PETUALANGAN MENJEMPUT IMPIAN HINGGA AUSTRALIA
Duduk di sofa dalam kediamannya, Ida Bagus Sura Kusuma dengan fasih bertutur mengenai kisah panjang perjalanan hidupnya. Penampilannya begitu santai ; mengenakan kemeja coklat, celana pendek, lengkap dengan kacamata hitam yang diselipkan di antara kedua sisi topi fedoranya. Nampaknya pengalaman di masa lalu telah mengasah kecerdasan nalar yang terasa nyata dalam tiap kata-kata yang terlontar dari bibirnya. Petualangan demi petualangan yang dialaminya di masa lalu sejenak membawa ingatan kita pada kisah yang ada di film-film kenamaan Hollywood. Namun apa yang dialami pria yang juga dikenal dengan nama Ida Bagus Lolec ini adalah wujud realisasi dari sebuah impian. Sebuah mimpi yang ditopang oleh tekad yang kuat dari seorang Lolec adalah ingin mencoba peruntungan di Australia.
Ruang tamu kediaman Lolec terasa berenergi ketika Lolec mulai menguntai kata demi kata, dimulai dari soal perkembangan arsitektur Bali, ia tampak bersemangat menunjukkan karya visual di sebuah majalah tentang bangunan khas Bali yang telah dikolaborasikan dengan kosep modern. Beberapa kali ia mengomentari desain bangunan yang nampak di halaman majalah tersebut sambil sesekali melontarkan kritik yang membangun. Maklum saja, dua tahun duduk bangku kuliah Jurusan Arsitektur salah satu universitas di Bali setidaknya telah mengasah wawasannya tentang tata kelola bangunan. Kemudian menjadi sorotan yang penting mengenai kenapa ia harus menanggalkan status mahasiswanya?
Kala itu Lolec baru menginjak usia 20 tahun, usia dimana seseorang tengah menimbang-nimbang jalan mana yang akan ditempuh untuk mejemput impian kelak di kemudian hari. Lolec yang demikian haus akan keingintahuan akan ilmu pengetahuan, justru merasa bosan karena gelora semangatnya tak sebanding dengan keterbatasan waktu perkuliahan saat itu. Kondisi fakultas yang baru saja didirikan membuat kegiatan belajar mengajar sering terhambat, akibatnya para mahasiswa sering berakhir di kantin atau lorong-lorong kampus tanpa jadwal perkuliahan yang pasti.
Di saat yang sama muncul kebutuhan-kebutuhan yang hanya mampu terbeli dengan uang. Lolec pun tak bisa mengandalkan kondisi keuangan orangtuanya yang pada waktu itu tidak terlalu mapan. Saat itu muncullah gagasan untuk mencari penghidupan di luar negeri. Bekerja di negara lain dianggap sebagai jalan tercepat menuju kesejahteraan sebab penghasilan yang didapat lebih besar. Benua Australia menjadi tujuan Lolec, selain menjanjikan lapangan pekerjaan, Lolec juga memiliki seorang kenalan di Sidney.
Modal menjual motor ia gunakan untuk membuay visa dan membeli tiket pesawat. Uniknya, bukan rute penerbangan Denpasar-Sidney yang akan ditempuhnya, melainkan ia harus menuju Dili untuk terbang menggunakan pesawat kecil disana. Hal itu dilakukannya demi memangkas biaya transportasi ke luar negeri.
Perjalanan darat dari Denpasar ke Kupang pun tidak bisa disebut mudah. Ia berjalan kaki dari satu kota ke kota lain. Dari sebuah desa ke desa lainnya. Melewati jalanan beraspal hingga masuk ke hutan belukar. Teriknya panas dan derasnya hujan dilalui dengan kesabaran yang melampaui kemampuan manusia pada umumnya. Bahkan pernah dalam kondisi basah kuyup, ia berjalan tanpa henti dengan perut yang belum diisi. Dengan sisa tenaganya ia mencari dahan sebagai tempat melepas lelah sekaligus tindakan mawas diri terhadap keberadaan binatang buas.
Di sela-sela tidurnya ia teringat akan keluarga yang ditinggalkannya di Bali. Kerinduan pun menggerogoti sukma kala mengingat wajah kekasih hati yang juga ia tinggalkan tanpa memberi kabar. Kegetiran hidup yang tengah dialaminya tidak begitu saja melunturkan semangat untuk menggapai impian. Kesokan harinya ia terbangun ia memantapkan tekad untuk tetap melanjutkan perjalanan ke Dili.
Singkat cerita setibanya di Dili, Lolec dipertemukan dengan pejabat konsulat Indonesia untuk Dili. Di sana ia dijinkan tinggal sementara dan difasilitasi penerbangan ke Darwin. Lolec senang bukan kepalang sebab sebentar lagi ia akan menjumpai tanah impian. Namun ada kisah lucu saat Lolec ‘menginap’ di kediaman konsulat tersebut. Saat itu Lolec yang merasa rendah diri dengan kondisi kumuh, merasa segan mengotori kamar mandi sehingga ia hanya mengusap-usap badannya untuk membersihkan diri.
Tiba di Darwin, Lolec merasa menghirup aroma pengharapan. Ada sebuah kesempatan hidup yang baru, demikian pikirnya tentang Negeri Kangguru tersebut. Sementara uang yang dipegangnya kian menipis, Lolec segera mencari pekerjaan. Ia segera mendapat kerja sebagai tenaga pembersih rumput dengan gaji 22 Dollar per hari.
Dari tabungan hasil kerjanya, Lolec melanjutkan perjalanan ke Sidney. Ia sampai di negara bagian tersebut saat malam hari. Dalam situasi musim dingin, Lolec berjalan menembus hawa beku yang menusuk pernapasannya. Tujuannya waktu itu menemui kenalannya di Sidney. Beruntung ada warga China yang memberi tumpangan pada Lolec menuju kediaman kenalannya tersebut.
Sesampai di tujuan, orang yang dicari Lolec hampir sukar mengenalinya sebab kondisi Lolec pada waktu itu hampir mirip gelandangan. Bahkan gelandangan pun sewajarnya tidak melintasi pekatnya malam dalam cuaca seperti itu. Lolec pun dirawat dan beberapa hari kemudian dicarikan pekerjaan. Namun Lolec menolak secara halus dengan alasan akan mencari pekerjaan dengan kemampuan sendiri.
Akhirnya Lolec mendapat pekerjaan di sebuah pabrik pengolahan daging. Semangat bekerja ditunjukkannya dengan mengambil jatah lembur. Tak pelak, bersentuhan dengan daging membuat aroma busuk selalu menguar dari diri Lolec, menyebabkan orang-orang yang ditemuinya tak mau berlama-lama di dekat Lolec.
Tak terasa dua tahun ia bekerja di Sidney. Rasa rindu akan kampung halaman menyeruak, mengingatkannya untuk segera pulang. Berbekal uang tabungan hasil jerih payah selama ini, Lolec terbang ke tanah kelahirannya untuk menemui keluarga tercinta. Ia juga segera menemui Sang Kekasih hati, meski ia sendiri was-was apakah kekasihnya itu masih menyimpan cinta mereka. Ternyata kekasihnya itu dengan setia menanti Lolec bermodalkan asa bahwa suatu saat nanti Lolec akan kembali pulang. Segeralah ia menyunting pujaan hatinya, Ida Ayu Wirantini Utari di tahun 1974.
Segala pengalaman pahit getir yang ditemuinya selama berpetualang ke Australia dijadikan cambuk untuk meniti kehidupan baru di Bali. Bahkan modal pengalaman di Australia itu menghantarkannya untuk meniti karir di dunia pariwisata, dimulai dari penempatannya di PT. Bali Tour sebagai pramuwisata. Berkat wawasannya tentang Australia membuatnya menjadi sosok penting di perusahaan.
Karir Lolec kian menanjak hingga ia bergabung di PT. Pasific World Travel yang merupakan perusahaan perjalanan wisata yang memiliki jaringan di seluruh dunia. Posisinya sebagai managing director merupakan pencapaian yang menjadikannya sebagai salah satu tokoh pariwisata Bali yang sukses. aat ini Lolec menjadi honorer konsulat untuk Bali dari Negara Polandia, wakil ketua kadin untuk bidang usaha mice, Presiden Chairman organisasi dari IKA (Indonesia konggres Asosution), mengajar kameran graf seluruh Indonesia.
Berada di puncak kesuksesan tidak menjadikan Lolec jumawa. Justru kematangan emosi ditunjukkannya melalui sikap yang rendah hati bertutur sapa dengan insan manusia lainnya. Lolec mengaku sela-sela kesibukannya, ayah 3 anak ini sering menenggelamkan diri dalam hobinya melukis. Hingga kini ratusan karyanya dapat dijumpai di kediamannya.