I Nyoman Suwidjana Pinatih, Putra Jembrana Berkiprah Lampaui Kenangan
Sebagian orang sudah meyakini, bahwa nasib itu sudah ditakdirkan sedemikian rupa sejak ia dilahirkan. Ada yang kaya hidup bahagia dan ada yang miskin hidup apa adanya. Semuanya bergantung bagaimana kita menjalankannya. Untuk mencapai suatu kebahagiaan, kita mesti berani melawati semua tantangan dengan iman yang tegar. Seperti yang dikisahkan I Nyoman Suwidjana Pinatih, keterlibatannya bersama masa serba berkekurangan membuatnya untuk tidak bersikap acuh dengan nasib dan pasrah pada keadaan. Niat, usaha, serta kerja keras untuk mengubah keadaan yang lebih baik adalah senjatanya untuk melawan takdir.
Letox Suwidjana yang begitu akrab disapa, lahir di desa Jembrana dari pasangan I Ketut Sangka Pinatih dengan Ni Luh Suwiring. Anak ke tiga dari enam bersaudara ini tumbuh dalam keluarga petani. Kehidupan keluarganya sangat bergantung dari hasil kerja keras bercocoktanam. Keadaan seperti itu, membuatnya berbeda dengan kehidupan anak-anak pada umumnya, kegirangan untuk bermain hal apa saja tidak ia rasakan, karena lebih banyak waktu bekerja untuk membantu orangtua. Adakalanya ia mencari uang, dengan menjual pisang, daun pisang, dan apa saja yang bisa dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Pada saat Gunung Agung meletus tahun 1963, keadaan ekonomi keluarga semakin parah―semua tanaman mati dan hingga berbulan-bulan mereka hanya bisa makan ubi, nasi bungkil pisang dan nasi jagung hasil dari sisa panen sebelumnya. Badannya kurus tak terurus, merasakan hidup di tanah subur yang seketika berubah menjadi tandus. Saat itu ia masih bocah polos yang duduk di bangku kelas 4 sekolah rakyat (SR) Penyaringan, Jembrana. Peristiwa itu begitu melekat dalam kenangannya, karena terjadi sesudah ibunya meninggal. Waktu terus berlalu dan ia pun tak bisa berkompromi dengan peluh, setelah tamat dari SMP Penyaringan, ia melanjutkan sekolah di STM Nasional Tulang Ampyang, Denpasar. Jauh dari keluarga, mengajarkannya untuk hidup hemat, tiap bulan hanya dikirim beras, pisang dan kalaupun ada rejeki ditambah dengan sedikit uang. Setelah tamat STM ia pun mengikuti tes AKBRI di bandung, impian tak berpihak padanya dan pulang ke Bali dengan kegagalan. Semuanya itu tak mematahkan semangat, tahun 1970 ia mengikuti kursus perhotelan yang di selenggarakan Bali Beach. Setelah mengikuti kursus selama enam bulan, hal yang sangat menggembirakan banginya karna berkesempatan untuk bekerja di Kartika Plaza Hotel sebagai housekeeping. Imbalan yang diterima kemudian disimpan sebagai bekal keseharian dan sebagiaannya untuk keluarganya di desa. Saat itulah ia bertemu dengan Ni Made Lastini, istrinya, yang kebetulan bekerja di tempat yang sama . Dua tahun menjalin cinta dan setelah itu memilih untuk menikah. Setelah menikah, ia berhenti bekerja di Kartika Plaza Hotel dan memilih menjadi guide. Selama menjadi guide, ia bertemu dengan sepasang suami-istri dari Amerika yang datang berlibur selama tiga hari. Sebelum mereka pulang, ia ditawarkan untuk ikut ke Amerika agar bisa bekerja dan menanggung biaya sekolah selama disana. Saat itulah ia memberanikan diri untuk pergi, walau harus meninggalkan istrinya yang sedang hamil. Semua itu dilakukannya semata-mata untuk memperbaiki nasib keluarganya. Istrinya selalu mendukung dengan apa yang sudah direncanakannya. Satu bulan di Amerika, istrinya di Bali melahirkan seorang anak laki-laki.
Kegelisahan pun bergulat bersama waktu yang dibendung selama lima setengah tahun. Waktu yang lama baginya menyimpan rasa rindu dan hanya mampu berpasrah pada Tuhan agar selalu menyertai istri dan anaknya. Lewat pena ia goreskan isi hati diatas kertas, lewat surat ia titipkan pesan dan berharap mampu membawa kabar untuk keluarganya saat itu. Semua itu di jalaninya dengan kesetiaan, niat dan kerja keras demi istri dan anaknya. Semuanya tak sia-sia dan setelah itu ia pun pulang dengan membawa gelar sarjana (S1) di National Luis University dan Ohaio University (S2), Amerika. Ia pulang menjemput istri dan anaknya di Bali untuk pindah ke Jakarta, karena ia di terima untuk bekerja di kampus Universitas Indonesia (UI) sebagai dosen. Pada tahun 2000, ia terpilih mewakili Indonesia untuk bekerja di lembaga penelitian ekonomi ASEAN di Singapura dan selama dua tahun disana, ia di tugaskan ke hongkong dan tak lama disana, ia kembali bekerja di Bank Jepang yang ada di jakarta. Dinamika kehidupan kembali melanda keluarganya saat terjadi krisis moniter pada tahun 1998. Ia pun kembali ke bali dan memberanikan diri untuk meminjam uang agar membeli tanah yang kini berubah menjadi hotel. Namanya Puri Kelapa Garden Cottages Hotel, yang mana menjadi tempat penginapan favorit orang-orang Belanda, Belgia, dan Jerman bila berlibur di Bali. terletak di daerah Sanur yang tidak jauh dari pantai matahari terbit, pantai Shindu. Bangunannya terkesan klasik dengan gaya design Bali dan menawarkan pemandangan taman tropis yang hijau di sekeliling kamar-kamar. Tidak hanya itu, berbagai macam hidangan khas barat dan asia di warung taman dan paviliun tempat makan bergaya terbuka atau duduk santai di tepi kolam outdoor yang indah. Semuanya itu adalah hasil dari niat dan kerja keras yang sungguh-sungguh mampu mengubah hidupnya. Kenangan pahit yang dilaluinya kini terasa manis dinikmati dari hasil kegigihannya. Sedikit ia sering menoleh mengenang masa-masa yang dilaluinya, terkadang tak ada yang lebih kemarau dari pada kenangan. Karenanya hujan air mata tak akan terjagah, di batas lelah ingatannya.
Sejalan dengan perkembangan zaman, pembangunan di Bali kini semakin pesat dan menjadi salah satu tantangan terbesar untuk tetap mempertahankan usaha miliknya. Sosok yang pernah mendapat gelar Master illmu Ekonomi di Amerika ini, mampu menerawang bagaimana kehidupan perekonomian di bali kedepan. Menurutnya, masyarakat bali sekarang ini sudah ketinggalan untuk bersaing dengan investor-investor asing yang bisa saja mempengaruhi budaya Bali sendiri. Solusi baginya adalah agar pemerintah membatasi pertumbuhan yang cepat itu dan menyesuaikan dengan kemampuan orang Bali. rasa takut seperti kembali ke masa lalu seakan mampu mengajarkannya, bahwa kitalah yang harus menetukan suatu kehidupan, bukan untuk mengajarkan sifat yang serakah, tetapi suatu harapan agar jangan kita yang di miskinkan. Kepada anak-anaknya dan generasi muda Bali, I Nyoman Suwidjana Pinatih selalu mengajarkan agar janganlah mudah putus asa dan jangan menyerah dengan keputusan orang-orang luar, kita dilahirkan dan dibesarkan dari budaya, ini adalah pariwisata-pariwisata budaya dan bahkan terhadap sesama, kita di warisi sifat agar saling bertoleransi. Menciptakan daya persaingan yang sehat dalam perekonomian bukan sekedar pelarian untuk saling menghargai, melainkan niscaya setitik embun untuk menyegarkan hidup sesama kita agar tak kembali kerontang dipagut penderitaan.