Perjalanan Anak Pesisir Memperjuangkan Keadilan

Siti Sapurah yang akrab disapa Mbak Ipung, lahir dan dibesarkan di Pulau Serangan, Bali. Ia mendeskripsikan masa kecilnya sebagai anak pesisir pada umumnya yang dekat dengan lingkungan sumber mata pencaharian nelayan. Dibalik keterbatasan akses fasilitas pendidikan pada saat itu, Mbak Ipung tetap gigih dalam menuntut ilmu. Yang membuat istimewa adalah kecerdasan dan prestasinya dalam bidang akademik. Ia pun berhasil meraih predikat sebagai anak teladan di se-kabupaten Badung.

Pada usia tujuh tahun, Mbak Ipung menceritakan awal mula dirinya ingin menjadi seorang pembela terinspirasi setelah menonton film di TVRI yang menampilkan sosok aktris bernama Mutiara Sani yang piawai dalam membela kebenaran. Tentunya hasrat itu tumbuh menjadi cita-cita mulia kelak di masa depan. Namun dibalik keinginannya itu, ada perjalanan hidup yang Mbak Ipung harus jalani. Dari sepeninggalan ayahnya, banyak lika-liku kehidupan yang ia rasakan di usia yang seharusnya penuh akan dunia bermain dan belajar. Tapi takdir tersebutlah menjadi cengkraman pondasi pendewasaannya sehingga semakin menumbuhkan empati kepada sesama.

Kembali ke masa menuntut ilmu, Mbak Ipung melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMPN 6 Denpasar, yang berarti dirinya harus menyeberang pulau. Namun sebelum bersekolah, ia harus bangun jam 5 pagi untuk mencari anak ikan bandeng atau nener di pinggir laut, yang kemudian dijual oleh ibu angkatnya. Setelah itu barulah perjalanan ke sekolah yang berasa petualangan pun dimulai. Jika air surut, ia bisa berjalan kaki, namun jika air pasang, ia harus menaiki perahu dan sisanya ditempuh dengan berenang. Ia hanya diberi uang cukup untuk membayar perahu. Setelah melewati rutinitas belajar, pada pukul 6 sore Mbak Ipung kembali dengan berjalan kaki dari sekolah hingga daerah Suwung. Di dermaga jika tidak ada perahu, ia harus berjalan kaki lagi ke tambak. Baru kemudian menyeberangi laut dengan melepas seragam dan sepatunya, memasukkannya ke dalam plastik dan mengikatnya di lehernya. Sampai di ujungnya, di Pura Sakenan, ia menyelesaikan perjalanan dengan berjalan kaki kembali. Setiap kali ia mengingat pengalaman itu, sulit baginya untuk mempercayai betapa kuatnya ia menjalani proses tersebut.

Waktu terus berlalu hingga berhasil masuk ke tingkat SMA, tepatnya di SMAN 5 Denpasar, Mbak Ipung masih dihadapkan dengan tantangan tempuh perjalanan ke sekolah. Ia harus berjalan kaki dari Sesetan ke Sidakarya. Dikarenakan tidak mampu terus-menerus berjalan kaki selama satu jam, Mbak Ipung mencari solusi dengan menjadi “joki” bagi teman-temannya agar bisa naik angkot ke sekolah. Karena merasa malu menerima uang dari teman-temannya secara berkelanjutan, ia memilih mencari pekerjaan yang tidak mengganggu aktivitas sekolahnya.

Lulus dari SMA, Mbak Ipung tidak diizinkan untuk kuliah hingga anak pertama ibu angkat, meminta ibunya untuk mengusirnya dari rumah apabila ia tidak bekerja. Apa mau dikata, akhirnya Mbak Ipung mencari pekerjaan. Ia mendapat pekerjaan sebagai kasir di Mall Libbi Plaza. Setiap hari ia berjalan kaki dari Pedungan ke Teuku Umar. Dengan rutin setiap bulannya, ia memberikan gaji kepada ibu angkatnya, dengan harapan mendapat izin untuk kuliah. Setelah setahun Mbak Ipung memberanikan diri untuk kembali meminta bisa kuliah dan akhirnya izinpun diberikan meski dengan persyaratan yang tidak boleh di langgar. Mbak Ipung melanjutkan pendidikannya di Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa. Sesuai dengan ingatan masa kecilnya, di mana ia ingin suatu saat dapat menjadi pembela bagi yang membutuhkan. Keseriusannya pun terbayar sampai wisuda. Meski sempat mengalami kendala dijegal oleh pihak tertentu agar tidak bisa diwisuda, lalu Mbak Ipung menghadap kepada PD 1 untuk menanyakan apa alasannya, dan menantang meminta diperlihatkan nilai yang dianggap tidak lulus, serta siap melakukan ujian lisan saat itu juga. Hingga akhirnya gelar sarjana hukum pun berhasil ia peroleh. Mendengar kabar keberhasilannya dalam meraih wisuda, ia di usir dari rumah pada jam 00.01 malam hingga mengalami penganiayaan dari seluruh anggota keluarga tanpa alasan. Setelah itu ia di lempar ke jalan tanpa membawa apapun hanya baju tidur yang melekat di badannya. Merasa sangat terhina, bahkan ia mencoba mengakhiri hidupnya dengan menenggak baygon hingga tak sadarkan diri, dan ketika sadar ia sudah ada di Rumah Sakit Sanglah.

Setelah menikah, Mbak Ipung semakin berambisi mewujudkan impiannya menjadi seorang pengacara. Tahun 2009, ia memutuskan untuk mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dan mengikuti ujian pada Oktober 2009. Hasilnya ia dinyatakan Lulus dan 3 bulan kemudian sudah mendapatkan KTA sementara sebelum dilantik secara resmi. Semangatnya semakin membara karena ia mulai memiliki modal untuk menjadi pengacara.

Perjalanan hidup yang telah dilalui Mbak Ipung memberikan empatinya yang kuat untuk membantu mereka yang mengalami situasi serupa. Salah satu kasus yang mencuat ke publik adalah kasus Angeline pada tahun 2015, di mana seorang anak perempuan berusia delapan tahun mengalami penyiksaan fisik dan psikologis oleh ibu angkatnya sebelum akhirnya meninggal pada tanggal 16 Mei 2015. Kasus Angeline menarik perhatian masyarakat secara luas dan menjadi topik perbincangan nasional di Indonesia. Perjuangan Mbak Ipung dalam menangani kasus Angeline sangat menguras tenaga dan kesehatannya. Ia bahkan harus vakum sementara dari profesinya sebagai advokat dan mediator untuk memulihkan diri.

Pada tahun 2020, Mbak Ipung menjalani perawatan medis yang intensif, namun Mbak Ipung tetap mempertahankan semangatnya dalam menjalani pengobatan dan berdoa agar bisa kembali bekerja dalam membela kebenaran di Indonesia. November 2020, Mbak Ipung bangkit kembali dan mulai mendapatkan kasus yang ditugaskan kepadanya, termasuk menangani Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung. Kehadiran kasus ini memberikan semangat baru baginya, karena ia kembali mendapatkan rezeki melalui pekerjaannya sebagai advokat. Seiring berjalannya waktu, muncul pula kasus-kasus baru yang menantang, yang memperkuat kariernya sebagai pengacara.

Tempaan demi tempaan membuat Mbak Ipung sadar bahwa menjalankan profesinya tidaklah mudah, dan banyak hambatan yang dapat menghalangi tujuannya. Meskipun kondisi kesehatan fisiknya tidak seenergik seperti dulu, ia tidak akan berdiam diri, terutama dalam menghadapi kasus kekerasan terhadap anakanak. Ia pun meyakini, kasih sayang dan janji Tuhan terhadap mereka yang berjuang demi kebenaran akan selalu menyertai. Hal ini mendorongnya untuk mendirikan kantor hukum yang diakui secara resmi. Dengan memiliki kantor hukum, Mbak Ipung aktif berkontribusi dalam pembangunan desa kelahirannya, membantu individu-individu yang membutuhkan bantuannya dan memiliki anak asuh yang akan dibimbingnya agar tumbuh menjadi individu yang dekat dengan Tuhan.

Mbak Ipung mempunyai cita-cita yang belum kesampaian yaitu membangun rumah aman dan mengasuh anak-anak yang kurang beruntung. Melalui pendidikan dan pembimbingan yang berlandaskan pada nilai-nilai etika, moral dan kejujuran, Mbak Ipung berharap anak-anak asuhnya akan menjadi generasi masa depan yang berani bersuara, memiliki integritas dan berdedikasi kepada tanah air. Saat ini, kehadiran generasi muda yang berkomitmen terhadap kebenaran dan keadilan sangatlah penting. Mbak Ipung menyadari bahwa perubahan positif dalam masyarakat dimulai dari mereka. Dengan memberikan perhatian dan arahan kepada anak-anak terutama soal pentingnya pendidikan, ia berharap dapat menginspirasi mereka untuk suatu saat nanti berperan aktif dalam membangun bangsa Indonesia yang lebih baik.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!