Tantangan Komunikasi yang Efektif Demi Kembalikan Kepercayaan Diri Pasien ke Klinik Gigi
Profesi dokter gigi, menjadi pekerjaan paling rentan tertular Covid-19, selain pekerja medis yang menangani pasien konfirmasi Covid-19. Berdasarkan data dari Persatuan Dokter Gigi Indonesia, sudah ada lima dokter gigi yang meninggal akibat terpapar virus. Tentunya drg. Ni Made Grehastin Feby yang selain sebagai dokter, juga merintis praktik klinik gigi “Ceria Dental” ini pun merasakan was-was dan tantangan dalam menjalankan praktiknya. Apakah memilih untuk tutup sementara atau tetap beroperasi dengan ketat menjaga protokol kesehatan.
Sukses meraih gelar sebagai dokter gigi, alumni SMAN 2 Denpasar ini tak terlepas dari latar belakang dan didikan orang tua. Ia dibesarkan oleh ayah yang bekerja sebagai PNS sekaligus wiraswasta dan ibu dari pensiunan perawat di rumah sakit, kini menjadi berprofesi sebagai dosen. Cita-cita drg. Grehastin pun bisa dilihat, menjadikan profesi ibunya yang bekerja di ranah kesehatan, membuatnya termotivasi ingin menjadi dokter sejak kecil. Hanya saja kemudian pilihan yang lebih mengerucut ke arah dokter gigi, baru ia temukan saat di bangku SMA.
Orang tua mendidik drg. Grehastin, tak hanya memberikan pendidikan akademis yang terbaik untuknya. Dalam lingkungan keluarga, mereka pun tak lepas tanggung jawab mendidik anak kedua dari dua bersaudara ini, agar memiliki etika dan kedispilinan yang siap menyelaraskan dan menyongsong kariernya di masa depan. Terlebih mengetahui anak mereka bercita-cita sebagai dokter, untuk menggapainya akan sangat dibutuhkan kedisiplinan dari diri sendiri untuk belajar serta kerja keras. Singkat cerita, usai menyelesaikan kuliah Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Mahasaraswati, drg. Grehastin mendirikan klinik gigi “Ceria Dental” beralamat di Jl. Pulau Buru I No.4 Denpasar Barat.
Tantangan yang dijumpai awal merintis seperti kebutuhan modal untuk melengkapi peralatan yang dibutuhkan dan pengenalan sekaligus dukungan dari masyarakat dalam memberikan jasa pelayanan kesehatan gigi dan mulut. Tak mudah memang mendapat kepercayaan tersebut, apalagi diakui olehnya, ia masih malu-malu saat masih di awalawal untuk berbagi progress usahanya ke media sosial. Ia cenderung dalam memasarkan Ceria Dental berdasarkan penilaian dari pasien saja, entah dari mulut ke mulut atau pasien dengan murah hati berbagi pengalaman di akun pribadi mereka.
Pergi ke klinik gigi tak hanya menimbulkan kekhawatiran pasien pada proses bagaimana alat-alat tersebut bekerja di rongga mulut, tapi juga biaya tinggi yang dikenakan sudah terlanjur dicap oleh masyarakat. Dalam menanggapi fenomena ini, klinik yang memiliki tiga dokter dan delapan staf ini berupaya menyentuh pasiennya dari setiap segmentasi pasar, dengan memberikan harga sesuai dengan standar yang telah ditetapkan PDGI, misalnya pembersihan karang gigi, tentunya tanpa abai dengan kualitas yang tidak membeda-bedakan harga dan profesional. Bila ingin tetap dikenakan biaya standar, dari pasien sendiri harus rajin merawat gigi, seperti melakukan pengecekan setiap 6 bulan sekali, agar tidak terlanjur gigi mengalami kasus yang berat, biaya pun otomatis akan mengalami kenaikan.
Menjaga kesehatan mulut dan gigi seharusnya tak memandang musim, bahkan pandemi global, mengingat mulut dan gigi juga menjadi bagian kebersihan tubuh yang krusial. Bagaimana tidak, setiap harinya kita menggunakan mulut dan gigi kita untuk memasukkan berbagai macam makanan dan tidak semua makanan baik untuk gigi kita. Untuk mencegah permasalahan gigi, seperti berlubang dan karang gigi, kita bisa melakukannya dengan menggosok gigi dua kali sehari. Hal tersebut tak bermasalah dengan orang-orang yang memiliki kebiasaan baik tersebut. Lalu bagaimana mereka yang masih malas-malasan dan menganggap aktivitas itu sepele, klinik gigi pun yang harus segera mengambil tindakan darurat.
Hal terbaik yang bisa dilakukan drg. Grehastin demi memproteksi diri dan pasien adalah menjaga protokol kesehatan klinik, khususnya menjaga kesterilan peralatan dan mempersiapkan diri dengan Alat Pelindung Diri (APD) minimal menggunakan masker, kacamata, sarung tangan, tutup kepala dan baju penutup. Terutama saat berkomunikasi dan melakukan kontak terhadap pasien dalam jarak yang sangat dekat, agar terhindar dari droplet atau cipratan liur yang dikeluarkan seseorang dari hidung atau mulut saat bersin, batuk, bahkan berbicara. Terlepas dari konsistensi yang dilakukan oleh seluruh staf, tantangan tak kalah beratnya ada pada mengembalikan kepercayaan kepada pasien untuk menangani keluhan mereka di era pandemi. Dalam hal ini upaya terbaik yang bisa dilakukan, menjaga komunikasi pribadi yang efektif dengan para pasien dengan memberikan pemahaman terbaik dan edukasi, agar tidak mengalami kekhawatiran yang berlebihan dan dapat segera melakukan penanganan terbaik.