Support to Support Organisasi dan Kestabilan Bisnis Divinity Company

Pria kelahiran Negara, 18 Februari 1998 ini, tak memiliki latar belakang orang tua sebagai entrepreneur, melainkan sejak garis keturunan kakek, kemudian keduanya orang tuanya dan kakak berprofesi sebagai guru. I Nengah Nityananda Yadnya pun akhirnya terbawa pengaruh lingkungan keluarga, yang sempat melanjutkan pendidikan keguruan. Namun pada akhirnya, waktu pun menjawab apa yang sebenarnya menjadi passion-nya, bukan hanya sekedar ajang ikutikutan atau mengikuti tradisi keluarga.

Setelah menyelesaikan masa SMA, seperti penggalan kisah sebelumnya, I Nengah Nityananda Yadnya melanjutkan ke Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha). Namun sebelumnya ia sempat didukung untuk melanjutkan ke fakultas kedokteran oleh orang tua, dikarenakan dalam keluarga besarnya belum ada yang berprofesi sebagai dokter. Sayangnya perjalanannya tak direstui untuk masuk ke ‘wilayah’ tersebut. Diputuskanlah melanjutkan ke Fakultas Bahasa dan Seni Undiksha selama 4 tahun. Durasi sekian tahun di kampus, selain menempuh pendidikan tentunya, I Nengah Nityananda Yadnya menemukan relasi positif yang ia rasakan bermanfaat bagi perkembangan pola pikirnya, tak hanya di lingkungan sesama mahasiswa, tapi juga para dosen yang terbilang masih cukup muda-muda. Relasi tersebut, bahkan memberikan manfaat jangka panjang, saat ia sembari menjalankan usaha konveksi yang ia jalankan sejak SMA.

Tahun 2019, I Nengah Nityananda Yadnya menamatkan kuliahnya, ia bekerja pada posisi marketing. Namun bisnisnya memberikan omzet yang melimpah ruah, meski dua bulan pertama pandemi masuk Bali, perusahaan konveksi yang dinamai “Divinity Company” tersebut sempat sepi, namun berkat memanfaatkan waktu kekosongan tersebut untuk memperbaiki sistem perusahaan, mulai dari pembukuan dan marketing, agar lebih profesional. Divinity Company mampu hidup kembali, terutama saat sehari sebelum Hari Raya Nyepi, pada acara pawai ogoh-ogoh banyak menerima 17.000 buah pesanan. Disusul dengan berbagai event kecil, bahkan pada kafe-kafe baru yang bermunculan, tertarik dengan tawaran mem-branding usaha mereka dengan menciptakan merchandise. Sistem pembelian produk pun dilakukan secara PO atau Pre Order, tanpa ada keberatan dari pemilik usaha.

Mengingat perusahaan konveksinya akan tak hanya memproduksi kaos, tapi juga banyak limbah, pria berusia 24 tahun Ini berupaya menangani permasalahan tersebut dengan jalan terbaik, agar tak menimbulkan polemik di tengah masyrakat. Dalam hal ini, dengan mengusung konsep “Tri Hita Karana”, dari pihak Divinity Company bekerja sama dengan mahasiswa dari Universitas Udayana, untuk meminimalisir limbah dengan cara memfilterisasi air sisa sablon, agar tidak langsung terbuang ke selokan. Dibuatkanlah sebuah alat filter, sebelum limbah turun ke selokan. Sama halnya limbah kain, perusahaan yang beralamat di Jl. Sedap Malam, Gg. Padang Ambuh 3X, Sumerta Kelod, Denpasar ini, juga harus bekerja sama dengan pihak terkait yang lebih paham di bidang tersebut. Hasilnya, I Nengah Nityananda Yadnya menjamin Divinity Company bebas dari limbah.

Di kampung halamannya di Negara, yang dekat dengan kawasan hutan yang tak luput dari pembabatan atau penebangan liar, I Nengah Nityananda Yadnya dan tim dari Divinity Company juga menunjukkan hasil pedulinya dengan alam, dengan berbagi bibit tanaman. Ia meyakini untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan Sang Pencipta, harus dimulai dari dasar dulu, seperti melestarikan alam itu sendiri. Bila sebagai pemilik usaha konveksi khususnya, sudah mampu menjaga alam dari limbah, bahkan ikut melestarikan lingkungan sekitar tetap hijau, astungkara restu Sang Pencipta akan selalu menyertai kelancaran usaha dan inovasi-inovasi perusahaan selanjutnya. Dari diri kita juga jangan pernah takut untuk memulai, taklukan diri dengan tantangan dan tentukan target apa yang dicapai.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!