Nasi Ayam Kedewatan Bu Mangku Pertahankan Warisan Resep Tradisional Secara TURUN-TEMURUN
Menu Indonesia, khususnya Bali memang selalu mampu memikat hati. Rahasia kelezatannya ada pada resep turun-temurun dari orangtua yang tak pernah berubah, meski zaman semakin maju. Namun kuliner Bali yang otentik dan kaya akan rempah, tak akan dimakan oleh inovasi-inovasi kuliner yang terus bermunculan.
Sebuah resep keluarga telah diturunkan secara turun temurun, pada destinasi wisata kuliner bernama “Nasi Ayam Bu Mangku”. Orangtua dari Sang Putu Putra, khususnya sang ibu, ia ungkapkan kerja keras beliau dalam membangun usaha tersebut tidak mengenal putus asa. Kini meski usaha tersebut sudah diambil alih olehnya, ibunya pun tak henti untuk mendukung dengan sesekali mengunjungi kuliner yang berlokasi di tiga daerah di Bali.
Meliputi daerah Jalan Kayu Jati-Seminyak, Kedewatan – Ubud, dan Denpasar tepatnya di Jalan Tukad Badung No.11, Renon, kuliner berbasis nasi ayam campur dengan rasa khas Bali ini, masing-masing dipegang oleh keluarga. Hal ini bertujuan, agar rasa yang dimiliki tidak mengalami perubahan dan dapat mempertahankan pengunjung yang telah menjadi pelanggan setia dari masa ke masa.
Di usia lima tahun, Sang Putu Putra sudah membantu ibu berjualan nasi kaki lima. Tertarik dengan apa yang dikerjakan ibunya, di sekitar usia tujuh hingga delapan tahun, ia kemudian belajar untuk memasak sendiri, sembari membantu ibu di warung. Kegiatan memasak tersebut, menjadi sebuah kegiatan menyenangkan baginya, seperti sedang bermain, namun dapat memberikan sebuah edukasi dalam mengembangkan kemampuan seni memasak.
Kebiasaan Sang Putu Putra dalam memasak makanannya sendiri pun terbawa hingga remaja, terlebih ia harus hidup mandiri pada saat tinggal di kost, hingga duduk di bangku kuliah. Setelah semakin mahir dalam memasak, ia kemudian menekuni dan melanjutkan bisnis kuliner milik orangtua, yang bernama Nasi Ayam Kedewatan Bu Mangku.
Masakan Indonesia, khususnya Bali menggunakan bahan-bahan yang dapat dikatakan rumit dengan paduan rempah-rempah hingga menghasilkan rasa yang khas. Hal ini mendorongnya untuk terus belajar, bagaimana mempertahankan kualitas dan rasa, meski ilmu memasak telah ia dapatkan dari ibu. Selain itu faktor kegiatan memasak harus menjadi sebuah kegiatan yang dicintai atau passion dari seseorang, karena bila suasana hati kurang menyenangkan, dapat mengakibatkan masakan pun menjadi kurang enak. Bila masakan sampai pada penikmat, tentu akan mengurangi kepercayaan mereka dan bukan tidak mungkin dapat mengurangi pelanggan. Maka daripada itu, Sang Putra lebih memilih untuk istirahat sebentar dari memasak, bila mood kurang baik.
Kesibukannya dalam mengelola bisnis orangtua, membuatnya ia mulai jarang memasak untuk dikonsumsi pribadi, tapi sebagian besar dilakukan untuk pelanggannya di Nasi Ayam Kedewatan. Namun sesekali, meski sudah tidak muda lagi, Sang Ibu selalu menyempatkan diri untuk melakukan tes rasa di Nasi Ayam Kedewatan cabang Denpasar. Untuk cabang lain dipercayakan kepada anggota keluarga lain untuk mengelolanya.
Nasi Ayam Kedewatan, meski berlokasi di perkotaan, namun berusaha membawa suasana yang natural, seperti suasana di desa. Dengan menyelipkan nama ibu, “Bu Mangku’’, Sang Putu Putra berharap dapat meregenerasi bisnis kuliner ini secara turun temurun, meski ia akui sempat kebingungan, karena generasi zamannya dengan zaman sekarang sekarang tentu berbeda dalam pola didikan dan penerimaan ilmu. Namun sama halnya dengan kerja keras orangtuanya terdahulu, Sang Putu Putra pun tak ingin mudah menyerah dan terus berusaha untuk mempertanggungjawabkan kepercayaan yang telah diberikan kepadanya melanjutkan dan mempertahankan kuliner tradisional Bali ala “Nasi Ayam Kedewatan Bu Mangku”.