Transformasi Ekonomi Sudartha dan Keluarga, Nikmati Masa Pensiun dengan Menjadi Pionir Kuliner Kuah Balung di Bali
Takdir Sudartha untuk mengisi sebagian besar hidupnya dengan bekerja, bekerja dan bekerja tidaklah singkat, ia nyatakan baru pensiun di usianya 61 tahun. Bagaimana tidak, orang tuanya paling miskin di suatu banjar, di Desa Tianyar Barat, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, dengan kondisi rumah hanya berdindingkan daun kelapa. Orang tua Sudartha tidak memiliki pekerjaan tetap, ditambah suka berjudi, membuatnya sebagai anak harus turun tangan ikut bekerja.
Di samping orang tua mencari batu karang, setiap harinya pria kelahiran 31 Desember 1958 ini, pagipagi sekali sudah ke pantai untuk membuat garam yang kemudian dibawa ke pemasok. Setelah jam 9 pagi, ia memikul gula aren sampai jam 5 sore. Bukan main masif dan melelahkan rutinitas pekerjaan yang dilakukan, sehingga tahun 1967, Sudartha baru bisa bersekolah itu pun hanya berlangsung tiga bulan, karena fokusnya harus kembali bekerja. Ia juga pernah menjadi penjual es lilin yang diambil dari pembuatnya. Apapun ia kerjakan, demi menghasilkan uang meski itu recehan.
Tahun 1974, Sudartha mencoba berbagai hal yang kiranya mampu mengubah jalan nasibnya. Ia pernah bekerja sebagai kernet dari bemo yang dibeli kakaknya, hingga beralih sebagai sopir. Juga belajar menjahit dengan melanjutkan sekolah yang menyertakan kurikulum terebut. Setelah tamat, Sudartha bekerja sebagai penjahit dalam menafkahi istrinya yang tengah mengandung. Ia membeli ayam kampung, yang direncanakan akan dijual kembali untuk menjadi biaya ke rumah sakit. Setelah memiliki anak, Sudartha semakin giat bekerja. Seharinya ia bisa mengambil tiga pekerjaan sekaligus. “Jenuh dan capek pasti ada, namun melihat lagi keadaan, bersyukurnya Tuhan memberikan saya kekuatan secara fisik dan mental dalam menjalani itu semua,” ujarnya.
Menginjak tahun 1989, Sudartha mengajak istri dan dua orang anaknya ke Sumbawa. Kilas baliknya, sang adik yang diajak pertama kali oleh mertua Sudartha, ternyata baru satu minggu di sana sudah balik ke Bali, dengan alasan tidak betah. Ia pun penasaran, seperti apa situasinya yang membuat adiknya buru-buru pulang.
Di Sumbawa, Sudartha bertani di lahan mertua. Setelah bagi hasil, timbul rasa tidak enak di hati karena itu bukan lahan milik pribadi, namun harus membagi persenan kepada dirinya. Ia pun memutuskan untuk pulang ke Bali, mengulang pekerjaannya dari nol dengan merantau ke Bedugul. Ia bolak-balik Bedugul–Karangasem, demi membawa pulang Rp150 untuk kebutuhan sehari-hari keluarga.
Pemandangan sehari-hari, tak lepas dari judi tradisional seperti sabung ayam, menyiratkan ide Sudartha untuk memanfaatkan bulu ayam yang berhamburan untuk dijadikan sesuatu yang lebih bernilai jual kepada pengepul, untuk dijadikan kemoceng dan lain-lain. ‘The power of kepepet’ ia sebutkan. Kondisi itu mengundang rasa iba di orang-orang sekitarnya, salah satunya pria asli Bedugul, bernama Made Bawa. Ia menawarkan motornya untuk Sudartha, namun ia menolak karena tak memiliki uang untuk membelinya. Penawaran masih berlanjut, Made Bawa mengatakan hanya menginginkan empat ayam dari Sudartha dan uang tunai semampunya. Selesailah tawar-menawar tersebut dengan dirinya untuk menerima bantuan tulus dari Made Bawa berupa sepeda motor Suzuki gt250.
Pionir Bisnis Kuliner Kuah Balung di Bali
Singkat cerita, sampai juga di destinasi terakhir Sudartha dan istri, Ni Luh Mastri di Kuta tahun 1990. Lagi-lagi ia mendapat bantuan dari orang baik nan tulus, Bapak Gede Intaran Riki (Alm) yang mempersilakannya tinggal di kost-kostan miliknya, sembari Sudartha mengumpulkan modal untuk membayar uang kost. Ia, istri dan anak-anak yang mulai beranjak besar, berjualan secara berkeliling harus semakin dikencangkan dengan menambah motor lagi, yang tak lain dari tuan rumah.
Berjalannya waktu, Sudartha tak hanya mulai mempekerjakan lima orang tenaga demi melanggengkan dagangannya yang bernama “Nasi Lawar Balah”. Ia juga memberanikan dirinya untuk mengontrak lokasi dan membuka warung sederhana pada tahun 2000-an. Dari sana ia bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai bangku kuliah, salah satunya bahkan sampai berangkat ke Amerika.
Transformasi Sudartha dan keluarga tak sampai di sana, bisnis kuliner mereka terus berkembang pesat dengan mendirikan “Rumah Makan Tianyar Mudah” yang dikenal tak pernah sepi pengunjung, dengan ditambahnya menu kuah balung sejak 2016. Ia mengungkapkan, sempat berseteru dengan istri karena tidak setuju menambah menu tersebut ke bisnis mereka. Selain modal yang dikeluarkan bertambah besar, juga khawatir tidak akan ada yang membeli. Namun Sudartha tetap dengan pendiriannya, alhasil kuliner yang berlokasi di Jl. Tuan Lange, No. 20A, Kuta ini, semakin eksis dan banyak yang jiplak. “Balungnya boleh sama, tapi soal cita rasa, jelas berbeda,” ucap Sudartha percaya diri. Tak hanya didatangi warga lokal, Rumah Makan Tianyar Mudah pun menjadi salah satu destinasi kuliner yang wajib dikunjungi wisatawan mancanegara setiap berlibur ke Bali.
Kini siapa yang menyangka, Sudartha telah sukses dan santai menikmati masa pensiunnya. Jangankan orang lain, dirinya saja masih mengira ini adalah mimpi. Ia yang dulu hanya bermodalkan dengkul, bekerja, bekerja dan bekerja tak mengenal ujung, akhirnya sampai di destinasi terakhirnya. Meski terkesan terlambat pensiun, ia tetap bersyukur karena tetap bisa merasakan santai, berkumpul bersama keluarga dan yang terpenting ialah bahagia di atas kakinya sendiri dan turut menyertakan orang-orang sekitar. Terakhir ia mengeluarkan mantra hidupnya, “Kejarlah apa yang menjadi kebahagiaan sejatimu, barulah membahagiakan orang lain. Bila kita sudah tahu, apa yang menjadi kebahagiaan sejati kita, tidak akan ada rasa ketergantungan kepada orang lain untuk membahagiakan kita, karena kita sudah cukup dengan diri kita sendiri.”