Harmonisasi Hidup sebagai Wirausahawan dan Pengayah

Majalah BaliI Made Puja, sosok yang memiliki passion dalam menjalani aktivitasnya. Semangatnya tidak hanya ia limpahkan saat bekerja untuk investasi masa depan keluarga, tapi juga bertindak sebagai pengayah banjar Tegal Buah, Padangsambian. Sebagai masyarakat Hindu Bali, menyelaraskan pekerjaan dan mengabdi di lingkungan tempat tinggal merupakan tantangan besar, begitu pula Made Puja, namun demi amanah dan kepercayaan masyarakat yang telah diberikan padanya, ia harus siap menjawab tantangan tersebut dengan memberikan upaya yang terbaik.

Pembentukan karakter Made Puja sejak remaja diawali tanpa rasa gengsi dengan bekerja sebagai kernet di Terminal Gunung Agung saat ia duduk di bangku SMP. Seperti kenakalan remaja pada umumnya, saat memasuki masa SMA ia sempat curi-curi kesempatan untuk menjadi sopir angkot, padahal usianya belum cukup untuk memiliki SIM. Namun kelihaiannya dalam mengendarai angkot, sepertinya tidak sulit baginya untuk mengelabui orang-orang di lingkungan terminal tersebut.

Ayahnya yang bekerja sebagai pegawai engineering di hotel Ina Bali Beach, dengan penghasilan yang tidak mumpuni untuk ia dan empat saudara lainnya, menjadi alasan mendasar pria kelahiran Denpasar 21 April 1968 ini, memutuskan untuk bekerja sambil bersekolah. Apalagi ia tergolong anak yang pintar di SMAN 4 Denpasar, terutama pada mata pelajaran biologi dan kimia, sehingga ia memiliki cita-cita untuk melanjutkan kuliah di fakultas kedokteran. Namun lagi-lagi karena terhimpit biaya, ia terpaksa mengubur asanya dan mendaftar di fakultas lain.

Pilihan Made Puja selanjutnya jatuh pada fakultas pertanian dan ia diterima di Universitas Udayana. Namun takdir berkata lain, kakaknya tidak merestuinya untuk memilih fakultas tersebut. Akhirnya kakaknya pun mendaftarkan di Universitas Ngurah Rai, jurusan teknik sipil.

Saat libur kuliah, Made Puja masih giat memanfaatkan waktu untuk menjadi sopir angkot hingga tamat kuliah. Namun kondisinya berubah, setelah Made Puja mendapat pekerjaan di sebuah kantor konsultan. Waktu tidurnya menjadi berkurang, fisiknya pun menjadi lemah, sehingga untuk melanjutkan pekerjaannya sebagai sopir angkot yang dimulai pukul 01.00 dini hari, terpaksa ia akhiri karena pukul 06.00 pagi ia harus sudah bersiap-siap untuk berangkat ke kantor.

Made Puja nyatanya tidak benar-benar memutuskan dirinya dari lingkungan pekerjaan yang telah membantunya dalam memenuhi kebutuhan pendidikannya. Ia justru mengembangkannya menjadi sebuah usaha, dengan membeli tiga angkot dari dana hasil pinjaman dari LPD.

Dengan sigap pria berusia 52 tahun ini, menyisihkan penghasilannya untuk disimpan di bank, hingga saat zaman yang semakin maju, angkot yang dirasa sudah tidak menjadi kendaraan yang efisien bagi masyarakat, ia putuskan untuk menjualnya, kemudian dipergunakan untuk membeli tanah dan dibangun kos-kosan. Konsolidasi antara penjualan dan penghasilan sebagai pegawai sekaligus freelance, juga ia manfaatkan dengan membeli kendaraan yaitu sebuah mobil bermerk Suzuki Jimny untuk mempermudahnya beraktivitas.

Sempat Bekerja di Tunas Jaya Lombok

Setelah menikah, istri yang bekerja di bidang kesehatan, ditugaskan di Puskesmas Aikmel, Lombok. Sebagai suami ia merasa memiliki kewajiban untuk menemani istri dan rela melepaskan pekerjaannya di kantor konsultan.

Selama tiga bulan tidak bekerja, mulai timbul kepenatan pada Made Puja yang sehari-harinya terbiasa bekerja, ia pun mengambil langkah untuk ikut bekerja di kota tersebut, tepatnya perusahaan kontraktor Tunas Jaya Sanur, cabang Lombok.

Tunas Jaya Lombok dengan kepemilikan tenaga kerja sebanyak 10 orang saat itu, membutuhkan tenaga perencanaan yang juga memiliki skill dalam menggambar. Ia yang memenuhi syarat tersebut akhirnya diterima, bahkan ketekunannya dalam bekerja membuat namanya sempat dielu-elukan oleh Pak Made Dapir, perintis dari perusahaan Tunas Jaya.

Selama tiga tahun dirasa nyaman dalam bekerja, Made Puja memiliki keinginan untuk menetap di Lombok, namun kakaknya meminta untuk ia pulang ke Bali. Alasan permintaan kepulangannya, tidak jauh berkaitan dengan hubungan bakti kepada kawitan atau asal usul leluhur. Namun, sisi lain dibalik alasan tersebut, ia dan kakaknya pun memiliki sebuah rencana untuk membeli sebuah PT yang terbengkalai dari rekan kakaknya dan akan dikelola di Bali.

 

 

Sesampai di Bali, tak lantas ia langsung mengelola PT tersebut, ia harus bekerja sebagai freelance terlebih dahulu sembari mempersiapkan kebutuhan perusahaan, hingga singkat cerita pada tahun 2002, papan atas nama PT Amerta Sakti Jaya yang berlokasi di Jl. Padang Mekar No. 3X resmi terpasang.

Belajar dari pengalaman rekan-rekannya sesama pekerja di kontraktor terdahulu, Made Puja mulai mengambil langkah serius untuk berinvestasi sebagai bekal di hari tua. Dari beberapa proyek-proyek maupun tender yang berhasil dimenangkan, ia kembangkan dengan menambah kos-kosan yang dimiliki sebelumnya, hingga kos-kosan yang ia miliki berjumlah 90 kamar dengan range harga 500.000-1.500.000/bulan.

Selain mengelola dan mempertahankan kestabilan PT Amerta Sakti Jaya yang memiliki jumlah 20 orang karyawan, Made Puja juga tertantang di sela-sela kesibukannya, pernah memegang beberapa jabatan sosial terutama dalam kegiatan kerohanian, di antaranya sebagai Wakil Bendesa Adat Padangsambian selama empat periode, Ketua Yayasan Siva Gothra Mahalaya dan Ketua Ataki (Asosiasi Tenaga Ahli Konstruksi Indoensia) Bali. Peran itu ia ambil sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan kepada masyarakat yang telah memberinya dukungan dalam mengemban kewajiban. Tak hanya karena alasan tersebut, baginya tanggung jawab yang ia pegang tidak hanya kepada masyarakat, tapi juga bakti kepada Sang Pencipta. Karena atas izin Nya-lah, ia memiliki keberanian untuk melakukan aksi perubahan akan nasib hidupnya dan memperoleh kesuksesannya seperti saat ini.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!