Lebih Mengenal Tentang Pengalaman Hidup Pendiri Depot Cak Asmo Yang Kini Sukses di Bali

Bagi pecinta seafood, anda pasti sudah tidak asing lagi dengan tempat makan yang melegenda satu ini. Depot Cak Asmo, tempat makan sederhana namun selalu ramai oleh pengunjung karena cita rasanya tidak perlu diragukan lagi di setiap menu yang disajikan. Tidak sedikit pengunjung yang datang untuk mencoba sekali dua kali, kini menjadi pelanggan setianya.

Profil Muji Asmon – Owner Depot Cak Asmo

Muji Asmo atau yang lebih dikenal Cak Asmo lahir di salah satu desa di Mojokerto dari keluarga yang sangat sederhana bahkan dapat dikatakan kurang mampu. “ Ayah saya bekerja sebagai pedagang ayam kampung yang dibeli dari tetangga dan dijual ke kota, sedangkan ibu hanyalah seorang ibu rumah tangga” Namun semenjak masalah pelik menimpa keluarga Cak Asmo, ibunya menjadi single parent sekaligus tulang punggung untuk memenuhi kebutuhan lima orang anaknya. Saat itu di usianya yang baru menginjak sekitar 7 tahun, Cak Asmo melihat betapa perjuangan seorang ibu bekerja sebagai buruh tani dan sesekali mencari kayu di hutan, luar biasa gigih demi masa depan anak-anaknya, di sebuah desa yang sangat minim fasilitas. Selain itu sang ibu yang bernama Satinah, juga bekerja menjadi penjual jamu, ilmu yang diwariskan oleh sang nenek. Berkat dari penjualan jamu tersebut, keluarga mengalami sedikit peningkatan dalam perekonomian, namun Cak Asmo yang seharusnya dapat melanjutkan ke kelas III SMA, lebih mengutamakan pendidikan adik-adiknya yang lebih membutuhkan, dan memutuskan untuk bekerja.

Perjalanan Karir

Cak Asmo kemudian berangkat ke Surabaya, dan bekerja di sebuah restoran namun hanya selama seminggu. Tahun 1986 ia berangkat ke Jakarta, mencoba peruntungannya diengan berjualan bakso. Namun karena belum memiliki+ yang mumpuni dan cara berpikir yang masih belum matang, membuat perekonomian Cak Asmo tidak banyak mengalami perubahan. Ia pun memutuskan memutuskan untuk pulang saja ke Surabaya.

Di Surabaya, Cak Asmo mulai memberanikan diri membuka usaha dengan berjualan nasi goreng, namun kenyataannya tidak semudah membalikan telapak tangan. Selama empat bulan, usahanya tidak mengalami perkembangan yang signifikan, ia pun bertemu dan mencoba bertukar pikiran dengan salah satu keluarganya yang juga memiliki usaha yang sama.

Kerabatnya tersebut menyarankan agar ia mulai banyak belajar sambil berkomentar “Lah, kamu sudah tinggal di Surabaya selama empat bulan, tapi belum bisa mengirimkan keluargamu uang, pekerjaan apa yang kamu kerjakan selama ini, coba perhatikan pekerjaan saya!” Mendengar komentar tersebut, bukan merasa terhina malah membuatnya dirinya termotivasi.

Beberapa minggu kemudian, Cak Asmo mendapat surat dari sang kakak yang sudah berangkat terlebih dahulu ke Bali. Sang kakak sudah terlebih dahulu berdagang nasi goreng sejak tahun 1992, dari gang ke gang daerah Simpang Enam. Mulailah terbesit dalam pikirannya, “Mungkin di Balilah, nasib saya akan berubah, ”.

Berangkatlah ia ke Bali pada bulan Agustus tahun 1992, membantu sang kakak berjualan nasi goreng, dalam satu gerobak yang sama. Sambil berjualan ia banyak belajar bagaimana mengolah nasi goreng, hingga tiga bulan kemudian, ia memiliki gerobak sendiri dan diberi kesempatan untuk memilih daerah sendiri untuk berjualan.

Setelah berkeliling mendorong gerobaknya selama dua tahun, di pertengahan tahun 1994, Cak Asmo mendapat tempat untuk berdagang di depan emperan toko di Jalan Pulau Komodo. Hal ini menjadi tantangan baru baginya, biasanya ia menjemput pelanggan, kini ia harus menarik pelanggan untuk membeli nasi gorengnya.

Suatu hari Cak Asmo bertemu dengan seorang pengusaha di Denpasar, ia mengutarakan keinginannya meminjam uang untuk menyewa toko. Ia akan melunasi hutangnya selama setahun sesuai dengan perhitungan penghasilan yang ia dapatkan perbulannya. Berkat kerja keras, diluar dari perhitungannya dalam kurun waktu 5 bulan ia sudah dapat memenuhi janjinya dan membuka cabangnya yang pertama di Jalan Komodo.

Pada tahun 1998 terjadi krisis moneter di Indonesia, membuat harga –harga melambung tinggi, namun Cak Asmo dapat sedikit lebih tenang karena ia memiliki simpanan untuk membeli kebutuhan berdagang selama 3 tahun sejak tahun 1994-1997. Singkat cerita, ia berhasil membuka beberapa cabang di Denpasar yaitu Jalan Tukad Gangga, Renon, Jalan Teuku Umar dan Jalan Gatot Subroto.

Cita Rasa Yang Terpercaya

Dalam mengolah menunya, Cak Asmo tidak sepenuhnya memberikan cita rasa chinese food ke dalam masakanya, karena akan membutuhkan bahan makanan yang lebih mahal, justru itulah yang membedakan dan membuat menu Cak Asmo menjadi favorit dan cocok di lidah masyarakat Bali.

Bagi Cak Asmo, pelanggan adalah bagian terpenting dalam menjalani usaha dan kunci yang membuat usaha tetap berjalan, memberi keuntungan, rasa hormat dan reputasi kepada dirinya.

Tiada usaha yang akan terus berjalan tanpa adanya peran seorang pelanggan. Maka dari itu Cak Asmo terus berkomitmen untuk menjaga cita rasa dan stabilitas harga depotnya dalam era persaingan global. Seperti saat ini, mau tidak mau kita harus mempertahankan eksistensi usaha bisnis agar tidak kalah atau tenggelam oleh para pesaing kita.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!