Dari Bisnis Camilan, Korban Tipu hingga ‘Meracuni’ Kaum Hawa di Bidang Fashion
Meski terlahir dari ayah yang berprofesi sebagai pengusaha, tak membuat Etha terpikirkan untuk memilih jalan karier yang sama. Setelah melanjutkan kuliah, barulah wanita kelahiran Medan ini, merasakan sulitnya mendapatkan uang, karena pembiayaan yang mulai distop oleh orang tua dan ia didorong untuk mulai menemukan sumber kemandirian finansialnya. Beruntung ia hidup di lingkungan yang positif, kemudian akhirnya bertemu dengan kekasih hati yang memiliki visi misi yang sama dalam berbisnis.
Hidup berkecukupan tak membuat orang tua Etha, memberikannya segala kemudahan dan fasilitas yang dibutuhkannya. Terutama di bangku kuliah, mau tidak mau ia harus mulai memenuhi kebutuhannya sendiri dan melepaskan kenyamanannya bergantung dengan orang tua. Tidak mudah memang, namun bila mengingat lagi bagaimana ayahnya yang tidak memiliki latar belakang pendidikan sama sekali, kemudian sukses menjadi pengusaha, logikanya ia yang sudah mengantongi pendidikan SMA, harusnya tak kalah bersaing dengan ayahnya.
Langkah awal yang diambil Etha untuk mulai mengenal bisnis ialah bergabung dengan salah satu bisnis Multi Level Marketing. Dalam pengalamannya tersebut, ia harus berproses belajar menekan egonya sendiri, entah itu rasa malu, jenuh atau sikap lainnya yang hanya menghambatnya untuk berubah ke arah pengembangan kariernya. Selama setahun, terlepas dari reward yang ia dapatkan dalam bisnis tersebut, Etha cukup menerima pelajaran berharga, yaitu keterampilan berkomunikasi secara lisan, salah satu skill yang dibutuhkan dalam memperluas relasi bisnis.
Etha yang merupakan sosok yang pemalu, tak memiliki keberanian berbicara di depan umum, mulai terasah kemampuannya. Namun setelah setahun di bisnis tersebut, suami memutuskan pindah ke Bali, ia pun memilih berhenti dari bisnis tersebut. Suami yang sebelumnya bekerja sebagai fotografer lepas, kemudian bekerja di PT Angkasa Pura, sangat berani melepaskan zona nyaman kerja untuk membangun usaha kecil-kecilan bersama istri. Bisnis perdana yang mereka rintis bersama-sama saat itu ialah camilan lumpia.
Hanya bertahan selama tiga bulan, Etha dan suami kemudian menutup usaha mereka karena manajemen karyawan yang masih minim pengalaman. Kemudian keduanya bersiap ke usaha selanjutnya, sebagai agen tour & travel. Gagasan itu muncul, saat kawannya yang berasal dari Medan ingin berlibur ke Bali. Dengan memanfaatkan mobil milik orang tua, sekaligus satu-satunya armada yang dimiliki saat masih merintis, usaha tersebut mendatangkan omzet yang terbilang lancar. Suami pun semakin ambisius untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar lagi, hingga nekat meminjam dana untuk menarik pelanggan. Namun malang tak mampu terhindar, pasangan ini menjadi korban tipu sebesar 1,8 miliar dari klien, alhasil dari peminjam yang tak mau tahu dengan kondisi tersebut, hampir setiap hari mendatangi Etha dan suami, bahkan si peminjam sampai membawa-bawa ormas (organisasi masyarakat). Kondisi yang jauh dari kata damai tersebut, membuat suami harus menjual tanah milik orang tua. Ia juga harus bekerja keras tanpa menyisakan penghasilannya sama sekali untuk kebutuhan keluarga, demi segera melunasi utang-utang tersebut.
Tekanan finansial yang terus menghantui keduanya, membuat mereka harus segera mencari solusi finansial selanjutnya. Tercetuslah berbisnis di bidang fashion, Etha dan suami kemudian membeli produk dari Pasar Sukawati dan menjualnya di Medan. Upaya tersebut cukup membantu hingga di tahun ketiga, namun terkendala biaya lokasi perpanjangan kontrak usaha yang tinggi, mereka akhirnya memutuskan kerja sama dan mencari lokasi baru. Singkat cerita berbisnis fashion yang dirasa masih patut diperjuangkan, Etha dan suami, akhirnya menemukan ‘pelabuhan terakhir’ bisnis mereka, dengan merek “Elisha Fashion” pada tahun 2016. Setelah belajar dari pengalaman bisnis-bisnis sebelumnya, Etha dan suami membentuk manajemen karyawan dan usaha yang lebih detail dan matang, agar tak mengulang kisah yang sudah-sudah.
Mengangkat tema fashion, Etha khususnya sebagai kaum hawa dituntut terus mengetahui tren yang sedang digandungi anak muda. Selain via internet, ia rajin mengunjungi mal-mal besar di Bali, mencari tahu mode pakaian yang tengah menjadi ‘racun’ di mata remaja khususnya. Dari mendatangkan produk pasar Bangkok, hingga memproduksi sendiri, Elisha Fashion yang berlokasi di Jl. Tukad Gangga dan Jl. Ahmad Yani Utara ini, terus berupaya mempertahankan eksistensinya, bahkan di masa pandemi. Di tahun 2020, diungkapkan oleh Etha, Elisha Fashion sempat tak mendapatkan omzet sama sekali. Namun, ia dan suami tak mau terlena terus menerus memikirkan kapan pandemi akan berakhir, mereka memilih mencari solusi dengan berinovasi, misalnya menarik pasar melalui penjualan online di media sosial dan marketplace. Yang namanya tantangan dalam berwirausaha itu pasti akan terus ada, ibaratkan “dua sisi mata pisau” yang memiliki makna, memberikan efek baik dan efek buruk sekaligus. Bila kita mampu menyikapi tantangan yang datang dengan bijak, akan membawa pendewasaan dan kualitas diri menjadi leader pada kenaikan level usaha selanjutnya.