Memupuk Jiwa Disiplin Sejak Dini
Majalah Bali | Ngurah Sunatha memiliki hobi berorganisasi di kampung halamannya, sedangkan Luh Putu Ratna memiliki karakter yang disiplin dalam bekerja, sekaligus mengorganisir keuangan rumah tangga yang tak lepas dari pantauannya. Kerja sama yang selaras ini kemudian disalurkan oleh pasangan suami istri ini untuk merintis usaha yang mereka awali di tahun 1987. Namun, karakter dan bakat yang mereka miliki tak diperoleh secara instan, di mana kehidupan masa kecillah yang memupuk jiwa-jiwa tersebut untuk tumbuh menjadi sosok yang disiplin, hingga menggapai kesuksesan terutama sebagai role model di tengah keluarga.
Ngurah Sunatha yang aktif menulis kisah inspirasi masa kecilnya di sebuah blog untuk para mahasiswanya, akhirnya menceritakan kembali bagaimana masa-masa tersebut sebagai anak desa, yang memberi pengaruh besar dalam mencapai kesuksesan di masa kini. Diawali tahun 1958, Ngurah Sunatha dilahirkan di Kurubaya 31 Desember. Dilihat dari segi tahun, ia sempat menyaksikan warga desa yang mengungsi akibat peristiwa meletusnya Gunung Agung pada tahun 1963. Terlepas dari peristiwa yang memakan ribuan korban ini, ada kisah inspirasi yang ia petik, yakni semangat bahu-membahu antara warga di desa dan warga yang mengungsi untuk bergotong royong bekerja di sawah secara mandiri.
Bergulir ke tahun 1965, di mana situasi politik sedang menggema, Ngurah Sunatha yang berusia tujuh tahun, sudah mulai bersekolah di tengah situasi keras dan radikalnya peristiwa-peristiwa pembantaian tanpa sebab. Sebagai saksi mata, ia mengungkapkan tidak mudah untuk beraktivitas di tengah situasi yang sangat menegangkan dan dihantui rasa kecemasan. Namun bersyukur, ia dan keluarga akhirnya mampu melewati salah satu peristiwa pembantaian terburuk pada abad ke-20 tersebut.
Duduk di kelas IV dan V SD, Ngurah Sunatha memperoleh pendidikan yang lebih banyak mengarah pada pendidikan karakter dibandingkan teori di kelas. Pendidikan tersebut meliputi kegiatan seni dan berdagang. Dari pihak sekolah, ia pun mendapat tugas untuk membeli bahan makanan di pasar yang akan ia kelola dagangan tersebut di sekolah. Dari hasil berdagang yang ia peroleh meski diperuntukkan untuk sekolah, Ngurah Sunatha mengakui dimulai dari pengalaman itu, ia mulai tertarik untuk berdagang suatu saat nanti.
Tidak berbeda jauh dengan istri, masa kecil Luh Putu Ratna, juga kerap memulai aktivitasnya sejak pagi hari untuk bekerja membantu orangtua di ladang terlebih dahulu, demi memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini sudah menjadi aktivitas wanita kelahiran Tegal 28 Maret 1961 ini, sehingga ia tumbuh menjadi sosok yang disiplin dan terorganisir baik dalam pekerjaan maupun rumah tangga.
Lulus SMP, Ngurah Sunatha kemudian mengikuti jejak kakaknya yang nomor dua, untuk berangkat ke Denpasar. Tidak ada yang berubah dengan aktivitas Ngurah Sunatha setelah tinggal di kota yang mendapat julukan “Parisnya Bali” tersebut. Sebelum berangkat ke sekolah, di pagi hari ia pergi ke pasar terlebih dahulu untuk ikut membantu urusan rumah tangga. Hal ini ia lakukan, sebagai bentuk menghargai sang kakak yang telah mengizinkan ia tinggal bersamanya.
Seiring pendidikan yang dienyam Ngurah Sunatha semakin matang, kakaknya mulai menanyakan, karier seperti apa yang ia akan pilih selanjutnya. Kakaknya yang saat itu bekerja di pemerintahan, kemudian membantunya untuk mengikuti tes di sebuah perusahaan konsultan yang menangani sistem air bersih di Denpasar. Setelah tamat tahun 1985, ia kemudian diterima dan bekerja di perusahaan tersebut sebagai engineering.
Mulai Mencoba Peluang Usaha
Saat masih bekerja di perusahaan tersebut, Ngurah Sunatha mulai mencoba berkecimpung dalam usaha kontraktor yang awalnya hanya membangun rumah sederhana. Hingga sebuah peluang proyek yang menjanjikan datang dari rekannya, kemudian mulai dirintis pada tahun 1987. Dengan modal senilai enam juta hasil pinjaman di BPR, kemudian digunakan pada proyek mengganti keramik di kantor Diklat, Renon, dengan mempekerjakan 11 orang tukang.
Berselang tiga hari raya, sebelum pelaksanaan proyek, yakni hari raya Pengerupukan, Nyepi, dan Ngembak Geni, keramik di dalam truk yang telah tersedia di proyek, hilang beserta 11 orang tukang. Terpukul atas kejadian tersebut, rekannya kemudian membantunya dengan mengeluarkan uang muka terlebih dahulu untuk membeli bahan baku. Ngurah Sunatha pun tak menyerah, ia mengajak tenaga dari kampung halamannya untuk bekerja di proyek tersebut.
Sembari mengelola perusahaan tersebut, Ngurah Sunatha mencoba melamar sebagai PNS. Singkat cerita, kariernya pun kian menanjak, berkesempatan masuk dalam lingkungan, pendidikan Universitas Saraswati, ia pernah menjabat sebagai Pelaksanan harian PD1, PD2 dan Dekan hingga 2014.
Hingga saat ini Ngurah Sunatha masih aktif sebagai dosen dan usaha kontraktor yang masih berjalan diserahkan kepada putranya. Sedangkan istri yang juga sukses merintis karier sebagai PNS di Kepolisian Daerah (Polda). Namun ia mulai memikirkan sebuah usaha yang lebih santai untuk dikerjakan kedepannya, agar juga memiliki kesempatan untuk bersosialisasi, terutama di kampung halaman. Hal ini kemudian ia diskusikan bersama suami dan mendapat dukungan yakni dengan membuka usaha toko bangunan pada tahun 2009 dan usaha minimarket “Graha Prima” pada tahun 2017, yang berlokasi di Jl. Arjuna No.XX, Lukluk, Mengwi.
Kehidupan masa kecil anak-anak di zaman Ngurah Sunatha dan Luh Putu Ratna, bisa dipastikan berbeda dengan anak-anak zaman sekarang. Sebagai orangtua, mereka tidak sepenuhnya mengaplikasikan didikan yang mereka terima kepada anak-anaknya, karena zaman ini, anak-anaklah yang cenderung memutuskan cita-cita yang cocok untuk mereka. Sebagai orangtua modern, Ngurah Sunatha dan Luh Putu Ratna pun membebaskan anak dalam memilih pendidikan atau profesi yang ditekuni, selama sang buah hati bisa bertanggung jawab pada pilihannya. Namun sebelum sampai di titik itu, yang terpenting ialah mulai dibiasakan untuk menerapkan disiplin dalam kehidupan sehari-hari, misalnya di zaman dengan teknologi yang semakin modern ini, fenomena penggunaan gadget diharapkan untuk lebih bijak dalam me-manage waktu, seimbang saat tibanya untuk istirahat dan bekerja atau belajar.