Sebuah Tanggung Jawab Besar untuk Menjaga Warisan Budaya Seni Ukiran Bali

Bali merupakan salah satu pulau yang kaya dengan adat istiadat dan budaya. Budaya Bali merupakan warisan turun temurun oleh nenek moyang yang patut untuk dilestarikan. Melalui tangan dingin para seniman dan pengrajin di Bali, budaya Bali tetap lestari hingga kini. Salah satu seni budaya Bali yang tersohor hingga ke mancanegara adalah seni ukiran Bali. Saat ini, banyak pengrajin seni ukiran Bali yang masih terus mendalami serta melestarikan seni dan budaya melalui karya mereka. Salah satu pengrajin sekaligus pemilik usaha Art shop terkenal di Bali ialah Dewa Malen Wood Carving. Kiprah I Dewa Ngakan Ketut Suwarbawa dalam dunia seni ukiran Bali berbahan dasar kayu ini dikenal sebagai salah satu pengusaha Art Shop yang sukses di Bali. Karya-karya besarnya diminati para wisatawan domestik hingga mancanegara.

I Dewa Ngakan Ketut Suwarbawa

Pria yang akrab disapa Dewa Malen ini memulai usahanya melalui tekad serta keberaniannya meminjam modal dari bank. Selain keinginan untuk membangun usaha, keyakinan terdalam Dewa Malen akan kecintaannya pada seni ukiran Bali membawanya pada suatu titik balik kehidupan yang kini membawanya pada kehidupan yang layak dan mampu memberi manfaat bagi orang banyak. Keyakinan tersebut didorong oleh sebuah motivasi besar akan pengalaman di masa lalu yang membakar semangatnya untuk mendirikan art shop. Di sela-sela kesibukannya sebagai prajuru adat, bersama istri tercinta serta para karyawan dan pengrajin yang tetap setia menemani perjalanannya, Dewa Malen menuturkan kisahnya bagaimana dirinya kini mampu membawa nama Dewa Malen Wood Carving tetap berdiri dan bertahan meskipun sempat merasakan dampak dari pandemi Covid 19.

Terlahir di lingkungan keluarga petani, Dewa Malen begitu akrab dengan suasana pertanian di sebuah desa wisata di Ubud. Melewati masa kecil dengan menghabiskan waktu bersama keluarga seperti membantu di sawah, merawat sapi dan mencari rumput merupakan rutinitas Dewa Malen di masa kecil. Berada di tengah masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai pengrajin pahat, secara tidak langsung mendidik Dewa Malen sebagai seorang pengrajin sejak dini. Keahlian memahat patung burung dikuasainya dengan baik, sehingga sejak kecil, Dewa Malen diajarkan hidup mandiri yang mana hasil pahatan patung burung tersebut menghasilkan pundi-pundi rupiah. Pada zaman itu, kehidupan pengrajin hidup berkecukupan berbeda dengan saat ini, di mana anak muda di desa saat itu lebih memilih untuk pergi merantau ke luar negeri bekerja di kapal pesiar daripada memilih untuk menjadi pemahat patung. Hal tersebut sangat disayangkan Dewa Malen.

Pekerjaan sebagai tukang ukir harus dilakoni dengan sepenuh hati. Untuk menghasilkan sebuah karya ukiran yang indah, tidak serta merta hanya mengandalkan kemampuan semata. Tetapi juga bagaimana mampu menghasilkan sebuah karya ukir yang memiliki jiwa sehingga menghasilkan sebuah kraya bermutu tinggi. Saat ini, minimnya keinginan generasi muda untuk meneruskan budaya dengan menjadi pengrajin berdampak pada usaha Dewa Malen sehingga dirinya mengakui kesulitan untuk mencari seorang pemahat. Namun, dirinya tetap optimis untuk mempertahankan usaha art shop yang telah ia rintis sejak lama. Sempat mengenyam pendidikan di fakultas hukum selama 2 bulan kemudian ia memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan dan terjun ke dunia usaha. Diakui Dewa Malen, menjadi seorang pengusaha merupakan garis tangan baginya untuk berkiprah dalam dunia seni ukir dan sudah menjadi tanggung jawabnya untuk menjalankan serta mewarisi seni dan budaya ukiran Bali kepada generasi muda di masa yang akan datang.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!