Mengajak Masyarakat Kembali Ke Spirit Pulau Bali
Sebelumnya IG Sudantha sudah berkecimpung dalam dunia pariwisata selama 17 tahun, yang ia awali sebagai dagang acung pada tahun 1969. Kedisiplinan dalam bekerja sebagai bentuk menghargai tamu, sudah ia biasakan dalam bekerja, dibarengi dengan pengetahuan dan attitude yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Namun melihat perbedaan yang kontras pariwisata tahun itu dengan zaman ini, IG Sudantha mengungkapkan kekecewaannya.
Seusai sebagai dagang acung, IG Sudantha di tahun 1974 ia tertarik untuk berkecimpung dalam usaha travel agent, meski saat itu belum banyak usaha serupa. “Honey Holiday” usaha yang ia bangun, berlokasi di Jalan Bunut Sari yang dalam pendiriannya, ia dapatkan ilmu sekaligus belajar bahasa Inggris dari rekan asal Australia, saat ia menyambangi negeri kanguru tersebut.
Melihat attitude IG Sudantha, rekan Australianya tersebut tertarik untuk berbagi ilmu dan mengunjungi Bali untuk melihat kantor travel agentnya. Lumayan kaget melihat keadaan kantornya yang sederhana, yakni menggunakan alang-alang, hanya memiliki dua meja dan dua kursi. Selain itu IG Sudantha selain sebagai pendiri juga berfungsi sebagai pemandu wisata sekaligus driver, karena jumlah karyawan yang ia miliki saat itu hanya dua orang.
Sikap ramah tamah dalam pelayanan, membuat perusahaannya berkembang pesat. Tamu-tamu asing, khususnya asal Australia, di-handle oleh usaha travel-nya, di kantor berukuran 4×6 meter itu. Pada saat Perang Teluk pun, di saat senior-seniornya dalam akomodasi pariwisata sedang sepi pengunjung, ia justru sanggup mendatangkan wisatawan, salah satu yang memuji kepiawaiannya ialah pemilik dari Melasti Hotel, Alm. Arka Hardiana.
Setelah kesuksesannya tersebut, IG Sudantha kemudian membuka usaha rent car yang bernama “Budi Lancar” dengan jumlah 40 kendaraan. Ia juga bersama rekannya yang orang asing, juga membangun usaha “Percetakan Gaga”, guna menunjang usaha-usaha yang ia miliki.
IG Sudantha mulai memikirkan langkah selanjutnya, bila kontrak lokasi tersebut habis, apa yang akan ia lakukan. Ia pun terpikirkan untuk membuka akomodasi penginapan di daerah Balangan pada tahun 2012, tepatnya di Jalan Pantai Balangan, Jimbaran. Ia yang juga pernah melakukan perjalanan ke Dompu, Nusa Tenggara Barat, memiliki feeling yang kuat untuk juga membuka usaha akomodasi penginapan di daerah tersebut.
Tak kalah dengan akomodasi penginapan Aman Gati Balangan yang didominasi bahan kayu, Aman Gati Hotel Lakey Hu’u Dompu berlokasi cukup jauh dari keramaian, tepatnya di depan Lakey Peak Surf Sport yang terkenal, hal ini cocok bagi pengunjung yang mencari kedamaian dan relaksasi bagi siapa pun yang mengunjunginya. Dengan tipe enam kamar, meliputi standard A/C/twin bed, ocean view room/twin bed, triple bed a/c room, standard A/C double, ocean view room/double bed, standard a/c single.
Daerah ini sangat unik, menghasilkan gelombang kelas dunia dan ideal untuk berbagai olahraga air seperti selancar, selancar layang-layang, juga memancing, menyelam, dan snorkeling atau pun belajar berselancar. Pengunjung dapat berjalan kaki singkat ke tempat-tempat selancar tersebut, seperti Nungas, Batu Bulat dan Periskop.
Untuk mencapai penginapan ini, pengunjung menempuh penerbangan satu jam dari Denpasar menuju Bandara Bima (Sultan Muhammad Salahudin). Ada juga layanan harian dari Bali dan penerbangan pulang pergi akan dikenakan biaya sekitar US $ 200,00 per orang. Perjalanan dari Bandara Bima ke Pantai Lakey, sekitar 3 jam melewati jalan berliku dan berbukit. Dari sini pengunjung dapat naik taksi/bemo untuk pergi ke Huu, harganya sekitar US $ 80 per kendaraan (maksimum 4 orang).
Dari Bandara Internasional Lombok menuju Bima (BMU) berjarak 267 km, rata-rata waktu penerbangan dari Lombok International ke Bima
adalah 50 menit. Bila pengunjung menggunakan maskapai penerbangan Garuda Indonesia memiliki jadwal 30 penerbangan seminggu dari Lombok International ke Bima.
Perbedaan Pariwisata Dulu dan Sekarang
17 Tahun berkecimpung dalam dunia pariwisata, IG Sudantha menceritakan perbedaan yang kontras zaman pariwisata pada tahun 1970an dan zaman ini. Pria asal Tianyar, Karangasem ini, mengatakan harus ada peran pemerintah yang mempelopori, pembenahan-pembenahan yang harus dilakukan.
Dulu tidak ada orang asing yang membangun usaha di Bali, kalau sekarang keadaan daerah pariwisata, banyak generasi muda yang lulusan kapal pesiar, tapi usaha digarap oleh orang asing. Penataan Bali seperti bangunan bernafaskan Bali yang mulai menghilang, peran-peran penting dalam menunjang pariwisata seperti public relation dan guide seharusnya orang Bali sendiri, karena merekalah yang mengenal Bali lebih dalam.
Keramahtamahan juga berkurang 40%, sisanya hanya 60% yang dirasakan IG Sudantha paham di pariwisata. Perbedaan tersebut terasa, di mana dulu dalam bekerja ia tidak memikirkan komisi, yang terpenting ialah kepuasaan tamu itu sendiri. Setelah tahun 1985, baru ia mengenal yang namanya komisi. Dan sekarang komisi dapat mencapai 30%-40%, karena persaingan yang tidak sehat.
Mogi-mogi kita bisa mempertahankan Bali, dengan memberi celah kepada orang-orang Bali. Dengan cara membuat skema, agar masing-masing dapat memiliki lokasinya khusus. Selain itu, SDM diperbarui dan menggaet orang-orang yang memang spesialisasi sebagai pemandu wisata. Pemerintah Daerah Badung pun seharusnya berani mengeluarkan anggaran demi pariwisata yang representatif. Roh identitas Bali itu harus dijaga, mengerti dan memahami wilayahnya. Jangan membangun Bali dengan mengorbankan kesucian dan meninggalkan budaya asli Bali.