hubungan ini menjadi pondasi yang kuat untuk masa depan. Dengan segala pengalaman dan ilmu yang diperolehnya, ia semakin mantap melangkah ke depan, siap menghadapi tantangan baru dan terus berkarya di dunia arsitektur. Pada tahun 2015, Agus Widiantara memutuskan untuk membangun studio sendiri dan berpisah dari arsitek Jepang, dengan siapa ia bekerja sebelumnya. Keputusan ini mencerminkan perkembangan karier Agus Widiantara yang semakin matang dan percaya diri dalam merintis jalannya sendiri dalam industri arsitektur.
IPA Architect, yang merupakan singkatan dari namanya sendiri, I Putu Agus (IPA), awal merintis studio hanya fokus mengambil pekerjaan mendesain, beberapa tahun kemudian, ia mulai menangani konstruksi. Di mana saat ini tengah mengerjakan 15 proyek, lima proyek desain dan sisanya berupa konstruksi. Dalam mengerjakan setiap proyeknya, Agus Widiantara berupaya mewujudkan impian klien, tanpa melupakan pelestarian arsitektur Bali di tengah bangunan minimalis semakin populer. Sebagai seorang profesional yang terjun langsung dalam bidang konstruksi dan pembangunan, Agus Widiantara memahami bahwa etika arsitektur Bali bukan hanya soal estetika, tetapi juga bentuk tanggung jawab profesinya. Ia melihat pelestarian arsitektur Bali sebagai bagian integral dari misinya, tiidak hanya untuk menjaga warisan budaya tetapi juga melestarikan lingkungan lokal.
Dalam setiap proyek yang diambilnya, Agus Widiantara berupaya mengintegrasikan elemen-elemen tradisional Bali dengan kebutuhan modern klien. Di tengah tren bangunan minimalis yang semakin popular, ia selalu berusaha menemukan keseimbangan antara desain kontemporer dan nilai-nilai arsitektur Bali yang mencerminkan harmoni dengan alam sekitarnya dan budaya setempat. Untuk mencapai ini, Agus Widiantara tak pernah absen mengedukasi klien mengenai pentingnya menjaga etika arsitektur Bali. Ia menjelaskan bagaimana penggunaan material lokal dan desain yang mempertimbangkan iklim dan lingkungan dapat menciptakan bangunan yang tidak hanya indah tetapi juga berkelanjutan. Biasanya klien akan mengerti dan menghargai penjelasannya tersebut, serta mengikuti sarannya. Namun, bila ada klien yang tetap bersikeras dengan keinginannya yang bertentangan dengan prinsip-prinsip arsitektur Bali, Agus memilih untuk tidak mengambil proyek tersebut. Baginya, menjaga integritas dan tanggung jawab profesional adalah hal yang tidak bisa dikompromikan. Dapat disimpulkan, meskipun Agus Widiantara memiliki wawasan dan keterampilan dalam desain internasional, ia tidak melupakan akar budaya dan nilainilai lokal yang telah membentuk identitas arsitekur Bali. Jangan sampai identitas arsitektur Bali terpinggirkan di tengah arus modernisasi dan globalisasi.