Memulai Bisnis Nail Art hingga Dilirik Brand Menjadi Beauty Influencer
Meski tak ada istilah privilege dalam didikan keluarga, sebagai anak, kebebasan yang didapatkan Lucyola Cristina dalam memilih bidang yang ia sukai, sudah menjadi hak istimewa baginya. Dengan prasyarat dari orang tua, selama tak menganggu pelajaran sekolah. Tanpa influence dan tekanan dari siapapun, ia menentukan jalannya sendiri, untuk mulai berkecimpung dalam bisnis dagang sejak remaja.
Lucy mengawali bisnisnya saat ia duduk di bangku kuliah secara daring. Selama 2 tahun, segala barang yang patut dihargai, ia pasarkan ke rekan-rekan terdekat hingga usahanya mengerucut pada produk pakaian. Seiring proses waktu, Lucy seolah mulai terperangkap dengan bisnisnya sendiri, yang dirasakan tak ada perkembangan yang signifikan, stagnan disitu-situ saja. Ia pun berpikir untuk mengubah komoditasnya. Dengan beralih ke perawatan kuku dan nail art. Orang tuanya pun sempat meragukan, apakah usaha sejenis itu akan sukses. Setelah berusaha meyakinkan, ia pun diberi kesempatan dan mendapat izin untuk mengikuti kursus bersama Nail Educator dari Jepang di Jakarta.
Selain tren nail art, Lucy juga ingin meng-upgrade skill-nya, dengan kembali mengikuti kursus di Rudy Hadisuwarno School, dengan kelas yang ia tekuni ialah wedding makeup & hair do. Sembari menjalani kursusnya, ia pun sudah mulai membuka dan mem-branding studio nail art-nya di tahun 2016. Seiring mampu mencuri perhatian kaum hawalewat kualitas treatment yang ditawarkan, ia yang awalnya masih melayani customer-nya sendiri, sudah mulai berbagi ilmu dan pengalamannya dengan membuka lapangan pekerjaan. Namun sayangnya, peruntungannya di bidang tata rias belum memihak padanya, sehingga ia lebih memilh fokus pada bisnisnya yang diberi nama “Lucyola Nail Studio” yang menyediakan tidak hanya nail art melainkan treatment pedicure dan manicure.
Saat awal-awal masa pandemi, yang berimbas kesenjangan usahanya, Lucy berupaya menilik inovasi apa yang bias ia lakukan, agar tetap menstabilkan ekonomi usahanya. Targetnya kemudian ialah menjual minyak kemiri yang banyak dimanfaatkan untuk kecantikan. Keberhasilannya mempromosikan produk tersebut, ternyata mengundang produsen-produsen skincare, bodycare dan make-up untuk bekerja sama. Alhasil, selain berbisnis, kini ia pun dikenal sebagai beauty content creator. Pekerjaan yang identik mendapat akses eksklusif untuk mencoba produk terbaru tersebut, meski terdengar mudah, namun juga tetap ada risikonya, Lucy pun tak bisa sembarangan memilih bekerja sama, terutama produk skincare. Ia harus menyeleksi bahan-bahan yang terkandung dalam produk tersebut, agar tidak menimbulkan break-out di wajahnya. Barulah ia mengulas produk tersebut di media sosial dan meyakinkan customer untuk mencoba. “Namun, keberhasilan produk yang bekerja pada beauty influencer, bukan berarti setiap customer memiliki reaksi yang sama,” ucap Lucy menegaskan.
Semuanya dikembalikan lagi ke sensitivitas kulit masingmasing, jadi sebelum mencoba produk baru, sebaiknya kita memahami kondisi kulit kita, apakah ada alergi pada bahan tertentu. Terlebih, jangan menilai skincare dari harga dan brand, harga yang mahal belum tentu cocok, terkadang skincare lokal dengan harga yang lebih terjangkau, justru lebih memahami kondisi kulit kita di iklim tropis.