DEDIKASI TIADA HENTI PADA DUNIA PENDIDIKAN TINGGI
Suatu pekerjaan bila dilakukan dengan rasa kecintaan yang tinggi tentu tidak lagi terasa berat. Mencintai pekerjaan sepenuh hati pada akhirnya menimbulkan sikap dedikasi yang tinggi pada pekerjaan tersebut sehingga apa yang dikerjakan niscaya bertemu pada keberhasil. Rasa kecintaan itu pula ditunjukkan oleh seorang Dr. dr. Made Nyandra, SpKJ, M.Repro, FIAS pada dunia pendidikan. Mengajar seakan menjadi hobi bagi lelaki yang akrab disapa Made Nyandra ini. Dari sekedar hobi itulah kini menjadi sebuah profesi yang ditekuni dengan totalitas penuh. Rektor Universitas Dhyana Pura ini bahkan merasa kegiatan mengajar bisa menjadi obat penyembuh kala ia mengalami sakit. Bila sedang mengajar, rasa sakit yang menderanya sejenak menguap entah kemana.
Made Nyandra lahir di Desa Buduk. Kisah masa kecilnya diwarnai dengan berbagai petualangan bersama kawan-kawan sebayanya. Kaki kecilnya bagai tak kenal lelah bila sudah berpijak di area pematang sawah, salah satu tempat favorit bagi dirinya untuk menghabiskan waktu menjelang senja. Dari sekedar menangkap serangga, berkejar-kejaran, serta bersendagurau bersama teman-teman ia lakukan di tempat itu. Selain menjadi arena bermain, sawah juga menjadi tempat bersejarah bagi keluarga Made Nyandra. Sang Ayah menjadikan sawah sebagai sumber mencari nafkah. Sebagai seorang petani penggarap, Sang Ayah bekerja di sawah milik orang lain. Sehingga upah yang didapat merupakan bagi hasil dari Si Pemilik lahan. Itu pun hanya diberikan hanya ketika panen tiba. Sehingga penghasilan yang tak seberapa banyak itu tidak saban bulan bisa didapat. Sementara ibu Made Nyandra hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa. Praktis kondisi ekonomi mereka bisa dikatakan tidak terlalu baik. Sementara pasangan suami istri itu mesti menghidupi kedelapan anaknya. Made Nyandra sendiri merupakan anak pertama.
Pada tahun keempatnya di Sekolah Dasar, Made Nyandra menerima hasil belajarnya saat pembagian rapor. Bersamaan dengan itu pula, seorang warga Desa Buduk yang menjadi pimpinan sebuah panti asuhan di Kota Singaraja pulang ke desa tersebut. Pemimpin panti asuhan tersebut berkeinginan untuk melihat hasil belajar Made Nyandra yang saat itu kagum melihat nilai-nilai yang membanggakan dalam rapor tersebut. Melihat adanya potensi akademik yang cemerlang dalam diri Made Nyandra, pimpinan panti asuhan tersebut berniat untuk mengajak Made Nyandra ke Kota Singaraja sehingga ia dapat bersekolah secara cuma-cuma. Tentu hal itu merupakan kesempatan yang berharga bagi seorang sulung dari delapan bersaudara dari keluarga seorang petani tersebut. Ia tidak perlu lagi diliputi ketakutan bila sewaktu-waktu pendidikannya akan terhenti karena terkendala biaya. Apalagi semakin menggembirakan manakala dua orang adiknya ikut pula bersamanya hijrah ke Singaraja.
Di kota madya Kabupaten Buleleng tersebut, Made Nyandra dan dua adiknya ditempatkan di panti asuhan Darlene. Awalnya memang sulit, bagi Made Nyandra untuk beradaptasi. Bagaimana tidak. Terbiasa tinggal di sebuah desa terpencil kini ia harus belajar hidup di sebuah kota di Bali Utara yang cukup maju di masa itu. Sehingga ia merasa seakan orang-orang di sana memandangnya sebagai anak desa meskipun pemikirannya itu tidak benar. Namun seiring berjalannya waktu Made Nyandra mampu membiasakan dirinya. Hidup jauh dari orang tua dan saudara juga bukanlah hal yang mudah sehingga “PR” bagi Made Nyandra selanjutnya adalah membiasakan diri hidup tanpa kasih sayang orang tua. Untungnya kegiatan di sekolah maupun di panti mampu menyita perhatiannya sehingga ia tidak perlu berlama-lama tenggelam dalam rasa kerinduan.
Selama bertahun-tahun tinggal di panti asuhan akhirnya tibalah saatnya bagi Made Nyandra untuk masuk ke masa Sekolah Menengah Atas (SMA). Berkat kemampuannya di bidang akademik ia berhasil masuk ke SMA Singaraja yang merupakan sekolah favorit pada masa itu. Ia merasa beruntung sekali dapat mengenyam pendidikan di tempat itu, sebuah pengalaman yang mungkin tidak bisa ia dapatkan bila masih tinggal di desanya dulu.
Bila masa senggang tiba, Made Nyandra tidak menyia-nyiakannya begitu saja. Ia menggunakan waktu luang dengan membimbing adik-adik di panti asuhan tersebut dalam mengerjakan pekerjaan rumah atau menjelaskan materi yang belum dimengerti oleh para juniornya itu. Kegiatan yang awalnya hanya untuk mengisi waktu luang itu semakin rutin dilakukan. Banyak adik-adik kelasnya yang merasa terbantu dalam memahami pelajaran. Nampaknya bakat untuk menjadi seorang pengajar terlihat jelas dalam dirinya. Namun Made Nyandra tidak mau mengukuhkan diri sebagai guru les. Ia tidak menarik bayaran sepeser pun untuk setiap waktu yang ia luangkan untuk mengajar. Bagi dirinya, ilmu yang dimiliki akan semakin kaya apabila ilmu tersebut dibagikan kepada orang lain.
Suatu ketika salah seorang temannya mengalami musibah. Temannya tersebut mengalami patah kaki akibat jatuh dari sebuah pohon. Made Nyandra membawa temannya tersebut ke rumah sakit bersama salah seorang temannya yang lain. Di rumah sakit itu, Made Nyandra menyaksikan bagaimana dokter di sana menangani para pasien. Timbul rasa ketertarikan dalam diri Made Nyandra terhadapap profesi yang identik dengan stetoskop dan jas putih bersih itu. Sejak saat itu pula Made Nyandra memantri cita-cita dalam hatinya, kelak ia akan menjadi seorang dokter.
Bermula dari ikrar pada diri itulah, selepas SMA ia mengikuti tes di jurusan Kedokteran Hewan dan Kedokteran Umum. Made Nyandra yang memang merupakan anak yang cerdas mampu lulus seleksi di kedua jurusan tersebut. Disitulah mulai timbul konflik yang baru dalam hidupnya. Panti asuhan hanya mampu membiayai pendidikan hingga masa SMA sehingga untuk masuk ke perguruan tinggi harus menggunakan biayanya sendiri. Kabar bahwa ia diterima di Universitas terlebih di Fakultas Kedokteran membuat orangtua Made Nyanggra sekaligus sedih. Pasalnya mereka tentu tidak memiliki cukup biaya untuk menguliahkan Sang Putra Sulung.
Pada setiap masalah yang ada, tentu Tuhan Yang Maha Kuasa telah menyediakan solusi untuk meyelesaikannya. Tinggal bagaimana manusianya mampu membuka mata selebar-lebarnya guna menemukan solusi tersebut. Untunglah Made Nyandra salah seorang yang dengan tanggap menemukan jalan keluar bagi permasalahan finansialnya itu. Ia memutuskan untuk mengajar les privat di beberapa tempat guna membiayai pendidikan kuliahnya. Sepulang kuliah, Made Nyandra tak lantas pulang. Ia mesti mampir lagi di beberapa tempat, menyelesaikan kewajibannya yaitu mengajar. Libur kuliah di Hari Sabtu juga ia gunakan untuk menjadi guru honorer di sebuah sekolah swasta di Denpasar.
Semua itu dilakukannya tanpa mengeluh sedetik pun. Karena sudah terlanjur berambisi untuk melanjutkan kuliahnya, ia pun rela bekerja keras sembari tak lupa belajar. Kesibukannya mejadi guru les itu tanpa ia sadari telah mengasah kemampuan mengajarnya sedemikian rupa. Kemampuan itulah yang kelak akan membawanya pada suatu perubahan dalam hidupnya.
Setelah lulus kuliah dan mengikuti kegiatan koas, Made Nyandra harus menghentikan profesinya sebagai guru les. Begitu menuntaskan koas, Made Nyandra melanjutkan pendidikan psikiater. Uniknya ia menjadi angkatan pertama dalam pendidikan psikitaer di Universitas Udayana. Lulus sebagai psikiater, ia ditempatkan bertugas di Rumah Sakit Umum Wangaya. Sembari menjalankan tugas sebagai dokter profesional, Made Nyandra juga kembali pada profesi favoritnya yaitu mengajar. Ketika tidak ada pasien yang perlu ditangani, Made Nyandra mengajar di Sekolah Tinggi Kesehatan (STIKES). Hal itu telah mendapat persetujuan dari direktur rumah sakit tempat ia bekerja.
Selama menjadi psikiater ia pun menemui berbagai pengalaman berharga. Salah satunya ketika ia mendapat kesempatan menangani para korban Bom Bali I yang mengalami trauma pasca musibah terparah dalam sejarah pariwisata Bali tersebut. Dari pengalaman-pengalaman itu pula ia berkeinginan untuk melanjutkan kembali pendidikannya, tidak hanya sampai pada jenjang magister tapi juga sampai ke jenjang doktoral.
Dedikasinya dalam pendidikan tidak hanya menuntun Made Nyandra menjadi seorang dosen. Ia pun mendapat tanggung jawab untuk memimpin Universitas Dhyana Pura atau lebih dikenal dengan nama Undhira. Menjadi seorang rektor tentu tanggung jawab yang diemban lebih besar dari sebelumnya. Berbagai kebijakan yang dibuat pada masa kepemimpinannya membuat universitas ini semakin berkembang dan mulai diapresiasi oleh masyarakat. Terbukti dari minat mahasiswa yang masuk ke universitas ini dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.
Made Nyandra percaya bahwa selain meningkatkan kemampuan akademik, kampus juga menjadi sebuah institusi dimana mahasiswa harus meningkatkan kualitas karakternya. Pengembangan karakter pun dilakukan guna mempersiapkan para mahasiswa agar nantinya dapat terjun di masyarakat dengan baik. Karena itu setiap hari Rabu, Made Nyandra mengajak para civitas akademik untuk mengikuti pendidikan pengembangan karakter secara berkesinambungan.