Menjangkau Pelayanan Kesehatan Mata hingga Pelosok Desa
Bersyukur, berbagi dan berbahagia. Demikian moto hidup seorang praktisi kesehatan mata di Bali bernama Dr. Wayan Gde Dharyata, Sp.M(K). Cara menikmati hidup amatlah sederhana yaitu mensyukuri segala nikmat karunia yang dimiliki, kemudian selalu ingat untuk berbagi, barulah kita mampu mencapai kebahagiaan. Dokter spesialis mata yang telah berpengalaman puluhan tahun ini berbagi kepada sesama lewat kemampuannya. Pelayanan tidak hanya diberikan kepada masyarakat urban, ia pun rutin menyambangi masyarakat di desa yang sulit mengakses fasilitas kesehatan mata. Kegiatan mulia ini dilakukannya demi menurunkan angka kebutaan masyarakat Indonesia yang terhitung tinggi di dunia.
Pada usianya yang telah menginjak 66 tahun, pria yang akrab disapa Dokter Dhar ini masih tetap energik melaksanakan segala macam kegiatan. Tiada satu hari pun yang dilewatkannya dengan berleha-leha. Bahkan waktu akhir pekan yang seyogyanya digunakan untuk beristirahat, tetap ia manfaatkan sebagai waktu bekerja. Semangat untuk terus berkarya di dunia medis ini dilandasi oleh motivasi agar dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat, khususnya kesehatan organ mata.
Rutinitas keseharian Dokter kelahiran Denpasar, 3 Maret 1954 terbilang padat. Setiap paginya di hari Senin, Selasa, Kamis, dan Sabtu ia melayani pasien di Siloam Hospital Sunset Road, Badung. Sementara hari Rabu pagi ia melayani masyarakat di Rumah Sakit Puri Raharja. Sedangkan di sore harinya sejak hari Senin hingga Sabtu ia membuka pelayanan praktik pribadi di kliniknya, Jalan Buluh Indah Lama, Denpasar. Sedangkan di hari Minggu, ia menerima pelayanan operasi di RS Puri Raharja.
Dari sekian hari-hari yang padat dilaluinya, ada satu hari yang disempatkan oleh Dokter Dhar untuk melakukan upaya pengabdian di masyarakat. Khususnya masyarakat yang belum mampu mengakses fasilitas kesehatan mata karena terkendala jarak maupun biaya. Hari istimewa itu yakni setiap Jumat, ia tidak pernah melewatkan kegiatan Mobile Eye Clinic, sebuah program yang dilakukannya bekerja sama dengan organisasi nirlaba dari Australia bernama John Fawcett Foundation. Dokter Dhar mengaku, aktivitas ini rutin ia lakukan sejak tahun 1991.
“Pada dasarnya program Mobile Eye Clinic ini merupakan usaha jemput bola ke masyarakat yang selama ini sulit mengakses pelayanan kesehatan mata. Program ini dijalankan melalui armada berbentuk bus yang di dalamnya telah tersedia peralatan medis yang lengkap, termasuk ruang operasi,” ujar dokter lulusan Universitas Sam Ratulangi tersebut.
Dokter Dhar mengisahkan tujuan dibentuknya kegiatan yang didukung oleh organisasi Rotary International Foundation, kerja sama antara Rotary Club Western Australia dan Rotary Clubs Bali-Indonesia, ini adalah demi menurunkan angka kebutaan di masyarakat. Jumlah masyarakat Indonesia yang mengalami kebutaan terus meningkat hingga mencapai angka yang memprihatinkan. Sementara kenyataannya, masyarakat sangat takut untuk mendatangi fasilitas kesehatan.
“Rata-rata mereka takut jika harus menjalani tindakan operasi,” kata Dokter Dhar. Selain adanya stigma mengerikan mengenai penanganan kesehatan mata, Dokter Dhar juga menemui fenomena masyarakat yang abai pada kondisi mata ketika menginjak usia senja. Masih banyak warga yang beranggapan bahwa jika kualitas penglihatan menurun saat usia tidak lagi muda, hal itu merupakan suatu hal yang lumrah tanpa perlu ditangani lebih lanjut. Padahal penurunan kualitas penglihatan dapat dicegah atau bahkan bisa diperbaiki meskipun seseorang sudah berusia lanjut.
Pelan tapi pasti, Dokter Dhar tidak hanya memberikan pelayanan sesuai dengan kemampuannya sebagai tenaga medis, namun ia juga berupaya mengedukasi masyarakat. Melalui kegiatan Mobile Eye Clinic yang dilaksanakan secara berkeliling ke desa-desa seluruh Bali ini, diharapkan masyarakat lebih familiar terhadap berbagai penanganan kesehatan mata sehingga tidak sungkan mendatangi faskes terdekat ketika mengalami penurunan fungsi mata.
Masa Pendidikan
Perjalanan hidup luar biasa berliku dan penuh kejutan dialami oleh Dokter Dhar. Ia mengaku dengan kondisi finansial keluarga di masa lalu, sebenarnya hampir mustahil bisa membawanya menapaki karir sebagai dokter. Ia terlahir dari pasangan I Nyoman Sadhia dan Ni Ketut Sutji, dimana pekerjaan orangtuanya adalah buruh tani. Namun sejak ayahnya berpindah haluan menjadi pegawai hotel, ayahnya pun semakin berpikiran terbuka soal masa depan Dokter Dhar dan saudaranya yang lain.
“Ayah saya sangat visioner, ia beranggapan bahwa pendidikan yang baik akan mampu mengantarkan seseorang pada gerbang keberhasilan,” kata Dokter Dhar mengenang ayah tercinta. Hanya saja keadaan ekonomi mereka saat itu memang tidak terlalu baik. Meski begitu ayahnya terus berusaha sedemikian rupa agar bisa menyekolahkan Dokter Dhar ke berbagai sekolah terkemuka, sebut saja SMPN 1 dan SMAN 1 Denpasar. Kesempatan itu pun dimanfaatkan secara maksimal dengan giat belajar dan mengasah jiwa kepemimpinan hingga sering menjadi ketua kelas dan pernah mendapat predikat murid teladan.
Tatkala memasuki jenjang perkuliahan, Dokter Dhar mengalami dilema. Ia lulus dalam tes di dua Fakultas, yaitu Teknik dan Kedokteran. Dengan keadaan ekonomi keluarga ditambah adik-adiknya yang lain juga masih perlu biaya pendidikan, ia sejatinya hanya mampu melanjutkan ke Jurusan Arsitektur. Sedangkan bila meneruskan ke Kedokteran, hal itu akan merogoh dana yang tak sedikit. Apalagi sudah menjadi wawasan yang umum jika hendak menjadi seorang dokter, memerlukan masa pendidikan yang sangat panjang.
Di sinilah peran besar seorang nenek dalam kehidupan Dokter Dhar. Neneknya yang tidak pernah menikmati bangku SD sekalipun, tetapi sebagai pengusaha art shop, sangat optimis bahwa ia akan mampu menjadi dokter yang berguna di masa depan. Akhirnya melalui dukungan biaya dari neneknya, Dokter Dhar melanjutkan kuliah ke Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Selama berkuliah pun banyak tantangan ditemui, terutama soal keterbatasan biaya. Karena itu ia pun menerima tawaran sebagai penyiar di perusahaan radio swasta, tepatnya Radio Cassanova di Denpasar guna menambah modal kuliahnya.
Karir
Meskipun terseok-seok menjalani masa pendidikan, akhirnya ia menamatkan S1 di tahun kesembilan. Nyatanya bayangan profesi sebagai dokter tidak seindah yang dibayangkan. Bukannya membuka praktik di perkotaan dengan plang bertuliskan namanya di muka klinik, ia justru harus berpraktik ke daerah yang masih didominasi hutan lebat. Namun pengalaman itu justru yang melatih mental sebagai pengabdi masyarakat. Ia terlatih untuk siap siaga memberikan pelayanan, tak jarang ia harus menyeberang dari satu sungai ke sungai lain atau menyusuri hutan belantara untuk menuju rumah pasien.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Manado hingga sempat meniti karir di sana, Dokter Dhar dipanggil pulang ke Bali untuk mengembangkan pelayanan kesehatan mata di Rumah Sakit Wangaya. Di tahun yang sama yaitu 1991, Dokter Dhar menerima tawaran bekerja sama dengan John Fawcett Foundation untuk melaksanakan program Mobile Eye Clinic. Ia pun harus pandai membagi waktu agar karier dan kegiatan sosial tetap seimbang.
Pada tahun 1993, Dokter Dhar menerima program fellowship ke Australia untuk meningkatkan wawasan seputar Micro Surgery dan Laser. Salah satu tindakan medis dalam dunia kesehatan mata ini menitiberatkan pelayanan melalui alat mikroskop. Melalui kegiatan fellowship ini pula sekaligus ajang pembuktian Dokter Dhar bahwa tenaga medis yang melayani masyarakat ke desa-desa tetap harus berkompeten. Demikian pula kesempatan untuk mengikuti beasiswa ke India tidak dilewatkannya guna meningkatkan skill dan pengetahuan di bidang medis, khususnya Micro Surgery dan IOL.
Sebelumnya di tahun 1996 ia menjadi salah satu pemrakarsa Balai Kesehatan Mata Masyarakat atau BKMM. Dua tahun kemudian ia dipercaya mengepalai Unit Pelayanan Teknis Dinas Kesehatan Provinsi Bali tersebut. Peran yang begitu besar BKMM pada masyarakat akhirnya membuat pemerintah daerah meningkatkan Badan Pelayanan Khusus Rumah Sakit Indera Masyarakat.
Di tahun 2006, Dokter Dhar mendapat kepercayaan sebagai Direktur Utama rumah sakit yang melayani kesehatan Mata, Kulit, dan THT. Di bawah kepemimpinannya itu rumah sakit kian berkembang dan telah dipersiapkan grand design untuk menjadikannya sebagai rumah sakit rujukan berstandar internasional, yang kemudian berganti nama menjadi Rumah Sakit Mata Bali Mandara.
Dua tahun setelahnya, suami dari Dokter Luh Putu Rossiana ini memutuskan pensiun dini sebagai Pegawai Negeri Sipil dan mengembangkan karier di perusahaan rumah sakit swasta lainnya. Sembari melayani masyarakat di rumah sakit maupun praktik pribadi, ia masih terus menjalankan program bakti sosial bersama John Fawcett Foundation.
Bahkan saat ini jangkauan pelayanan program ini tidak hanya area Bali juga telah bergerak hingga ke luar daerah, ke seluruh Indonesia. Ayah tiga anak tersebut berharap agar program serupa dapat bermunculan di berbagai tempat, sebab kegiatan ini secara signifikan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan mata dengan bekerjasama semua pihak termasuk dengan pemerintah, private sector, organisasi profesi, serta organisasi sosial budaya.
Kepada generasi muda, Dokter Dhar berpesan, untuk mencapai cita-cita kita berpedoman pada “Catur Purusa Artha” yaitu melandasi sifat kerja dengan nilai-nilai luhur (Dharma), selalu meningkatkan kompetensi dan kualitas (Artha) disertai semangat yang profesional (Karma), untuk mencapai hidup bahagia dan sejahtera (Moksa).