Ucapan yang Menjadi Takdir, Perjalanan Jadi Bukti
Ada kalanya hidup menuntun seseorang ke jalan yang sama sekali tak pernah ia bayangkan. Bagi Dr. I Gede Etha Prianjaya, S.H., M.Kn., langkah menuju dunia hukum bukanlah pilihan pertama. Ia sempat menunda mimpinya mengikuti seleksi Akpol yang terkenal ketat. Hingga tibalah masa orientasi mahasiswa baru, di mana setiap mahasiswa ditanya alasan memilih jurusan hukum. Bukannya menjawab tentang Akpol, Gede justru spontan berceloteh ingin menjadi Notaris, sebuah profesi yang bahkan saat itu belum benar-benar ia pahami. Ia sendiri sempat heran dengan ucapannya. Namun siapa sangka, kalimat yang dulu hanya sekadar spontanitas itulah yang akhirnya menjadi kenyataan. Hari ini, ia benar-benar menapaki jalan sebagai seorang Notaris.
Sejak SMP, bakat olahraga Gede mulai terlihat jelas. Sepak bola menjadi bagian penting dari hidupnya. Ia bergabung dengan SSB Perkanthi, berlatih serius, hingga akhirnya dipercaya membawa nama sekolah dan kabupaten di berbagai ajang. Lapangan bukan hanya tempat bermain baginya, melainkan ruang untuk belajar disiplin, kerja sama, dan sportivitas. Namun di balik semangatnya menggiring bola, ada cita-cita sederhana yang terpatri di hatinya ingin melayani masyarakat.
Saat teman-temannya bercita-cita menjadi dokter, polisi, atau profesi bergengsi lainnya, Gede justru dengan polos mengatakan ingin menjadi Lurah. Cita-cita itu muncul bukan tanpa alasan. Dari kecil, ia terbiasa melihat sosok-sosok yang dekat dengan masyarakat, yang bisa hadir membantu warganya. Ada rasa bangga yang tumbuh dalam dirinya, bahwa melayani orang lain adalah bentuk pengabdian yang mulia. Meski sederhana, ucapannya kala itu ternyata merefleksikan karakter aslinya, seorang anak pesisir yang tumbuh dengan nilai kebersamaan dan kepedulian. Ia memang senang berlari di lapangan hijau, tapi hatinya sejak dini sudah terpanggil untuk berlari bersama masyarakat, menapaki jalan pengabdian.
Selepas SMA, jalan hidup Gede tidak berjalan lurus sesuai rencana awal. Niatnya untuk mengikuti seleksi Akademi Kepolisian harus tertunda. Pilihan pun jatuh pada jurusan Hukum, sebuah bidang yang awalnya terasa asing baginya. Saat masa orientasi mahasiswa baru, ia mendapat pertanyaan sederhana “Mengapa memilih Hukum?”. Alih-alih menjawab dengan alasan logis, Gede justru spontan berceloteh bahwa ia ingin menjadi Notaris. Sebuah jawaban yang bahkan membuat dirinya terkejut, karena saat itu ia sama sekali belum benar-benar paham apa profesi notaris itu. Teman-temannya mungkin menganggap ucapannya hanya gurauan sesaat. Gede sendiri sempat bingung dengan kalimat yang meluncur tanpa direncanakan itu. Namun, hidup punya cara unik untuk membimbing langkah seseorang. Ucapan yang dulu terdengar seperti celetukan tanpa makna, justru menjadi arah jalan hidupnya. Bertahun-tahun kemudian, Gede benar-benar menapaki profesi Notaris, seolah semesta sedang menunjukkan bahwa tak ada kata-kata yang meluncur sia-sia, terlebih bila diucapkan dengan ketulusan hati.
Gede menekuni dunia hukum dengan penuh konsistensi. Langkah awalnya dimulai dari magang di kantor Notaris I Nyoman Mustika, SH., M.Hum. Dari sana, ia belajar bahwa profesi Notaris bukan sekadar tentang tanda tangan di atas kertas, melainkan tanggung jawab besar menjaga kepastian hukum dan kepercayaan masyarakat. Proses panjang itu membentuk kedewasaannya, hingga ia memutuskan melanjutkan studi kenotariatan di Universitas Udayana. Tahun 2017 menjadi tonggak penting. Gede resmi membuka kantor Notaris sekaligus PPAT di Tabanan. Dengan tim yang solid, ia membangun kepercayaan masyarakat satu demi satu, hingga kantornya tumbuh menjadi wadah pelayanan hukum yang dapat diandalkan. Tujuh tahun lamanya ia mengabdi di sana. Namun, ketika anak-anaknya beranjak remaja, ia mengambil keputusan besar, pindah ke Badung pada tahun 2024.
Keputusan itu bukan semata soal pekerjaan, melainkan tentang prioritas keluarga, agar ia bisa lebih dekat mendampingi putra-putrinya di masa transisi penting kehidupan mereka. Meski sudah mapan, Gede tak pernah berhenti menantang dirinya. Ia melangkah lebih jauh dengan melanjutkan studi doktoral (S3) di Universitas Udayana. Perjalanan itu tidak mudah. Ia harus membagi waktu antara kesibukan sebagai Notaris, peran sebagai suami, dan tanggung jawab sebagai ayah dari tiga anak. Malam-malamnya sering dihabiskan di depan buku, setelah seharian penuh melayani klien dan mendampingi keluarga. Namun, kerja keras tak pernah mengkhianati hasil. Dalam waktu 2 tahun 8 bulan jauh lebih cepat dari rata-rata, ia berhasil menuntaskan program doktoralnya. Capaian itu bukan sekadar gelar akademik. Ia melihatnya sebagai pembuktian bahwa konsistensi, disiplin, dan doa mampu mengantarkan seseorang melampaui batas yang bahkan tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sebuah prestasi yang tak hanya membanggakan dirinya, tetapi juga menjadi teladan bagi anak-anaknya bahwa mimpi, sebesar apa pun, selalu bisa diraih dengan usaha yang sungguh-sungguh.
Perjalanan I Gede Etha Prianjaya adalah kisah tentang tekad dan konsistensi, tentang bagaimana kerja keras dan ketulusan mampu mengubah arah hidup seseorang. Dari seorang anak pesisir Jimbaran yang tumbuh dalam kesederhanaan, terbiasa berjalan kaki ke sekolah, membantu orang tua menjaga warung, hingga merasakan jatuh bangun dalam menentukan jalan hidup, ia menjelma menjadi seorang Notaris dan PPAT yang dipercaya masyarakat. Keberhasilannya bukan datang seketika, melainkan buah dari kesabaran, disiplin, dan keberanian mengambil keputusan besar dalam hidup. Tak ketinggalan pengalaman yang unik, pernah berceloteh spontan ingin menjadi Notaris, tanpa benar-benar memahami profesi itu, namun justru celotehan sederhana itu menjadi titik pijak yang menuntunnya hingga hari ini.
Gede yang sekarang bukan hanya seorang Notaris dan PPAT yang melayani masyarakat dengan integritas, tetapi juga seorang ayah dan suami yang menjadikan keluarga sebagai pusat kehidupannya. Setiap pencapaiannya, bukan hanya tentang prestise pribadi, melainkan tentang bagaimana ia bisa menghadirkan manfaat yang lebih luas, baik untuk keluarganya, maupun untuk masyarakat yang ia layani.