The Spirit Sound Gallery, Merintis dengan Hati dan Bertumbuh Secara Jiwa

Tidak semua usaha dimulai dengan ambisi dan rencana matang. Agoes Aprianta dan I Wayan Kartana membangun The Spirit Sound melalui perjalanan spiritual dan pencarian makna hidup yang lebih dalam. Tidak ada target muluk. Mereka membiarkan Semesta yang merestui Di tengah guncangan hidup, kehilangan, dan tekanan ekonomi, keduanya menemukan pelipur lara dalam persaudaraan, kesederhanaan, dan tekad untuk hidup lebih jujur dan bermakna.

Agoes dan Kartana berasal dari latar belakang yang berbeda, namun sama-sama mengenal kerasnya hidup sejak dini. Agoes lahir di Denpasar tahun 1973, tumbuh mandiri dan meniti jalan hidup tanpa banyak bantuan. Setelah pendidikan di SMA PGRI IV Denpasar dan BPLP Sanur yang hanya dijalaninya selama tiga bulan, ia mulai bekerja sebagai waiter dan akhirnya merambah dunia kapal pesiar, mencapai posisi sebagai Food & Beverage Supervisor. Sementara itu, Kartana yang berasal dari Payangan dibesarkan oleh keluarga petani. Ia suka membuat barong-barong, meskipun tanpa darah seni. Di masa muda, Kartana sempat bekerja sebagai pemungut karcis drama gong, kemudian menjadi sopir travel dan sopir material bangunan. Di lingkungan tempat tinggal, Kartana suka menikmati kebersamaan bersama teman-temannya, termasuk sesekali menikmati arak. Ia tidak menutupi hal tersebut, namun juga menegaskan bahwa itu tidak sampai menjadi kebiasaan yang membelenggu atau adiktif. Sayangnya persepsi masyarakat sering kali tidak adil. Ia dikerap dianggap sebagai biang bila adanya aktivitas minum di tempat tinggalnya. Label dan cap negatif terlanjur melekat hanya karena pergaulan dan citra yang dibentuk di lingkungan.

Pertemuan Agoes dan Kartana dimulai dari saat Kartana bekerja di artshop yang bersebelahan dengan artshop milik mendiang istri Agoes. Seiring waktu, hubungan mereka pun semakin dekat hingga ia dianggap seperti adik sendiri. Ketika ada karyawan yang kurang disiplin, ia ditawari untuk menggantikan posisi tersebut oleh sang manajer, yang masih saudara dari istri Agoes. Seiring waktu, kedekatan Agoes dan Kartana tumbuh, apalagi mereka tinggal bertetangga. Hubungan itu semakin erat melalui percakapan-percakapan hangat yang sering terjadi di sela waktu santai. Tahun 2007 menjadi tahun penting saat mereka mulai berbagi kegelisahan masing-masing. Bagi Agoes, keluhan mendiang istrinya membuka mata: “Buat apa materi cukup kalau aku jarang di rumah?” Ditambah tekanan aturan kapal pesiar yang makin ketat, ia mulai refleksi dan memutuskan kembali ke Bali. Tahun 2016 menjadi titik terendah bagi Agoes, ketika istrinya wafat. Ia sempat ingin meninggalkan Bali dan menyerahkan segalanya pada Kartana. Namun Kartana tak membiarkan itu terjadi. Ia mendampingi dan memotivasi Agoes untuk bangkit kembali. Kesedihan pribadi menjadi dasar kuat untuk membangun harapan baru.

Dari percakapan-percakapan tersebut yang penuh kejujuran dan keluh kesah, lahirlah gagasan The Spirit Sound pada awal tahun 2018. Ditambah curhatan Kartana yang mengalami tekanan kerja dan ingin keluar tanpa kehilangan pemasukan. Agoes pun melihat peluang untuk merintis sebuah usaha yang terinspirasi langsung dari atmosfer Ubud sebagai destinasi wisata spiritual. Ia membayangkan sebuah tempat yang dapat menyediakan sarana pendukung bagi berbagai aktivitas spiritual yang tumbuh dan hidup di Ubud. Kontrak artshop milik mendiang istri, yang tersisa tiga tahun pun menjadi alasan tepat untuk mulai. Oktober 2018, usaha tersebut berdiri secara resmi. Mereka tidak hanya menjual barang, tapi juga value kejujuran, keterbukaan, dan pelayanan tulus. Dengan slogan “Jujur menjadi Mujur,” mereka menjunjung tinggi integritas. Bahkan tip sekecil apa pun selalu tercatat di nota sebagai bentuk transparansi kepada pelanggan dan staf.

Meski pandemi sempat menjadi tantangan besar, The Spirit Sound tetap bertahan. Salah satu bentuk dukungan datang dari Anjasmara mantan aktor yang kini dikenal luas sebagai praktisi yoga. Ia secara rutin, sekitar seminggu hingga dua minggu sekali, datang untuk mendukung aktivitas usaha ini. Kehadiran figur seperti Anjasmara menjadi penguat semangat bahwa apa yang mereka jalani masih dibutuhkan oleh banyak orang. Ubud yang dikenal sebagai pusat spiritual dunia memberikan dukungan ekosistem yang kuat bagi pertumbuhan The Spirit Sound. Lingkungan yang dipenuhi oleh komunitas yoga, meditasi, penyembuhan holistik, dan festival spiritual tahunan seperti Bali Spirit Festival menciptakan ruang yang subur bagi usaha semacam ini. Keberadaan tempat-tempat ternama seperti Yoga Barn juga membantu membangun jenjang yang luas. Melalui pendekatan yang jujur dan pelayanan yang tulus, The Spirit Sound perlahan mendapatkan kepercayaan dari pelanggan mancanegara. Mereka bahkan dipercaya oleh kolega dari Kanada yang secara rutin memesan puluhan peralatan praktik spiritual. Tak hanya itu, relasi juga terjalin hingga ke Nepal, yang dikenal sebagai salah satu pusat spiritualitas dunia, di mana Agoes sempat melakukan perjalanan pada tahun 2019 untuk mempromosikan usahanya secara langsung. Kepercayaan global ini menjadi bukti bahwa usaha lokal yang dikelola dengan hati bisa menjangkau dunia.

Saat ini, The Spirit Sound dikelola oleh tiga staf inti dan terus menunjukan pertumbuhan yang stabil. Meski menjadi pendiri sekaligus penggerak utama, Agoes dan Kartana tidak pernah menempatkan diri sebagai bos. Melainkan tentang bagaimana menciptakan ruang yang sehat untuk belajar dan bertumbuh bersama. Mereka berharap The Spirit Sound bisa menjadi ladang pembelajaran bagi generasi muda yang ingin mengenal nilai kerja keras, kejujuran, dan ketekunan. Kelak The Spirit Sound dapat diteruskan bukan hanya sebagai usaha dagang, tetapi sebagai warisan nilai, tempat di mana semangat gotong royong dan rasa saling percaya menjadi dasar dari segala hal.

 

Restu dari Semesta

Dari luar, toko yang beralamat di Jl. Hanoman No.65, Padang Tegal Kelod, Ubud, Gianyar, ini menyatu harmonis dengan suasana jalanan Ubud yang bersahaja. Dindingnya sederhana dengan aksen kayu alami dan atap jerami khas Bali, menciptakan kesan hangat dan mengundang. Memasuki bagian dalam, suasana hening dan damai langsung terasa. Toko ini menampilkan aneka perlengkapan spiritual seperti mangkuk Tibet (singing bowls), lonceng ritual, patung Buddha, dan simbol-simbol sakral lainnya, Warna-warni bendera chakra menghiasi ruang, masing-masing membawa afirmasi positif dan makna mendalam, menambah sentuhan estetik dan spiritual yang kuat. Setiap barng yang dipajang-baik itu alat meditasi, altar pribadi, maupun dekorasi bernuansa spiritual-terkurasi dengan hati-hati, mencerminkan nilai-nilai keheningan, keseimbangan, dan penyembuhan. Ada juga kartu nama “The Spirit Sound Gallery” yang diletakan di antara alat-alat spiritual, menunjukan keseriusan dan identitas usaha ini sebagai tempat yang tidak hanya menjual benda, tetapi menyampaikan nilai.

Tak perlu diragukan lagi, produk dan layanan yang ditawarkan The Spirit Sound mampu menjangkau siapa saja, baik mereka yang baru memulai perjalanan spiritual atau yang sudah maupun yang telah menempuh jalan panjang penuh perenungan. Tempat ini menjadi wadah bagi perjalanan batin, ruang belajar bagi yang ingin tumbuh, dan pelipur bagi mereka yang datang membawa luka. Begitu pula Agoes dan Kartana, dalam bisnis mereka, tidak lagi berpatokan pada ambisi, angka, dan persaingan, mereka memilih jalur berbeda-jalan yang sunyi, namun penuh makna, sadar dalam membangun, jujur dalam menjalani, dan saling menguatkan sebagai sahabat dan saudara. Pilhan ini tidak lepas perjalanan hidup yang di alami Agoes dan Kartana, pernah jatuh, lalu bangkit, menyembuhkan diri, dan akhirnya bisa memberi manfaat bagi orang lain. Karena dijalani dengan tulus dan sepenuh hati, usaha ini pun mendapat restu dari alam, tumbuh perlahan, dan tetap bertahan sampai sekarang.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!