Mengandalkan Pemasaran Berbasis Aplikasi di Era Pandemi
Sebagai anak tunggal dari orang tua sebagai peternak sapi, petani pemilik tanah seluas 60 are dan penggarap lahan milik orang lain. Putu Eka Antara bisa dikatakan memiliki kebutuhan yang berkecukupan, yang meliputi makan seharihari dan biaya pendidikan, bahkan hingga menyekolahkannya hingga keluar daerah, di mana ia merupakan lulusan dari Fakultas Farmasi, Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya.
Bila dibandingkan dengan kehidupan anak kota, tentu kehidupan anak petani sepertinya, bukan apa-apa. Berhubung ia tinggal di lingkungan petani, dengan bahan makanan yang cukup terjangkau atau tinggal memetik di kebun, untuk biaya lainnya seperti biaya sekolah, bisa terpenuhi. Kehidupan masa kecil Putu Eka, tak hanya diisi dengan kegiatan belajar di sekolah, ia juga sering diajak orang tua ke sawah dan membantu mencari makan untuk sapi. Rutinitas tersebut, meski lebih tepat disebut dengan bekerja, namun sudah menjadi hiburan baginya sehari-hari. Ia pun mengaku, bila ia pulang ke kampung halaman, sesekali ia mengambil pekerjaan tersebut, demi mengembalikan kembali nostalgia di kala itu.
Di Surabaya pada tahun 2005, Putu Eka bekerja sambil menempuh pendidikannya di UNAIR. Setelah tamat dari UNAIR, Putu Eka bekerja di ranah medis, yakni Apotek Tabanan dan Apotek RS Sanglah. Setelah dirasa cukup menjadi karyawan dan mengetahui persis bagaimana manajemen dan pendapatan yang diperoleh, ia mencoba merintis apotek sendiri dan mendapat dukungan dari keluarga, khususnya dari mertua dalam memperoleh modal. Dalam merintis apoteknya yang bernama “Apotek Angkot Sari” yang beralamat di Jl. Pulau Belitung No.1x, Pedungan, Denpasar Selatan ini, Putu Eka terinspirasi dari pesan dari nenek yang merupakan pedagang, “Berbisnislah pada bidang yang meski hasilnya tidak sebesar penghasilan di usaha lain, namun memiliki usia usaha yang panjang”. Istri dari Putu Eka yang juga berlatar belakang sebagai apoteker yang mengabdi di RS Sanglah, juga di sela waktunya ikut memberi dukungan usaha suami, dengan bekerja di Apotek Angkot Sari, terutama saat baru merintis. Putu Eka yang belum sanggup membayar karyawan, mengajak sertakan adik dan istrinya secara bergantian mengawasi apotek.
Nama “Angkot Sari” dipilih karena terdengar nyeleneh dan dalam bahasa Susut Bangli memiliki arti banyak, kini berkaryawankan tujuh orang, dengan memberlakukan sebuah sistem aplikasi pelacakan, yang dapat menginformasikan produk-produk yang laris sebulan terakhir dan mempermudah pelanggan menemukan produk yang ingin ia beli kembali. Jadi alasan ini yang membuat Putu Eka tak menyediakan obatan-obatan dalam jumlah yang banyak pada produk yang minim peminat.
Untuk musibah pandemi ini, Apotek Angkot Sari tetap tak sepi kunjungan, hanya saja mengalami penurunan penjualan sebanyak 60%. Meski demikian, ia tak ada perubahan dalam penyediaan produk pada saat sebelum atau saat pandemi, terutama produk vitamin yang tengah gencar dicari masyarakat saat ini. Dalam menyikapi penurunan pendapatan ini, Putu Eka memilih kebijakan dengan memberi informasi mengenai omzet secara terbuka, kepada seluruh karyawan. Dengan kiat pemasaran yang terus dilakukan melalui media sosial dan kerja sama dengan pihak ketiga, berupa aplikasi yang bergerak di bidang kesehatan, saat ini ada 4 aplikasi yang diikutsertakan dan cukup membantu perjalanan usaha di tengah krisis pandemi yang mencapai persentase 15-20%. Saat ini Putu Eka belum terpikirkan akan membuka cabang apoteknya yang kedua, karena ia lebih memilih fokus dengan meluangkan waktunya dengan dua orang anaknya yang masih membutuhkan perhatian dari orang tua. Mengingat bagaimana orang tua maupun mertua memberinya perhatian berupa pendidikan maupun material. Hal ini pun ia terapkan kepada anak-anaknya, tak hanya di usia mereka saat ini, bahkan setelah berumah tangga nanti, diharapkan mereka memiliki kesejahteraan tak hanya dari segi ekonomi, tapi juga kematangan dalam rohani.