Mempertahankan Kompetisi Pasar dengan Merangkul Generasi Z untuk Berkreativitas
Imbas pandemi dua tahun terakhir, bermunculan istilahistilah baru bagi para pekerja khususnya untuk membatasi mobilitas sosial seperti bekerja dari rumah (WFH). Kendati sudah bisa bekerja dari kantor (WFO), tak sedikit yang tetap memposisikan diri untuk bekerja di rumah, atau bekerja sambil berekreasi. Terlebih sebagai seorang pengusaha kedai kopi “Jivva Koffie”, seharusnya juga lebih fleksibel mengatur waktu untuk menjangkau beberapa usahanya di Bali, dengan mengandalkan teknologi digital. Namun, bagi Joseph Wanto Sukmawan Saminoe Putra, meski dimudahkan dengan modernisasi yang ada, masih ada upaya-upaya yang lebih melegakannya bila berinteraksi langsung dengan manajemen yang didominasi Generasi Z.
Memiliki latar belakang orang tua sebagai marinir, sepertinya tak berlaku bagi Joseph untuk melakoni profesi yang sama. Jelas saja, ia cenderung berefleksi dari kakak yang terjun berbisnis, yang mempengaruhinya untuk mulai menjual kaos sejak SMP. Seiring fokus pada sistemik pendidikan, pria kelahiran Jakarta 7 Juni 1975 ini, tak sempat melatih instingnya untuk berniaga. Apalagi setelah masuk ke bangku perkuliahan, tepatnya di Teknik Kimia, ITI (Institut Teknologi Indonesia), ia ungkapkan sudah menyita waktu dan pikirannya.
Lulus kuliah, Joseph sempat bekerja di Batam selama hampir 5 tahun, setelah ia sempat melanjutkan program magister di Singapura. Di momen masih bekerja, ia mendengar kabar bahwa perusahaan Singapura yang bergerak di bidang jasa peralatan safety kapal berkantor cabang tersebut akan di-take over, karena pemilik sangsi akan kebertahanan usaha. Menanggapi hal tersebut, ia bersikap terbuka dan tertarik untuk mengambil alih perusahaan. Mantan pemilik pun menghargai kemauan Joseph dan resmi menyerahkan perusahaan sepenuhnya.
Singkat cerita, keputusan Joseph untuk men-take over perusahaan, relevansi dengan kerja nyata ia dan tim dalam implementasinya. Perusahaan pun perlahan mampu pulih dari pembenahan yang dilakukan, meninggalkan kondisi mandek yang seolah tak ada jalan keluar dan hingga kini perusahaan ini malah menjadi jauh lebih berkembang dengan menambah cabang di Surabaya, Gresik, Bali dan Balikpapan. Tak puas sampai disana, Joseph ingin mencoba hal baru dengan merintis korporasinya sendiri. Kali ini ia melihat peluang lebih lebar untuk ekspansi ke bisnis kedai kopi. Tak hanya musabab melihat peluang bisnis ini tengah meroket, ia pribadi memang penggemar menyeruput kopi. Momennya pun semakin tepat, tatkala rekan-rekan sejiwa, mau menyumbangkan pengalaman mereka dalam bisnis dan dekorasi lokasi di kedai kopinya dengan brand “Jivva Koffie”.
Tak puas hanya kopi, Joseph meningkatkan minat pasar dengan juga menawarkan snack pendamping seperti croissant, lumpia, pisang goreng hingga eatery menu, bakmi ayam, nasi goreng, ketoprak, nasi ayam betutu, sate dan sebagainya. Ia pun cukup confident dengan daftar menu yang ditawarkan, yang baginya sudah lolos metode trial dan error, cocok untuk disajikan bagi lidah orang lokal maupun wisatawan mancanegara. Terutama mampu mengundang pengunjung tak hanya sekali, tapi menjadikan “Jivva Koffie” masuk sebagai salah satu daftar favorit untuk dikunjungi di waktu senggang.
Selain membuka cabang di Seminyak dan Gianyar, Jivva Koffie juga menjual produk bubuk kopinya via daring di marketplace “Tokopedia” di antaranya, Wanagiri Wine, single origin Bali arabica; Benteng Alla Utara, single origin Toraja arabica; Kerintji Anaerob, Single Origin Sumatra Arabica dan lain-lain. Jadi pengunjung tak hanya bisa menikmati kopi mereka dengan bertandang langsung ke kedai, tapi bisa meraciknya sendiri kapan pun di mana pun. Terlibat dalam canggihnya digitaliasi dalam pengelolaan usaha, bagi Joseph memang sangat terbantu, spesialis dalam instrument pemasaran. Namun dalam mengawal perjalanan usaha ini, yang ia ungkapkan masih memilih pulang pergi Jakarta-Bali, tak bisa dielakkan butuh diimbangi dengan pengawasan jarak dekat secara berkala, misalnya persoalan struktural karyawan. Ia rasa mode karyawan yang didominasi oleh Generasi Z, memiliki karakter yang lebih berani untuk bersuara dan berjiwa bebas, dibandingan pekerja di generasi sebelumsebelumnya. Dalam kedinamisan ini, sebagai pemilik bisnis, ia harus sigap apa yang menjadi hak para pekerja muda dengan layak dan adil. Tak ketinggalan memberikan mereka kesempatan untuk berkreativitas, karena dari ide-ide brillian merekalah yang tumbuh dan peka di era keberagaman teknologi, para ekonomi-ekonomi kreatif akan muncul ke permukaan.