‘Keberuntungan’ Saja Tidaklah Cukup harus ada Profesionalisme dan Adaptif dalam Perubahan Zaman

Sebuah pertolongan yang mengubah nasib drastis ayah dari Kadek Adi Saputra, penerus bisnis “Bali Gedeg Build & Design” nyatanya datang dari orang asing yang secara DNA tak memiliki hubungan darah. Bahkan berbeda ras, adat dan budaya. Hal ini membuktikan, bila seseorang sudah menanamkan bibit karma baiknya, pahalanya tak akan pernah tertukar dan akan datang di saat yang tepat, bahkan dari segala penjuru. Namun bagi Kadek Adi Saputra yang produktif di masa tantangan hidup kian kompleks, ‘keberuntungan’ saja tidaklah cukup. Lalu apa rencananya untuk mengembalikan keesksisan karya ayahnya yang sempat mengalami stagnan?

Nyoman Wijana, ayah dari Kadek Adi Saputra, yang lahir pada tahun 1955. Nyoman Wijana bekerja sebagai pedagang ngacung ‘apa adanya’ di kawasan Kuta, sebelum akhirnya pertolongan tulus dari Mr. John, sosok mentor asal Australia sekaligus begitu mencintai budaya Bali, membawa angin pembaruan dalam hidup ayahnya. Mengawali percakapan sederhana, kemudian Mr. John bertandang ke rumah ayahnya, hingga diajarkan dan didukung skill sebagai pengrajin bambu jenis “bedeg” menembus internasional. Kreativitas Nyoman Wijana pun semakin terarah, seiring kemahirannya dengan merambah ke produk lainnya yang masih bergulat dengan bambu, di antaranya hiasan kupu-kupu gantung.

Fokus, komitmen dan kejujuran yang ditampilkan dari sosok Nyoman Wijana kian mendapat simpati Mr. John. Ayahnya pun mendapat dukungan dan kesempatan dari Mr. John untuk ke luar negeri mempresentasikan karyanya bersama 35-40 orang timnya ke Hawaii, Amerika Serikat. Kesibukkan ayahnya yang memilih fokus dengan bisnisnya, diakui menjadi kurang dekat dengan anak-anak termasuk Adi Saputra. Meski demikian, tak serta merta cuek begitu saja, di masa ada waktu luang, Adi Saputra diikutsertakan turun ke proyek-proyek menyaksikan pekerjaan ayahnya secara langsung.

Sekitar tahun 1992, pengaruh karier ayahnya untuk perkembangan Desa Tumbak Bayuh, Kecamatan Mengwi pun begitu pesat seperti dari infrastruktur jalan yang masih berbatu, kemudian diaspal sedemikian rupa, demi prosesi penyambutan pejabatpejabat daerah dan Menteri Luar Negeri di masa rezim Bapak Soeharto. Masyarakat sekitar pun begitu antusias atas kejayaan yang diraih ayahnya. Terlebih, Nyoman Wijana yang dermawan, kerap mengundang bintang Drama Gong untuk pentas di balai desa untuk menghibur masyarakat.

Tak Bisa hanya Mengandalkan ‘Keberuntungan’

Beranjak dewasa, Adi berencana melanjutkan bekerja di kapal pesiar. Namun melihat omzet usaha ayahnya menurun tahun 2000, ia terpikirkan untuk melanjutkan ke Sekolah Teknik Menengah (STM) dan melanjutkan usaha tersebut, dengan upaya-upaya yang lebih fresh. Di samping itu, ibu yang mengelola toko bangunan pun tak memiliki kejelasan arah perkembangan usaha. Setelah berunding dengan orang tua, keputusannya melanjutkan ke STM pun terlaksana.

Di antara saudara-saudarinya, Adi satu-satunya yang memiliki tekad kuat untuk kuliah, karena baginya keberuntungan di zaman yang terus berkembang dan problematikanya yang kian kompleks, juga wajib diimbangi profesionalisme kerja. Orang-orang yang memiliki nasib ‘beruntung’ seperti ayahnya, yang hanya bersekolah sampai ke II SD, kemudian bertemu sosok ‘malaikat tak bersayap’ mampu mengubah hidup ayahnya 1800 , yang hanya segelintir orang mengalami hal serupa. Mungkin ia tak seberuntung ayahnya, maka ia pun melanjutkan kuliah di Teknik Arsitektur sembari sebagai pekerja lepas pada posisi Personal Assistant dari Head Assistant di “Bali Nirwana Resort”.

Minimnya ilmu marketing dan perpajakan, membuat ayahnya tak mampu mempresentasikan karyanya kembali di kancah dunia tanpa Mr. John yang telah tutup usia. Usaha pun terseok-seok, tak bisa berdiri secara independen. Hal inilah yang ingin dipelajari Adi sebaik-baiknya di masa kuliahnya, bagaimana menyampaikan usaha ayahnya dengan bahasa yang efektif dan efisien bagi masyarakat luas. Kemudian menyimak permintaan dan memenuhi permintaan klien, yang juga terkadang tak terjadi sinkronisitas saat ayahnya berhadapan langsung dengan klien.

Lulus kuliah, Adi tak lantas melanjutkan usaha rumah kayu jadi, milik orang tua seperti Rumah Minangkabau, Toraja dan Bali, “UD Bali Gedeg” yang sudah dirintis tahun 1988, ia mengambil beberapa proyek sebagai freelance. Setelah beberapa tahun vakum, ia membangkitkan lagi usaha tersebut dengan nama yang berbeda “CV Bali Gedeg Build & Design” pada tahun 2017 yang berlokasi di Jl. Raya Tumbakbayuh No.7a, Desa Tumbak Bayuh, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Ada beberapa orang yang dulu masih bekerja dengan ayahnya, kini tetap dipertahankan, bahkan menurun ke generasi kedua.

Merambah ke Konsep Otentik tapi Modern

Dengan disiplin ilmu yang diperoleh dari instansi pendidikan formal, pria yang juga merintis usaha kafé dan bisnis properti ini, menambah jasa pembangunan rumah beton untuk mengikuti arus perubahan zaman yang dikombinasikan dengan rumah kayu, yang otentik tapi modern. Hanya saja untuk bahan pokok dari rumah kayu ini mulai terhimpit dan menipis. Kondisi ini mendorongnya semakin kreatif, belajar dari berbagai sumber ilmu dan menimba pengalaman lebih luas dari komunitas maupun individual lokal dan internasional yang profesional di bidangnya. Salah satunya, rekan sekaligus kliennya yang merupakan lulusan Engineering Kapal Pesiar, yang memberikan banyak masukan dalam permasalahan rumah beton yang masih belum diketahui orang awam. Kerja sama yang epik ini, demi mewujudkan komitmen Adi membangun hunian yang aman dan nyaman untuk ditinggali jangka panjang dan mengusung konsep “Tri Hita Karana”. Jadi bukan asal membangun, arsitek profesional sepertinya akan melalui beberapa tahap pra pembangunan seperti mendesain, memprediksi dan menganalisa permasalahan yang kemungkinan akan ada dan menemukan solusi terbaik.

Pakemnya dalam berkarya seperti yang diuraikan di atas, ternyata realitasnya masih belum mengembalikan citra profesi arsitek, yang dewasa ini mengalami penurunan kepercayaan dari masyarakat, akibat ulah beberapa oknum yang kurang menghargai profesi mereka sendiri. Yang paling sering terlihat saat arsitek membuat gambar sesuai dengan keinginan klien, kemudian dana diperhitungkan sekitar Rp10 miliar, padahal budget klien di angka Rp5 miliar. Di sinilah kekecewaan terjadi, desain kemudian dibuang begitu saja dan cenderung buang-buang waktu. Menghindari polarisasi seperti itu terus terulang, mimpi para arsitek dan kenyataan keuangan klien haruslah sejalan.

Kasus lainnya yang hampir serupa, saat persepsi seorang arsitek pada dana yang dihabiskan gambar desainnya, ternyata melampaui di lapangan. Itulah mengapa Adi kerap juga terjun ke kontraktor, meski sayup-sayup terdengar, ia ‘mengkhianati’ profesinya, namun upaya tersebut salah satu kebijakan demi berintegritas dalam memimpin tim di perusahaannya. Terakhir, yang menjadi ‘garis keras’ dalam perannya di sektor pembangunan, Adi berkomitmen apapun jenis proyek yang digarap, implementasinya diklaim telah bersinergi dengan masyarakat lokal dan alam sekitar, misalnya pengelolaan sampah dan limbah. Ia berharap, peran arsitek-arsitek yang cukup krusial dalam visual Bali, mulai memiliki kesadaran akan hal tersebut. Karena yang mengenal taksunya Bali, ya orang Bali itu sendiri. Jangan sampai hilang, apalagi menjual aset yang telah diwariskan dari perjuangan nenek moyang kita, melainkan mengelolanya agar terus berkembang untuk diturunkan ke lintas generasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!