Mengubah Nasib dari Desa ke Kota Pelajar lewat Pendidikan
I Made Santiasa lahir di Desa Susut Kaja, Kabupaten Bangli, dari keluarga yang bersemangat dalam menyekolahkan anak-anak. Ayahnya seorang guru SD di Kintamani dan ibunya seorang pedagang. Dengan berprinsip bahwa pendidikan harus berorientasi ke arah barat. I Made Santiasa dan dua saudaranya berhasil menempuh pendidikan hingga di daerah Jawa. Kakak pertamanya kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB), ia di Universitas Atma Jaya, dan adiknya di STIE YKPN.
Saat masih bersekolah di Kintamani, Santiasa merasa terjebak dalam pergaulan yang kurang baik. Ia merasa khawatir dan perlu mengubah lingkungan pergaulannya. Maka, ia meminta ayahnya untuk memindahkannya ke Denpasar agar bisa menghindari lingkungan tersebut. Namun ayahnya memiliki visi yang lebih besar untuknya, dengan menyarankan ia ikut kakaknya ke Yogyakarta, di sana ia bisa mendapatkan lingkungan yang lebih luas untuk mengembangkan diri. Ayahnya tak ingin hal sejenis akan terulang lagi jika hanya pindah ke Denpasar. Santiasa pun pernah mengungkapkan cita-citanya ingin sebagai guide, karena di tahun 1990-an, pekerjaan ini sangat diminati dengan penghasilan yang tinggi. Meskipun ayahnya mendukung apapun yang menjadi cita-citanya, beliau tak ingin ia terjebak pada bidang pariwisata saja dan dengan Santiasa merantau ke Yogyakarta, ia bisa membuka pikiran dan melihat beragam profesi yang lebih luas.
Dari pendidikan di desa, menuju ke ‘kota pelajar’, Santiasa merasakan perbedaan yang cukup mencolok. Ia mengakui menjadi salah satu siswa yang paling tertinggal di kelas. Kondisi tersebut sempat membuatnya cemas apakah akan mampu lulus atau tidak. Terlebih lagi dengan adanya perubahan sistem pendidikan dari 3 caturwulan menjadi 2 semester. Namun, berkat dukungan dan motivasi dari kakaknya, serta mengikuti les tambahan, Santiasa berhasil melewati masamasa sulit tersebut dan lulus dengan sukses. Ia kemudian memilih melanjutkan kuliah di bidang Teknik Arsitektur di Universitas Atma Jaya pada tahun 1996.
Setelah kembali ke Bali dan menetap di Denpasar, Santiasa mencari lowongan pekerjaan sambil tinggal di sebuah kosan. Ia berhasil diterima di biro arsitek yang terletak di Jl. Nangka, Denpasar. Namun sepertinya bekerja sebagai karyawan yang berangkat pagi, pulang sore hari tak cocok untuknya, sehingga ia hanya bertahan selama setahun. Kemudian ia terpikirkan untuk mencoba suatu usaha. Ide brilian muncul, ia memutuskan menjual meja gambar arsitekturnya yang tak terpakai dan berhasil terjual seharga Rp4,5 juta. Tak lama setelah itu, ada yang menghubunginya dan menanyakan apakah ia masih menyediakan meja gambar lagi. Santiasa teringat teman-temannya di Yogyakarta dan langsung menghubungi mereka untuk diajak bekerja sama. Alhasil, bisnis tersebut berjalan sangat baik, bahkan sampai ia menikah dan dikaruniai anak kedua.
Pada saat yang sama, Santiasa tak melupakan latar belakangnya sebagai arsitek, ia sembari memasang iklan di surat kabar untuk menerima jasa gambar. Bisnis tersebut mendapat respons yang positif dari berbagai klien. Lambat laun, klien-klien tersebut menawarkan proyek konstruksi kepadanya. Santiasa berupaya menyanggupi tawaran tersebut berupa proyek pertamanya dalam hal renovasi, namun sayang ia mengalami kerugian dan harus menutup ganti rugi sampai menjual mobil keluarga. Menyaksikan hal tersebut, ayahnya sempat marah dan kecewa.
Setelah mengalami kegagalan dalam bisnisnya, Santiasa kemudian beralih ke bidang pembangunan dan proyek konstruksi. Ia bekerja sebagai pengawas proyek pembangunan sekolah di beberapa kabupaten di Bali dan Lombok yang belum memiliki sekolah dan digarap oleh sebuah perusahaan konsultan dari Surabaya. Selama bekerja sebagai pengawas proyek, Santiasa juga aktif menyerap ilmu manajemen dari perusahaan tersebut. Pada tahun 2008, kesempatan emas datang saat ia dipercaya menggarap pembangunan tiga vila. Proyek tersebut berjalan dengan cukup baik dan memberikan kepercayaan diri yang lebih besar pada Santiasa. Dengan semangat dan komitmen tinggi, ia terus mengembangkan kemampuan dan keahliannya dalam bidang pembangunan.
Tak Berbakat di Developer
Setelah melewati masa jeda selama enam bulan yang tak kunjung mendapatkan proyek, Santiasa memutuskan untuk mencoba kemampuannya di bidang developer dengan mendirikan CV Cipta Tama Architect. Namun, ternyata bidang tersebut tak sesuai dengan bakatnya, justru membuatnya semakin pusing dan bingung. Ia pun kembali beralih ke bidang kontraktor dan mulai menggarap proyek dari klien, salah satunya klien asal Rusia yang memiliki vila di Bali. Beranjak tahun 2018, Santiasa menggarap proyek di Surabaya dan semakin memperluas jaringan dengan pebisnis lain. Hal ini mempengaruhi saat pandemi Covid-19 melanda, ia beruntung memiliki proyek yang masih berjalan dan tetap bertahan di tengah tantangan. Dalam kondisi ini, ia merasa sangat bersyukur dan CV Cipta Tama Architect yang berlokasi di Jl. Sekar Tunjung XII No. 8x Kesiman pun semakin dikenal dan berkembang pesat.
Belajar dari perjalanan kariernya, Santiasa belajar untuk menjalani hidup dengan lapang dada dan tanpa beban berlebihan. Ia mengambil setiap hari sebagai anugerah dan selalu bersyukur ketika baru bangun tidur maupun sebelum tidur di malam hari. Dengan sikap positif dan rasa syukur, Santiasa yakin bahwa segala tantangan pasti ada solusinya. Siapa yang mampu melalui tantangan dengan bijak, kesuksesan akan terus mengalir bagaikan air yang mengisi kehidupannya.