Melanjutkan Panutan kepada Generasi Muda yang Cerdas dan Beretika
drg. Rudi Wigianto, pria kelahiran Karawang, Jawa Barat ini akhirnya mampu meluluskan kuliahnya dari UGM (Universitas Gadjah Mada), setelah meninggalkan kehidupan sederhananya yang sempat tak mampu membeli sepatu saat bersekolah. Namun berkat pandangan maju sang kakak pertama, untuk terus berani mengambil langkah melanjutkan kuliah di kampus idamannya, orang tua pun merasa termotivasi menaklukan kerasnya biaya hidup, demi melihat kesuksesan ia dan lima orang saudaranya di masa depan.
Kakak dari drg. Rudi Wigianto yang berkeinginan kuat untuk melanjutkan kuliah di ITB (Institut Teknologi Bandung) telah berhasil mengubah pandangan orang tua untuk memperjuangkan semangat anak-anaknya melanjutkan pendidikan ke jenjang S1. Langkah tersebut bermula, saat tanpa izin orang tua, kakaknya menghilang seharian untuk menjual sepeda, demi berangkat ke Bandung untuk mendaftar kuliah. Setelah dinyatakan diterima dan menyampaikan kepada keluarga, ayah mereka pun mulai mengarahkan pikirannya untuk mempersiapkan biaya kuliah selanjutnya.
Meski tinggal di sebuah kos-kosan dengan tidur di atas tikar, kakak dari drg. Rudi Wigianto memiliki semangat untuk mendapatkan beasiswa di kampusnya dan keinginan tersebut pun terwujud. Tak hanya kakak pertama, kakak keempat juga mulai menapaki Kota Bandung untuk melanjutkan SMA, dengan hidup mandiri tinggal di indekos. drg. Rudi Wigianto sendiri sempat terpikirkan untuk mengikuti jejak kakak-kakaknya memilih berkarier di bidang teknik, hingga ia menyaksikan pekerjaan dokter gigi yang menarik hatinya, ia pun akhirnya berganti haluan, meski sempat ada adu argumen antar saudara. Ayahnya pun memberikan kebebasan kepadanya, terutama kakak ketiga yang mewarisi bakat usaha ayahnya yang sebelumnya hanya petani dan akhirnya memiliki toko. Kakaknya tersebut pun lebih memilih hanya bersekolah sampai di SMP dan saat ini telah menjadi pengusaha.
Setelah lulus dari Fakultas Kedokteran Gigi UGM, pada tahun 1988, drg. Rudi Wigianto didukung oleh Bapak Prof. Dr. drg I Gede Winasa, saat ia berprofesi sebagai dekan di FKG UNMAS (Universitas Mahasaraswati), melanjutkan pendidikan untuk meraih gelar PhD di Universitas Tokushima. Prof. Dr. drg I Gede Winasa lah yang memiliki andil besar dalam memperluas jaringan FKG UNMAS untuk bekerja sama dengan FKG di Jepang. Meski sempat tidak percaya diri untuk melanjutkan pendidikan ke Jepang, apalagi memikirkan biaya tentunya tidak sedikit, namun ia menyakinkan bahwa biaya hidup dan pendidikan akan tercukupi dari beasiswa yang akan diterima dari pemerintah Jepang.
Setelah menyelesaikan menyelesaikan studi S3 di usia 33 tahun, drg. Rudi Wigianto kembali ke Bali dan dua tahun kemudian dipercaya sebagai Dekan FKG UNMAS. Dengan mengontrak rumah teman di Candra Asri, Biaung, sebagai tempat tinggal, ia mulai berkarier di sarana pendidikan, sekaligus membuka tempat praktiknya sendiri. Awalnya ia membuka praktik sekaligus tempat tinggalnya di Jl. WR Supratman, kemudian pindah ke Apotek Suli Farma, namun karena lokasi yang kurang ideal (jalan satu arah), barulah ia pindah ke Jl. Hayam Wuruk No.96, Denpasar Selatan dan mendirikan Apotek Hijau. Nama “Apotek Hijau” disandang pria kelahiran Kerawang, 18 Desember 1963 ini pada usahanya, setelah sempat meminta ide kepada sahabatnya sesama pekerja medis, dengan alasan agar mudah diingat dengan apotek lainnya yang lebih banyak menggunakan kata “Farma”. Selain itu, warna hijau meninggalkan kesan yang teduh, nyaman dan diharapkan usia usaha yang terus panjang nantinya.
Sukses berkarier sebagai akademisi juga praktisi, hingga sempat mendapat kepercayaan di beberapa organisasi antara lain sebagai Ketua Ikatan Peminat Kedokteran Gigi Estetik Indonesia (IKGEI), President Asian Academic of Osseointegration (AAO). Saat ini masih menjabat sebagai Ketua Ikatan Peminat Kedokteran Gigi Implan Indonesia (IPKGII) dan Wakil Ketua Kolegium Dokter Gigi Indonesia (KDGI). Bagi drg. Rudi Wigianto, hal ini tak lepas dari pengaruh didikan ayahnya sebagai panutan, terutama dalam bertatanan sosial. Banyak katakata bijak yang diucapkan ayahnya, tapi ia tak akan pernah lupa dengan pesan ayahnya saat baru saja lulus S3 di Jepang, agar tetaplah menjadi Rudi yang ia kenal, yang secara harfiah dijelaskan agar ia tetap menjadi sosok yang rendah hati.
Konsep ini pun drg. Rudi Wigianto harapkan mampu ia berlakukan pada anak-anaknya, bersyukurnya harapan tersebut ia berhasil diwujudkan seiring dengan semangat belajar mereka yang salah satunya tengah berada di Jepang menyelesaikan studi S3 dan putri keduanya baru saja diterima di Fakultas Kedokteran UNUD melalui jalur SBMPTN. Namun tak hanya pembekalan disiplin ilmu yang ingin ia warisi ke anak-anak, sebagai ayah yang sudah membuktikan keberhasilan pendidikan keluarga oleh orang tua yang luar biasa, ia harus mampu menjadi panutan kepada generasi penerusnya dan generasi muda Bali pada umumnya, agar tetap menyeimbangkan kehidupan sosial mereka dengan budaya tata krama, jangan hanya sibuk meng-upgrade diri dengan teknologi modern. Dalam pengaplikasiannya, kembali sangat penting dibutuhkan sebuah etika, apalagi sebagai pengguna media sosial. Jangan karena semakin mudah digunakan, kemudian abai dengan budaya sopan santun, jadi tetaplah menjunjung tinggi adat ketimuran negara kita dalam bermedia sosial, yakni sopan santun, saling menghargai dan membangun empati. Tetaplah menjadi Indonesia yang sudah terkenal sebagai bangsa yang ramah.