Made Rudita, ‘Anak Pantai’ yang Belajar dari Respons Alam dan Hantaman Batu Karang
Dari perawakan dan corak kulitnya, seolah sudah menyiratkan bagaimana dan di mana Made Rudita menghabiskan masa belianya. Pria asli Desa Pecatu, Kuta Selatan ini, adalah ‘anak pantai’ yang juga senantiasa membantu orang tua bekerja. Tak berhenti sampai di sana, pantai juga telah menginspirasinya untuk mulai berdagang dan menekuninya sejak dini. Mau tidak mau, pekerjaan itu dilakukan, karena dirinya hanya mampu bersekolah sampai di bangku SMP.
Meski dilahirkan di keluarga yang tergolong ekonomi menengah ke bawah, Made Rudita terbilang cukup menikmati masa anak-anaknya dengan menghabiskan banyak waktunya ke Pantai Bingin saat sepulang sekolah. Ia juga tak keberatan membantu ibunya yang merupakan pedagang minuman keliling di pantai, hingga ibunya berhasil menaikan standar dagangnya dengan memiliki sebuah warung sederhana. Dari ayah, bekerja sebagai kuli bangunan, namun diungkapkan oleh Rudita ‘kerja keras’ ayahnya tak sepadan dengan hasil yang didapat. Ayahnya pun terus mencercanya, harus mencari pekerjaan yang jauh lebih baik darinya. Rudita yang saat itu masih berusia sembilan tahun, tak banyak meresapi apa yang dikatakan ayahnya, seiring bertambahnya usia, barulah ia memahami realitas ekonomi keluarga yang harus segera dibenahi.
Pemahamannya tersebut, mendorong Rudita memilih hanya bersekolah sampai kelas II SMP, karena tak tega melihat orang tuanya mengambil banyak pekerjaan, apalagi ia juga pernah dilibatkan secara langsung. Setelah tamat, ia sempat bingung mencari pekerjaan seperti apa. Seperti biasa, ia lebih banyak menghabiskan waktunya di pantai, sesekali belajar menyelam dan akhirnya menemukan ide untuk menjual ikan hasil tangkapan dengan panah rakitannya, kepada turis. Hampir setiap hari pekerjaan itu dilakoninya, kecuali saat ombak tengah tinggi, ia mlepaskan penatnya dengan menjadi surfer.
Berani mengambil keputusan tersebut, artinya Rudita pun siap mengambil konsekuensinya. Ia pun sempat dirundung oleh teman-teman sebayanya karena sudah tidak lagi bersekolah. Pelariannya kemudian ialah pergi beraktivitas di pantai, demi menghindar dari cemoohan tersebut.
Di usia yang semakin dewasa yakni 21 tahun, Rudita beralih pekerjaan sebagai pengajar berselancar untuk para turis, di sebuah perusahaan. Meski penghasilannya tak seberapa sebagai pekerja lepas, ia tetap menjalaninya selama dua tahun, karena tak mau menyusahkan orang tua.
Mengalih Fungsi Warung Milik Ibu
Di setiap pekerjaan yang diambil, tak pernah sepenuhnya Rudita bisa meninggalkan kesibukan orang tua bekerja, terutama di warung sang ibu. Sampai di usia ibunya yang kian rentan dengan penyakit, ia harus mengambil alih, agar warung tetap berjalan. Di waktu yang bersamaan, kebetulan ibunya pun sudah mampu mempekerjakan satu orang untuk memasak di warung, jadi Rudita bisa melayani kebutuhan pembeli yang lainnya.
Menyaksikan warung ibu yang didirikan di atas tanah milik kakek tersebut memberikan peluang yang cukup menarik, Rudita berniat lebih mengembangkan pondasi usaha dengan nilai esensial lebih menjanjikan. Namun bukan secara harafiah, ia nyatakan hal tersebut kepada ayahnya. Ia menengarai, apakah bila ia sudah menikah nanti, ia boleh membangun sesuatu di atas tanah tersebut. Ayahnya pun menimpali, seolah juga memberikan izin untuk melakukan hal tersebut, asalkan ia memiliki pekerjaan tetap. Dan yang menjadi ‘garis keras’ tidak menjual tanah warisan, bersandar pada alasan apapun.
Dari penampakan awal sebuah warung, Rudita meminjam modal untuk direnovasi dan dialihkan fungsinya sebagai penginapan lima kamar. Karena permintaan dari customer yang menginginkan penginapan untuk ditambah dengan fasilitas seperi AC dan lain-lain, renovasi pun tiap tahunnya dilakukan. Hingga penginapan bernama “Candy’s Lounge” tersebut, cukup mampu menopang kebutuhan keluarga, orang tuanya pun tak perlu bekerja di luar kapasitas usia mereka.
Berangkat ke Australia
Setelah menikah, Rudita memutuskan untuk merantau ke Australia. Ia ingin memperoleh pekerjaan baru, karena satu usaha penginapan, tak mungkin baginya merangkul dua kepala keluarga. Bekerjalah ia sebagai tukang pasang keramik selama enam tahun, namun setiap ada waktu, ia pulang ke Bali untuk menengok ibu yang agak keberatan dengan keputusannya untuk merantau. Gaji yang didapat dikumpulkan Rudita untuk membangun sebuah rumah. Tak sampai di sana, ide dari istri kemudian bermekaran untuk menambah jenis usaha baru yakni sebuah restoran. Ia pun setuju dengan hal tersebut, terlebih ia tak mungkin terus bekerja di luar negeri meninggalkan keluarga. Sejak tahun 2012, restoran “The Cashew Tree” pun rampung didirikan yang beralamat di Jl. Pantai Bingin No.9, Pecatu, Kuta Selatan.
Inovasi Rudita untuk mempercantik usahanya, persis seperti yang dilakukannya sebelumnya pada Candy’s Lounge. Renovasi demi renovasi dilakukan, bahkan singkatnya, di bulan Novermber 2022 ini The Cashew Tree sementara akan ditutup selama satu bulan, untuk memperlebar ruang bar dan kitchen. Sejauh ini, pembenahan yang dilakukan The Cashew Tree pun atas dasar respons dari pengunjung setia, jadi tak asal dalam mengambil keputusan tersebut. Apalagi mempertahankan keeksisan restoran selama 12 tahun bukanlah hal mudah, sudah sepantasnya memelihara kepercayaan tersebut dengan mempersembahkan penghargaan terbaik kepada para pengikut The Cashew Tree.