Mampu Kembangkan Potensi Diri dan Mempertemukannya dengan Karya Nyata
Mendengar kisah Kadek Sara Mandiyasa dalam menemukan jati diri sekaligus menentukan pilihan dalam perjalanan kariernya, ada sebuah kata yang paling sering terucap dari bibirnya. Ialah “bapak”, sosok orangtua, teman dan guru yang paling berpengaruh sedari awal proses pecarian hingga pencapaiannya saat ini.
Keluarga besar Kadek Sara Mandiyasa bisa terbilang sederhana dalam materi, namun memiliki pemahaman yang kuat tentang bagaimana mengartikan sebuah kehidupan. Hal ini Kadek Sara dapatkan dari peran besar nenek dan ayahnya dalam keluarga, yang sebagian besar nafkah mereka bernafaskan dengan berdagang.
Kadek Sara tumbuh menjadi anak yang aktif, bahkan ia sudah terbiasa berjualan postcard kepada wisatawan sejak kelas IV SD. Ayahnya yang sempat melarangnya berjualan, tak membuat pria kelahiran Kintamani tersebut berhenti begitu saja, ia kemudian ikut neneknya yang bekerja di pasar.
Selain ayah, nenek merupakan figur yang sangat dihormati Kadek Sara, beliau memiliki jiwa sosial yang tinggi, di mana pria yang pernah bekerja sebagai sales di Bali Barong ini, kembali mengingat kenangan itu. Saat neneknya merangkul tuna wisma yang sekaligus pengidap gangguan jiwa, diperdayakan untuk bekerja sekedar bersih-bersih di rumah. Tak berhenti sampai di sana, neneknya pun menyediakan salah satu tempat di rumah untuk mereka tinggali. Di balik sisi yang melankolis, neneknya juga memiliki sikap yang luar biasa tegas dalam mendidik delapan orang anaknya. Terutama dalam hal bersyukur setiap harinya, atas segala nikmat yang telah diterima beliau dan keluarga.
Memasuki bangku SMA, Kadek Sara diterima di SMAN 2 dan SMAN 7 Denpasar, namun ia lebih memilih SMA Dwijendra, alasannya agar lebih bebas, ungkap Kadek Sara. Ia akui bahwa dirinya tergolong anak yang membangkang saat usia remaja, saking bandelnya, orangtuanya sempat diminta untuk datang ke sekolah, karena perilakunya tersebut.
Lulus tahun 2004, ayah Kadek Sara menyekolahkannya di Akademi Pariwisata (Akpar) sambil kursus bahasa Inggris, namun keduanya tidak berbuah manis. Di kampus ia di drop out dan di tempat kursus tidak naik level karena jarang hadir. Anehnya dari kejadian tersebut, tidak membuat ayahnya marah, justru memberikan motivasi-motivasi untuk bangkit.
Setelah kejadian tersebut, ia mulai berdiskusi dengan ayahnya untuk memilih berwirausaha sebagai jalan kariernya. Singkat cerita, terwujudlah sebuah toko handphone pertama yang ia dirikan beralamat di Jl. Ratna, sekaligus ia beri nama “Ratna Bali Handphone”.
Setelah memiliki usaha yang pertama, atas saran ayahnya untuk terus mengembangkan potensi diri, ia kemudian melanjutkan kuliah di Universitas Saraswati. Di kampus tersebut, ia aktif dalam organisasi dan masuk dalam perhimpunan wirausahawan muda. Ia juga dipercaya mendapat beasiswa dari Kementerian Ristek Dikti selama tiga semester, dan dikirim ke Surabaya dan Jakarta, untuk mengikuti seminar.
Berkat dukungan dari ayahnyalah untuk melanjutkan pendidikan S2 hingga saat ini melanjutkan jenjang S3, membuat Kadek Sara kini sebagai calon penerima gelar doktor, hingga ia berprofesi sebagai dosen, telah sukses mengantarkannya menjadi sosok yang semakin percaya diri, untuk mengambil keputusan dan langkah selanjutnya.
Di samping ia masih aktif mengajar, Kadek Sara telah berhasil mendirikan enam toko handphone, salah satunya di Jl. Pulau Komodo No. 11 A, Dauh Puri Klod, Denpasar Barat. Tak hanya mengisi aktivitas dengan melayani pembeli, baginya bisnis merupakan kerja sama untuk meraih kesuksesan bersama-sama. Terlepas tak hanya berhubungan dengan materi, tapi juga menginspirasi dan membangun karakter para karyawan agar kedepannya mampu menjadi generasi muda yang lebih baik dan terus bertumbuh.
Sebuah kebanggaan saat karyawannya mampu memiliki sebuah usaha sendiri. Dan yang lebih membuat hati Kadek Sara tersentuh ialah keputusannya untuk terus melanjutkan amal baik, terlepas tak hanya melakukan kewajiban kepada Sang Pencipta, tapi juga menanamkan kebaikan itu sendiri di dalam hati dan mempraktikkan secara berkelanjutan.
Berbicara lima tahun kedepan, Kadek Sara mengatakan cukup ingin berbisnis saja, sembari terus membekali diri dengan tidak berhenti untuk belajar. Namun, ia tidak mau dengan ilmu yang ia miliki, justru menjadi bumerang baginya. Ada peribahasa yang mengatakan “Seperti ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk”, semakin berilmu, pendewasaan dalam diri pun harus ditingkatkan. Terlebih mampu memecahkan teka-teki dan menemukan kedamaian dalam jati diri yang sebenarnya.