SANG SPA
CIPTAKAN KENYAMANAN BERELAKSASI LEWAT PELAYANAN SEPENUH HATI
Tak lengkap rasanya bila berplesiran ke Pulau Dewata tanpa mencicipi kenyamanan spa tradisional Bali. Setelah seharian berwisata ke berbagai destinasi wisata di Bali, tidak ada salahnya kan bila mengembalikan kembali kebugaran tubuh. Berbagai outlet spa bertebaran di se-antero Bali namun yang terbaik ada di daerah Ubud. Sang Spa, salah satu galeri spa yang menawarkan beragam paket layanan yang disesuaikan dengan kebutuhan customer. Spa yang memiliki dua cabang yaitu di Jalan Jembawan dan Jalan Monkey Forest Ubud ini menawarkan pelayanan maksimal dari para therapist profesional. Keistimewaan pelayanan di Sang Spa yakni pelayanan sepenuh hati dari para therapist yang senantiasa memberikan ruang interaksi personal kepada setiap pelanggan. Tak heran bila spa yang dimiliki oleh I Putu Ngurah Sudarma ini mendapatkan penghargaan Bali Best Brand Award sebagai The Best Spa selama tiga tahun berturut-turut yakni di tahun 2013 hingga tahun 2015.
Sebagai pemilik sebuah usaha spa, I Putu Ngurah Sudarma atau akrab disapa Ngurah Sudarma ini telah berpengalaman bekerja sebagai seorang spa therapist. Awal karirnya di bidang jasa pelayanan spa ini dimulai dari titik terberat dalam hidupnya. Saat memutuskan untuk bekerja di kapal pesiar untuk yang kedua kalinya, ia justru menjadi korban penipuan dari agen tenaga kerja tempat ia mendaftar. Uang sebesar 40 juta yang ia dapat dari hasil meminjam kesana kemari raib begitu saja dan yang paling pahit adalah ia tidak pernah bekerja sama sekali. Di tengah kondisi penuh ketidakpastian itulah ia bertemu Steve, seorang pria berkebangsaan Australia sekaligus pengusaha spa di Negeri Kangguru itu. Steve menawarinya sebuah pekerjaan sebagai seorang spa therapist dengan upah 250.000 per bulan. Tentu bukan perkara mudah menjalani pekerjaan yang sebelumnya tidak dikuasainya, namun Ngurah Sudarma telah bertekad untuk mempelajari pengetahuan spa lebih dalam lagi.
Setelah menikah pada tahun 2007 dengan perempuan yang dicintainya bernama Komang Astini, Ngurah Sudarma berkeinginan untuk membuka usaha sendiri. Ia mengajak Sang Istri untuk mengelola bisnis spa yang ia beri nama Sang Spa. Nama Sang Spa merupakan singkatan: “S” dari inisial ayah dan ibu yaitu Sudiarsa dan Sutami, “A” inisial dari nama istrinya Astini dan kemudian “Ng” dari Ngurah. Pendirian usaha ini terbilang nekat karena modal yang dimiliki berasal dari berhutang di bank dan pinjaman dari orangtuanya sebesar 60 juta. Di awal usahanya pria kelahiran Buleleng ini membangun dua kamar beratap anyaman daun kelapa. Saat itu, ia hanya berpegang pada kekuatan iman, bila Tuhan menghendaki semua pasti akan terjadi. Pelan namun pasti usahanya pun mulai memperlihatkan hasil yang memuaskan sehingga hutang-hutang kepada rentenir dan bank berhasil dilunasi, serta bisa menggaji beberapa karyawan.
Terdapat beberapa paket yang diminati pelanggan di antaranya : holistic Sang Spa package, eat pray love package, dan relaxing package. Layanan spa di Sang Spa digemari banyak konsumen karena semua karyawan yang bekerja di Sang Spa mendapat pelatihan langsung dari Ngurah Sudarma bagaimana harus memberikan pelayanan dari hati dan memberi ruang interaksi secara personal, sehingga konsumen dapat benar-benar merasakan kenyamanan saat menjalankan treatment dan selalu ingin kembali ke Sang Spa.
Pertumbuhan usaha yang cukup baik mendorong Ngurah Sudarma memperluas usaha dengan membuka Sang Spa 2 di jalan Jembawan Ubud, Sang Spa 3 di jalan Monkey Forest. Kini usaha Sang Spa dipusatkan di Sang Spa 2 dan Sang Spa 3, sementara tempat yang dulu digunakan untuk Sang Spa 1 sesudah masa kontraknya habis menjadi tempat penyimpanan logistik berbagai produk dan kebutuhan spa. Perlahan-lahan seiring dengan peningkatan usaha Sang Spa, manajemen Sang Spa diperbaiki agar semakin tercipta sistem kerja yang lebih baik. Ia optimis prospek usaha Sang Spa akan semakin bagus ke depan.
Tumbuh dalam Kekurangan
Ngurah Sudarma tumbuh dan besar di dalam situasi ekonomi di bawah garis kemiskinan. Kehidupan nomaden yang sering harus berpindah dari satu tempat ke tempat lain dijalani keluarganya untuk sekadar bisa bertahan hidup. Ngurah Sudarma sangat memahami bagaimana ayahnya harus berjuang menghidupkan denyut ekonomi keluarga. Pekerjaan sebagai tukang las, petani, sekaligus nelayan pernah dilakoni Sang Ayah, namun penghasilan yang diperoleh sangat minim, sementara ibu hanya mengurus rumah tangga.
Sebagai anak dari keluarga tidak mampu, ia juga sering diolok-olok dan dihina. Semua kesulitan yang dialami semasa kecil itu tak lantas menyurutkan semangat hidup Ngurah Sudarma. Karena sudah terbiasa dididik menjadi anak yang mandiri dan tidak manja, ia berusaha menghadapi dan menyelesaikan masalah sendiri semampunya. Tidak seperti anak-anak lain yang bisa memperoleh apa yang diinginkan dengan mudah, Ngurah sudarma kecil kerap tidak mendapatkan apa yang diinginkan karena situasi ekonomi keluarga, sehingga ia kerap berkelana ke desa tetangga atau orang tua teman yang lebih mampu secara ekonomi dan bersedia memberi makanan atau uang setelah ia membantu membersihkan rumah dan halaman mereka.
Hidup memang terkadang keras dan penuh kompetisi. Itulah yang harus dihadapi Ngurah Sudarma saat menginjak masa remaja. Sejak di SMP, Ngurah Sudarma menjadi buruh bangunan sepulang sekolah dan kadang-kadang membantu pekerjaan mencari rumput dan berkebun di rumah kakek. Sedangkan ketika beranjak melanjutkan SMA ia bekerja di sebuah galeri lukisan di daerah Alassari, Buleleng. Awalnya hanya membantu membersihkan ruangan, memasang kanvas, dan membersihkan alat-alat yang dipakai untuk melukis, lalu perlahan-lahan mendapat kepercayaan memandu tamu dan menjelaskan lukisan-lukisan koleksi galeri karena kemampuan bahasa inggrisnya cukup bagus. Timbul rasa kepercayaan dirinya untuk mulai membuat lukisan dengan media campuran cat tembok dan dijual seharga Rp. 100.000,- sampai Rp. 200.000.
Suatu hari ia bertemu dengan seorang tamu galeri beretnis tionghoa yang menawarkan sebuah pekerjaan di Bandung pada tahun 2000. Demi meraih impian hidup lebih baik, Ngurah Sudarma segera menerima tawaran itu. Di Kota Kembang itulah Ngurah Sudarma juga mengambil langkah untuk melanjutkan pendidikannya. Sambil bekerja di Cafe Bali, ia mengikuti perkuliahan di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi dan Pariwisata (STIEPAR) Yapari-Aktripa Bandung. Tiap pagi ia harus bangun jam empat pagi, memotong bawang dan menjalankan rutinitas tugas di Cafe Bali, lalu mengikuti kuliah dari jam 7 sampai jam 12 siang. Jam 3 sore, ia harus bekerja kembali di Cafe Bali sampai jam 11 malam. Kegiatan yang padat setiap hari tak pernah mematahkan semangatnya.
Meski menjalani kuliah sembari mencari nafkah, namun Ngurah Sudarma cukup aktif di organisasi kemahasiswaan sehingga terpilih sebagai presiden BEM STIEPAR Yapari-Aktripa Bandung tahun 2003. Pada masa kepemimpinan Ngurah Sudarma, permasalahan hubungan yayasan dan lembaga di dalam kampus berhasil diurai dan hubungan baik yayasan, alumni, lembaga dan mahasiswa sendiri berhasil dibangun kembali berkat keberanian yang ditanamkan oleh ayahnya sejak kecil lewat pesan, “Kamu harus berani mati, kalau berani mati kamu tidak takut apapun yang terjadi.” Ngurah Sudarma juga memunculkan program-program BEM yang berkualitas, seperti donor darah, reboisasi, dan pengajian. Melalui sejumlah prestasi yang telah dicatatkan sebagai presiden BEM, ia menjadi sering bergaul dengan orang-orang penting, seperti
Kapolsek, AAGym, Kopertis, Ketua Yayasan dan Wali Kota Bandung.
Sempat bekerja di sebuah kapal pesiar Singapura selama setahun setelah masa tugas akhir, Ngurah Sudarma akhirnya bisa membereskan administrasi dan diwisuda dengan penghargaan sebagai mahasiswa teladan pada tahun 2005. Setelah pulang ke Bali, saat itulah ia mengalami tindak penipuan dengan motif akan diberangkatkan ke kapal pesiar. Namun peristiwa buruk tersebut akhirnya menuntunnya pada pengalaman hidup selanjutnya yang akhirnya berujung pada kesuksesan.
Sebagai seorang pengusaha muda Bali yang mendapat penghargaan Wirausaha Muda Mandiri pada tahun 2013, Ngurah Sudarma berharap pemerintah bisa menstimulasi anak-anak muda untuk menjadi pengusaha karena dengan peningkatan jumlah pengusaha kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara akan meningkat. Selain itu, pemerintah harus memberikan sosialisasi dan edukasi tentang pajak agar jangan sampai usaha yang baru berdiri langsung dikenai pajak, harus ada toleransi dan ukuran yang jelas kapan sebuah usaha dikenai pajak. Di tengah iklim kompetisi global yang semakin ketat, pemerintah juga harus mendukung pengusaha-pengusaha lokal agar dapat bersaing dengan pengusaha asing.