Mengungsi Akibat Kerusuhan Rasial Mei 1998, Justru Membuka Peluang dan Karier sebagai Pengusaha Garmen
Kerusuhan Mei 1998, yang merupakan kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa, membuat Fitri, Ardhi dan Elvine yang ada di garis keturunan tersebut, mengungsi dari Jakarta menuju Bali. Tujuan awal pun hanya untuk tinggal sementara, sampai kondisi Jakarta benar-benar kondusif. Namun, tak sanggup berdiam diri begitu saja, dengan berbekal pengalaman bekerja di perusahaan garmen di Jakarta, ketiganya kemudian mencoba peluang tersebut di Bali yang dirintis dengan dua mesin.
Bisnis pertama kali dikemukakan oleh Fitri dan adiknya, Elvine, barulah disusul oleh suami dari Fitri, Ardhi, setelah melihat peluang pariwisata yang menjanjikan dengan target pasar sedari awal ialah 90% pangsa pasar ekspor. Secara perlahan namun pasti, mereka kompak berkolaborasi mem-branding produksi pakaian mereka ke toko-toko yang didominasi turis mancanegara. Sejak tahun 2002, bisnis mereka resmi berbadan hukum dalam naungan nama “PT Prima Daya Bali”.
Fitri, Ardhi maupun Elvine sebenarnya tidak ada basic pendidikan di desain dan bisnis, Fitri merupakan lulusan Institut Pertanian Bogor dari jurusan bioteknologi pangan, Elvine dari bidang marketing dari sebuah universitas di Australia dan Ardhi pada akuntansi di Universitas Diponegoro. Tapi setelah ditelusuri lebih dalam, Fitri dan Elvine memilik bakat alami dalam mendesain, ditambah dengan pengalaman bekerja sebelumnya, membuat mereka akhirnya cukup percaya diri untuk merealisasikan karya mereka dalam bisnis brand sendiri.
Berlokasi bisnis di Gg. Banjar Bumi Werdhi, Jl. Pulau Ayu XV No.2, Dauh Puri Kauh, Denpasar Barat, PT Prima Daya Bali tak hanya memproduksi pakaian wanita, tapi juga memenuhi selera pria dan anak-anak yang sudah diekspor ke negara Australia, Afrika Selatan, Eropa, Kenya, Hongkong, Asia Tenggara, Meksiko, Kanada dan Amerika Serikat. Saat ini PT Prima Daya Bali memiliki pabrik dengan kapasitas 30.000/bulan yang menawarkan pembelian grosir di dalam toko, dengan lebih dari 10.000 pola dan menggunakan berbagai jenis kain termasuk rajutan, lycra, katun, linen, rayon, crinkle dan sifon. Oleh perancang yang memiliki pengalaman lebih dari 20 tahun, juga menggabungkan sulaman dan renda cut-out khas Indonesia. Demi menjaga profesionalisme bisnis antar klien, komitmen PT Prima Daya Bali ditunjukkan dalam kualitas, kecepatan dan ketepatan komunikasi, mengingat kondisi perbedaan waktu yang signifikan. Fitri, Ardhi dan Elvine pun bisa stand by 24 jam, demi melayani klien terbaik mereka dan segera menerima orderan yang dikerjakan oleh karyawan yang mayoritas adalah orang Bali. Loyalitas karyawan pun tak kalah menjadi garda terdepan, dalam berkelanjutannya bisnis ini. Mereka sudah menjadi saksi perjalanan bisnis garmen sejak awal, sampai ada yang memutuskan untuk pensiun, demi merintis bisnis yang serupa. Fitri, Ardhi dan Elvine pun tak ragu membantu mereka dalam modal awal dan berjalan cukup sukses sampai saat ini. “Semoga kesuksesan tak hanya dimiliki PT Prima Daya Bali saja, tapi juga bisa melahirkan bibit-bibit wirausaha bahkan entrepreneur-entrepreneur baru ke depannya”, harap Ardhi.
Upaya-upaya untuk mempertahankan garmen saat pandemi, memang bisa meloloskan PT Prima Daya Bali eksis sampai saat ini. Namun tak terhindari, kapasitas produksi menurun, selain faktor regulasi PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), berlanjut ke skala lebih besar, yakni PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang melarang barang-barang dari Indonesia masuk ke luar negeri, karena dikhawatirkan dapat menularkan virus. Pemilik barang harus melalui prosedur yang berlapis-lapis, membuat biaya pengeluaran bertambah.
Dalam merancang desain yang eksklusif, inovasi-inovasi baru selalu dilakukan sesuai dengan fenomena empat musim yang 70% berasal dari Amerika. Bila modelnya masih hype, produksi akan terus digenjotkan atau sebaliknya akan diganti dengan model baru, mengikuti revolusi fashion dari masa ke masa. Inovasi lainnya yang bisa dikatakan sisi positif dari pandemi, Fitri dan Elvine justru semakin berkreativitas dengan ekspansi ke pasar lokal dengan menciptakan brand sendiri “FITnVINE” yang mengangkat dari nama “Fitri dan Elvine”. Ada lagi “BALIGODDESS” untuk ekspor dan terakhir turut mengikuti tren baju muslim, berlabel “ELGIANNI”. Harapannya, tiga brand tersebut juga bisa melejit sampai level internasional seiring dengan keoptimisan ketiganya, bahwa bisnis ini akan fokus terus berkarya, apapun tantangan global yang dihadapi ke depannya. Sebagai pemilik mental pengusaha, wajib untuk berpikir kreatif dan inovatif, bukan terkungkung dengan permasalahannya.