Konkrete Design Bali, Menyusun Mozaik Hidup Menjadi Masa Depan

Di tengah peliknya kehidupan, Eva Indi Puspita Sari pernah mencoba menenangkan hati yang lelah. “Tidak apa-apa… suatu saat nanti, pasti akan ada penolong untukku,” ucapnya dalam hati. Waktu berjalan, tanpa ia sadari, doa yang ia selipkan di antara keluh dan harap itu mulai menemukan jalannya. Hingga tibalah sosok itu, kekasih hati yang tak hanya menemaninya dengan kasih sayang yang tulus, tetapi juga mampu melihat sesuatu yang bahkan belum pernah ia sadari tentang dirinya sendiri. Potensi, keyakinan, cahaya yang sempat redup, kini kembali menyala, berkat dukungan yang perlahan mengikis rasa kurang percaya diri yang selama ini membelenggunya.

Eva lahir di Bekasi dari kondisi keluarga yang tidak utuh. Masa kecilnya banyak dihabiskan jauh dari pelukan orang tua, membuatnya tumbuh dengan rasa rindu yang diam-diam ia simpan sendiri. Saat duduk di bangku SMP, ia tinggal bersama bibinya, mencoba beradaptasi dengan lingkungan baru sambil mencari tempat untuk hatinya bertaut. Memasuki kelas 2 SMA, kesempatan untuk bertemu kembali dengan ibu akhirnya datang. Namun, bukannya menemukan kehangatan yang lama dinanti, hubungan mereka justru terasa kaku. Jarak yang tercipta bertahun-tahun seolah menjadi jurang, memunculkan percikan-percikan pertengkaran yang sulit dihindari. Hingga pada akhirnya, Eva dipindahkan ke Lombok.

Di masa remaja, Eva sudah memiliki mimpinya sendiri, ia ingin menjadi perawat. Namun, keinginannya tidak direstui. Ia pun mencoba jalur lain, mengikuti seleksi pramugari, dan berhasil lolos. Sayangnya, lagi-lagi ia tidak diizinkan, karena keluarganya hanya ingin ia menjadi PNS. Dua kali penolakan besar itu membuatnya sadar, jika terus menuruti kemauan orang lain, ia tidak akan pernah menemukan apa yang benar-benar ia sukai. Gesekan dengan ibunya pun sulit dihindari.

Selepas SMA, Eva memilih hidup mandiri. Ia mulai nge-kos, meninggalkan kenyamanan yang tersisa demi belajar menata hidupnya sendiri. Di perjalanan itu, ia bersyukur dipertemukan dengan orang-orang baik, sosok-sosok yang hadir tanpa diminta, tapi memberi dukungan yang berarti. Ada yang memberinya nasihat, ada yang membukakan kesempatan kerja, atau yang menemani di saat ia merasa sendirian. Dari merekalah, Eva belajar percaya bahwa di tengah kerasnya hidup yang ia jalani, selalu ada perpanjangan tangan Tuhan yang hadir untuk meraih dan menolong tanpa pamrih. Salah satunya adalah Ko Tedy, pemilik toko komputer di Lombok. Ko Tedy lah yang membukakan pintu lebar untuk Eva, memberinya pekerjaan agar ia bisa membiayai kos dan kuliahnya. Tak hanya itu, Ko Tedy bahkan menyediakan fasilitas mengetik dan mencetak tugas, membuat Eva merasa sedikit lebih ringan menjalani hari-hari kuliahnya.

Apa pun pekerjaan Eva ambil, tanpa menimbang-nimbang apakah sesuai dengan latar belakang pendidikannya atau tidak, yang penting pekerjaan itu halal dan bisa membuatnya memenuhi kebutuhan hidupnya di tanah rantau seorang diri. Dari menjaga toko, setelah lulus dari D3 Sekretaris Manajemen Akuntansi, ia bekerja sebagai BA di toko kosmetik selama tiga tahun. Setelah itu, ia juga sempat bekerja di salah satu finance di Lombok. Komunikasi yang masih terjalin dengan Ko Tedy, kemudian membawanya pada sebuah tawaran menarik untuk bekerja di Gili Trawangan. Sebuah angin segar untuk menjajal pengalaman baru, tak hanya berkutat di Lombok saja. Di Gili Trawangan, ia bekerja sebagai kasir di sebuah restoran dan dua tahun kemudian ia naik posisi menjadi staf akuntansi.

Setelah keluar dari Lombok dan menyeberang ke Gili Trawangan, semakin mengundang rasa penasaran Eva untuk mencoba peruntungan di daerah lain. Hatinya pun tertambat pada pilihan berikutnya yaitu Pulau Bali. Di tahun 2013, wanita kelahiran tahun 1986 ini memulai hidup barunya di Bali, lagi-lagi dari nol. Tanpa tempat tinggal, hanya berbekal uang Rp300 ribu. Setahun penuh ia luntang-lantung, menumpang di kos teman. Ia sempat bekerja di perusahaan bir sebagai sales, namun tak bertahan lama, karena tidak nyaman dengan lingkungannya. Lalu, ia berjualan tiket taman rekreasi air Waterbom di pinggir jalan selama setahun.

Di tengah pergulatan hidup yang tak henti-hentinya, Eva pernah berkata pada dirinya sendiri, “Suatu saat nanti, akan ada penolong yang mengangkat derajatku.” Keyakinan itu terbukti ketika ia bertemu dengan kekasihnya yang merupakan WNA, saat ia sedang berjualan voucher makanan yang hasil penjualannya disalurkan untuk anak-anak penderita kanker di sebuah mal. Dari rasa kasih yang tulus, sang kekasih telah melihat lebih dalam diri Eva. Di balik kerendahan hati dan sikap pasrah Eva, tersimpan kemampuan besar yang belum benar-benar digali. Atas dukungan itu, ia bukan lagi perempuan yang bekerja sekadar untuk bertahan, tapi seseorang yang layak mencoba dan meraih lebih. Langkahnya kemudian menuruti hatinya, membawanya ke mal Beachwalk untuk meraih karier baru. Meski awalnya melamar sebagai SPG, latar belakang pendidikannya membuat ia diterima sebagai Supervisor.

Setelah kontraknya selesai, Eva kembali disadari oleh belahan jiwanya, bahwa skill-nya dalam memasak layak diapresiasi lebih jauh. Dari dorongan itulah, lahir keberanian untuk membuka sebuah restoran di kawasan Umalas. Sayangnya, restoran tersebut tidak bisa ia pertahankan, dikarenakan ia sempat mengalami sakit yang membuatnya harus fokus pada kesehatannya. Eva pun kembali ke titik nol, bersamaan dengan sang kekasih yang juga memilih mundur dari pekerjaannya. Bedanya, kali ini bukan hanya ia yang mendapat dukungan, Eva sendiri mulai melihat dan menghargai keahlian sang kekasih. Mereka saling menguatkan, saling mengisi, dan percaya bahwa dari nol pun, mereka bisa bangkit lagi.

Di balik perbedaan budaya yang dimiliki pasangan ini, keduanya memiliki hati yang terpaut tak hanya soal kasih, juga membangun masa depan. Dari keahlian sang kekasih di bidang desain, Eva menyayangkan jika kemampuan itu hanya digunakan untuk membantu teman atau proyek kecil-kecilan. Mereka mulai berdiskusi untuk membangun sesuatu bersama, usaha yang bisa memadukan keahlian desain sang kekasih dengan kemampuan Eva di bidang akunting dan manajemen. Dari situlah langkah awal mereka merintis bisnis bersama dimulai. Tahun 2023, lahirlah Konkrete Design Bali. Eva mengurus akunting, sementara sang kekasih menangani desain. Usaha ini resmi berizin sejak awal dan berkolaborasi dengan kontraktor.

Klien mereka banyak berasal dari luar negeri dengan standar dan ekspektasi yang mengikuti budaya serta kebiasaan negara asal masing-masing. Itu adalah tantangan besar yang kerap menguji kesabaran, apalagi saat harus menyesuaikan gaya kerja dengan ekspektasi yang sangat tinggi. Eva harus belajar cepat, memahami cara komunikasi, selera desain, hingga detail teknis yang berbeda dari kebiasaannya. Ada kalanya ia harus mengulang pekerjaan berhari-hari demi memenuhi permintaan yang berubah-ubah. Namun, justru dari situ ia semakin terlatih untuk lebih sabar, fleksibel, dan kreatif dalam mencari solusi.

Konkrete Design Bali juga tak luput dari pengalaman pahit. Pernah kerja sama yang dilakukan dengan pihak lain justru berujung kerugian besar. Bahkan, ada desain yang sudah dikerjakan dengan penuh tenaga dan waktu, namun tak pernah dibayar. Situasi itu sempat membuatnya kecewa dan lelah, apalagi terjadi di masa pandemi ketika keadaan sudah sulit. Meski begitu, ia memilih untuk tidak tenggelam dalam kekecewaan. Ia menjadikan semua pengalaman itu sebagai pelajaran berharga agar lebih berhati-hati, lebih tegas dalam bisnis, dan tetap melangkah ke depan.

Dalam perjalanan hidupnya yang penuh liku di masa muda, Eva tetap menyimpan pemikiran indah nan optimis dalam hati. Ia yakin bahwa suatu saat nanti akan datang sosok yang menolongnya, seseorang yang bisa membawanya keluar dari bayang-bayang masa lalu. Keyakinan itu tanpa disadari menjadi sumber kekuatan yang membawanya terus melangkah, melewati setiap tantangan dengan penuh harapan. Hingga manifestasi itu terwujud dalam hidupnya, Eva tidak hanya menemukan pendamping, tapi juga cahaya baru yang menerangi hatinya. Bersama kekasih, ia membangun “Konkrete”, menjadi pengikat dan penyembuh luka lama, yang menjadi jangkar hati bagi masa depan mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!