Membangun Jiwa Social Entrepreneur dengan Belajar Bisindo dari “The Deaf Community”
Sebagai orang mayoritas, seharusnya kita merangkul kaum minoritas, bukannya memaksakan pandangan atau kebiasaan kita, khususnya kepada Different Ability (Difabel). Momok inilah yang masih menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, Gunn Wibisono dan Hans de Waal, mendobrak stigma tersebut melalui jiwa sosial mereka dengan gaya ber-entrepreneur.
Tahun 1999 di Jakarta, menjadi awal pertemuan Gunn Wibisono dengan partner bisnisnya, Hans de Waal, yang merupakan warga berdarah Belanda. Setelah banyak berbincang, mereka pun merasa sefrekuensi dalam bisnis, hingga pada tahun 2006 keduanya pun sepakat merintis bisnis bersama-sama, yang awalnya bergerak pada bisnis kuliner, bernama “Herbal Mie”. Dalam memperkenalkannya, tak tanggung-tanggung mereka menggandeng shinsei, sebagai ahli tentang pengobatan Cina, untuk memasukkan unsur-unsur makanan sehat yang bisa dipadupadankan dengan produk mereka. Jadilah mie dengan kuah herbal, yang sukses pada outlet pertama. Namun saat membuka outlet kedua, kira-kira hanya selama dua tahun bisnis tersebut akhirnya bangkrut, karena ‘permainan’ dari mal, tempat mereka membuka lapak, yang menimbulkan proses cash flow usaha terhambat. Outlet pertama yang saat itu masih membutuhkan support finansial dari outlet kedua pun ikut-ikutan bangkrut.
Tak sampai hitungan tahun, Gunn dan Hans bangkit dari kerugiannya, kemudian mereka membuka kembali usaha baru yang berhubungan dengan IT (Information and Technology) dan alat telekomunikasi. Zaman itu, fitur video call belum seramah saat ini, ia dan Hans pun mengeluarkan produk tersebut melalui saluran telepon. Mereka terinspirasi dari penyandang tunarungu, yang harusnya berkomunikasi dengan membaca gerak gerik bibir lawan bicara mereka.
Bekerja sama dengan perusahaan asal Amerika, yang menciptakan produk teknologi efisien, terdiri atas layar dan bagian tombol angka, layaknya telepon rumah. Produk tersebut pun telah dipasarkan di Sekolah Luar Biasa (SLB), namun meski sudah dengan harga didiskon khusus di era reformasi itu, dalam pengedukasian produk ini sangatlah tidak mudah. Pihak sekolah menuntut ada sertifikasi produk hingga tingkat kementerian. Sibuk mengurus ini itu, Gunn dan Hans akhirnya tak menyerah menjual produk mereka ke SLB, justru lebih menjual ke masyarakat sipil dan institusi telekomunikasi. Namun, setelah berjalan 4 tahun, mereka lagi-lagi harus mengikhlaskan perusahaan bangkrut, disebabkan ditipu rekan bisnis, bersamaan dengan krisis tahun 2008 dan teknologi yang lebih modern mulai bermunculan.
Sebagai ‘Penyambung Lidah’ untuk Difabel
Jenuh dengan kerasnya persaingan ibukota, Gunn dan Hans beralih merintis bisnis di Bali pada tahun 2010. Mereka memilih enggan untuk trauma dengan beberapa kali peristiwa yang dialami, dengan mendirikan jasa akomodasi penginapan berupa homestay di area Tanah Lot, Tabanan. Dari sekian bisnis yang dibangun, inilah menjadi bisnis pertama mereka yang telah sukses melalui fase dua tahun, hingga bertransformasi menjadi sebuah resort bernama “De Moksha Eco Friendly Boutique Resort” beralamat di Tanah Lot, Jl. Benuo, Belalang, Kediri, Tabanan.
Selama pariwisata masih ditutup imbas pandemi virus Covid-19, Gunn menugaskan para karyawan untuk memanfaatkan kesenjangan waktu, dengan melakukan perawatan di beberapa elemen akomodasi penginapan. Tak sampai di sana, upgrade skill pun dilakukan, seperti menaikan level memasak misalnya dengan menambah menu-menu baru dan yang terkrusial, pembekalan perusahaan di bidang teknologi digital marketing. Seiring upaya pembenahan pada sumber daya manusia dan perusahaan, pria kelahiran Surabaya, 20 Juli 1977 ini, optimis memiliki tabungan materi ilmu yang cukup untuk menyambut pariwisata Bali lebih progresif lagi.
Ekspansi ke bisnis selanjutnya, mereka kembali menggeluti bisnis kuliner sehat yang baru dibuka Juli 2022, “LowCal (Ch)eatery and Bar” di Jl. Pantai Batu Bolong No.94, Canggu, Kuta Utara. Yang menarik dari kuliner ini selain menu sehatnya, tak ragu mempekerjakan kaum difabel, sehingga Gunn dan Hans pun mengharuskan diri untuk belajar Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO), bahasa isyarat yang muncul secara alami dalam budaya Indonesia dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Para pengunjung pun sembari belajar bahasa BISINDO, akan dibantu dengan mengakses barcode melalui gawai masing-masing.
Influence positif sejak pendirian LowCal, (Ch)eatery and Bar, didapatkan dengan mulai maraknya para pekerja pariwisata di Canggu khususnya, yang mulai mau mempelajari bahasa BISINDO ini. Bahkan di ruang publik, ia pernah menyaksikan kaum difabel berkomunikasi dengan orang-orang mayoritas. Gunn dan Hans sangat bersyukur akan fenomena tersebut, Hans pun menekankan bahwa apa yang menjadi kekurangan dari saudara-saudara difabel, seharusnya dari diri kitalah yang memiliki panca indera yang sempurna, mau mempelajari bahasa mereka. Khususnya para pengusaha yang posisinya cukup sentral, marilah kita memperbarui diri kita, tak hanya berambisi dalam hal finansial, tapi juga mulai peka dengan kehidupan sosial sekitar dan bertransformasi menjadi ‘penyambung lidah’ sebagai social entrepreneur.